----- Original Message -----
Sent: Thursday, December 06, 2001 11:38
PM
Subject: Re: [RantauNet] Uda Soni jo Uda
Dakhtar, dll: PT SP
Bung Indra yang baik,
Assallamualaikum Wr. Wb.,
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas
sumbangsaran anda terhadap persoalan privatisasi PT SMGR yang sedang membelit
negeri ini. Berikut tanggapan saya terhadap sumbangsaran tersebut,
serta terhadap beberapa bagian tulisan FHB yang Bung lampirkan:
Pertama, saya 100% setuju dengan Bung dan
sanak-sanak RN lainnya bahwa persoalan korupsi adalah persoalan akut yang
membelit Indonesia. Sebab itu, segala upaya untuk mencegah dan menangulangi
korupsi perlu mendapat prioritas dalam rangka memulihkan kondisi sosial dan
ekonomi bangsa ini. Walau pun demikian, terus terang saya keberatan jika
persoalan korupsi yang dihadapi bangsa ini dipandang sebagai persoalan yang
sama sekali terpisah dari persoalan eksploitasi yang dilakukan oleh kekuatan
modal internasional, baik melalui lembaga-lembaga multilateral seperti Bank
Dunia, IMF dan ADB, maupun melalui perusahaan-perusahaan TNC seperti Freeport,
Caltex, Cemex dan lain sebagainya.
Dilihat dari sudut lembaga-lembaga keuangan
multilateral, tentu Bung tahu bahwa kerjasama antara Indonesia dengan
lembaga-lembaga tersebut telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun.
Artinya, melalui kerjasama selama itu, mustahil lembaga-lembaga itu tidak
mengetahui bahwa korupsi sangat merajalela di Indonesia. Tetapi apa yang
terjadi, selama lebih dari 30 tahun lembaga-lembaga itu tiada putusnya
menyokong Indonesia. Tidakkah pernah terpikir oleh Bung, bahwa masalah korupsi
yang dihadapi Indonesia pada dasarnya adalah sebuah masalah yang bersifat
transnasional, dalam arti melibatkan pula lembaga-lembaga keuangan
multilateral tersebut?
Belakangan lembaga-lembaga keuangan multilateral
itu memang berlagak sok suci dengan menyokong program-program good governance
di Indonesia. Saya kira tindakan mereka itu tidak lebih dari upaya cuci tangan
terhadap kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Bung
mungkin ada baiknya membaca sebuah artikel di New York Times yang
mengungkapkan adanya upaya sengaja dari lembaga-lembaga keuangan multilateral
itu untuk mengekspose habis-habisan isu korupsi sebagai upaya mereka untuk
menghindar dari kegagalan mereka. Agar kita lebih proporsional dalam melihat
persoalan ini, mungkin ada baiknya Bung buka kembali berbagai pujian yang
sebelumnya pernah dilontarkan Bank Dunia terhadap keajaiban ekonomi
Indonesia.
Kemudian dilihat dari sudut TNC, tentu tidak akan
terlalu sulit bagi Bung untuk memahami bahwa sesungguhnya tidak ada penerima
suap jika tidak ada penyuap. Nah, dalam berbagai praktik korupsi di Indonesia,
tidak pernahkah terpikir oleh Bung bahwa sesungguhnya TNC sekelas Freeport,
Monsanto, Caltex, dan Cemex itulah yang paling besar suapnya kepada para
pejabat Indonesia. Jangnkan itu, PM Jepang pun pernah jatuh karena terkena
Skandal Lockheed.
Nah Bung, dalam konteks kemelut PT SMGR,
sesungguhnya perlu pula dipertimbangkan kemungkinan sudah beredarnya
berbagai tawaran suap dari Cemex terhadap para penguasa di Jakarta. Bahkan,
sejauh informasi yang saya punya, sesungguhnya sudah tidak sedikit tawaran
suap yang diluncurkan oleh Cemex dan para penguasa di Jakarta kepada para
pemuka masyarakat di Sumbar, baik terhadap Gubernur, anggota DPRD, anggota
Dewan Komisaris dan Direksi PT SP, serta terhadap pemuka-pemuka masyarakat
lainnya, termasuk kaum intelektual.
Gubernur dan para anggota DPRD Sumbar misalnya,
pernah ditawari oleh Cemex untuk berkunjung ke Mexico. Sedangkan lembaga Gebu
Minang, kalau tidak salah, sudah terlanjur menerima kredit dari Citibank atas
jaminan deposito dari PT SMGR. Jadi Bung Indra, bahwa hingga sejauh ini
berbagai komponen masyarakat Sumbar yang mendukung spin-off masih teguh pada
pendiriannya untuk menolak put-option, saya kira patut dipertimbangkan sebagai
pertanda belum mempannya berbagai tawaran suap Cemex dan para penguasa Jakarta
itu di ranah Minang.
Perlu saya tambahkan, menurut sepengetahuan Bung,
dimanakah selama ini para pejabat Indonesia yang korup itu menyimpan uangnya?
Bukankah di Bank-bank yang terdapat di Swiss, Luxemburg, London, atau di
Caymen Island. Nah, bukankah Bank-bank seperti the Bank of Switzerland,
Citibank, Chase Manhathan Bank, Deutch Bank itulah yang selama ini cenderung
kita pandang sebagai bank yang menghormati good corporate governance. Ah,
Bung, jika tidak karena memutar uang panas mana mungkin bank-bank itu bisa
tumbuh menjadi bank besar di dunia. Artinya, kita perlu berhati-hati terhadap
standard ganda yang ditampakkan oleh masyarakat dan lembaga-lembaga
internasional itu. Menurut saya, mereka itu tidak lebih dari musang berbulu
ayam.
Kalau kita bekerja diperusahaan-perusahaan itu,
mungkin benar gaji kita akan lebih tinggi dari gaji diperusahaan lain. Tapi
perlu diingat, atas dasar pengurbanan siapakah sesunguhnya gaji tinggi itu
kita peroleh? Bung, saya lahir dan dibesarkan sebagai anak buruh dalam
lingkungan PT Caltex. Dan saya hanya bisa melanjutkan studi saya ke PT berkat
memperoleh beasiswa dar perusahaan tersebut. Sebagai juara pertama penerima
beasiswa itu, lebih-lebih setelah lulus dari UGM, saya kira akan sangat mudah
bagi saya untuk diterima bekerja di sana. Tapi sejak semula saya sudah
bertekad untuk tidak bekerja di sana. Tidak juga di Citibank, di BNI, atau di
Dirjen Perpajakan. Bung tentu bisa menangkap maksud saya bahwa sesungguhnya
menjadi manusia merdeka jauh lebih berharga daripada sekedar menerima gaji
besar.
Kedua, sebab itu Bung Indra, upaya memerangi
kapitalisme kasino harus berjalan berbarengan dengan upaya memerangi korupsi.
Artinya, dalam konteks perjuangan spin-off, tolong perjuangan ini tidak
dilihat sebagai peperangan antara maling-maling lokal melawan maling-maling
internasional. Lebih celaka lagi, tolong perjuangan spin-off jangan
dilihat sebagai perjuangan yang berdimensi kedaerahan. Disinilah saya
kira FHB melakukan kesalahan fatal.
Bagi saya, di atas segala-galanya,
perjuangan spin-off adalah perjuangan menyelamatkan kekayaan rakyat dari
rampasan para maling, baik maling-maling lokal, nasional, maupun maling
internasional. Artinya, nomor satu selamatkan dulu harta publik itu agar tetap
menjadi harta publik. Kalau toh harus dialihkan menjadi harta privat, maka hal
itu hendaknya dilakukan atas partisipasi publik seluas-luasnya,
yaitu berdasarkan Undang-undang. Jadi UU bukanlah instrumen untuk
memudahkan privatisasi, melainkan untuk melindungi harta rakyat dari
perampokan pihak manapun.
Perlu Bung garis bawahi, BUMN itu adalah
perusahaan publik, dalam arti perusahaan seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu
ia tidak memerlukan go publik. Penerapan konsep go public terhadap BUMN adalah
sebuah pemutabalikan fakta. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses go
privat. Nah, saya, bung, dan sanak RN lainnya, perlu menjamin agar proses
peralihan perusahaan publik menjadi perusahaan privat itu tidak dilakukan
dengan cara merampas.
Bung Indra, rangaian pernyataan saya tersebut
bukanlah sekedar upaya untuk mengidealisasikan perjuangan spin-off. Tapi hal
itu benar-benar saya utarakan secara terbuka kepada hampir semua pihak yang
terlibat dalam perjuangan ini. Artinya, saya hanya akan mendukung
perjuangan spin-off sejauh dilandasi pada niat untuk menyelamatkan harta
rakyat dari para maling. Pernyataan ini saya kemukakan kepada orang-orang
seperti Harun Zain, Azawar Anas, Aisyah Amini, Fahmi Idris, Gubernur Sumbar,
Dewan Komisaris PT SP, Direksi PT SP, serta para ninik mamak dan alim
ulama.
Sebab itu, Bung, saya sesungguhnya sangat
membutuhkan dukungan dari sebanyak mungkin pihak, untuk bersama-sama
menyelamatkan harta rakyat itu dari rampasan para maling. Pada tahap
pertama, privatisasi harus dibatalkan. Pada tahap kedua, maling-maling
Jakarta harus dibongkar dan diadili. Pada tahap ketiga, rakyat Sumbar
secara bersama-sama harus membersihkan PT SP dari maling-maling
lokal.
Nah, sehubungan dengan tuntutan masyarakat Lubuk
Kilangan, saya kira persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan mudah jika
PT SP yang perusahaan rakyat itu dikelola oleh penguasa dan para
direksi yang benar-benar memiliki hati nurani. Tapi apa mau dikata Bung,
justru ditengah-tengah saya melontarkan gagasan tersebut, termasuk dihadapan
pimpinan masyarakat Lubuk Kilangan, sang
ketua masyarakat Lubuk Kilangan Sdr Basril Bashar, serta merta membuat
pengakuan publik di dalam pertemuan tersebut bahwa dalam waktu dekat ia
akan berangkat ke Jakarta untuk menerima dana dari Cemex sebesar Rp500
juta.
Walau pun pernyataan itu dibuatnya dengan
permohonan agar ia tidak dituduh sebagai pengkhianat, tapi bagi saya pengakuan
itu adalah bukti telanjang bahwa sebagai maling Cemex ternyata telah membayar
persekot terlebih dulu kepada warga Sumbar.
Bertolak dari kenyataan itu, maka manfaat PT SP
bagi bangsa Indonesia dan rakyat Sumbar, saya sangat tergantung pada sejauh
mana setiap orang yang benar-benar ingin memerangi berbagai bentuk perampokan
bersedia berjuang bersama-sama dengan landasan keyakinan bahwa sesungguhnya
kita mampu menyelamatkan bangsa ini, tanpa harus menghamba kepada bangsa lain,
tanpa harus diintervensi oleh IMF dan Bank Dunia, dan tanpa harus melego
perusahaan rakyat kepada kekuatan modal internasional.
Sebagai penutup Bung Indra, perlu Bung ketahui
bahwa kawan FHB yang bernama Didik Rachbini, yang sangat getol mencerca
masyarakat Sumbar, pada saat yang sama adalah anggota KPPU yang merangkap
sebagai anggota dewan komisaris PT Pelindo II, dan anggota Oversight Committee
BPPN. FHB, selain pernah duduk menjadi anggota Ombudsman BPPN (kemudian
mengundurkan diri), saat ini juga duduk sebagai anggota KPPU.
Menurut Bung masih bisakah kita percaya kepada
omongan orang-orang yang secara resmi duduk sebagai anggota Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, tetapi pada saat yang sama merangkap banyak jabatan dan
memihak pada kepentingan konglomerat hitam Mexico, Cemex SA de CV. Ah,
kalau Lie Chin Wei dan Syahrir tidak usah ditanya. Bukankah mereka para pemain
di pasar modal? Jangan-jangan mereka sudah terlanjur mengantongi saham PT SMGR
dengan harapan menangguk untuk secara mudah seandainya put-option
berlangsung secara mulus. Wallahualam bish'awab.
Wassallamualaikum Wr. Wb.
Revrisond Baswir
PS. Tolong dibaca tulisan saya "Menggugat
Penjarahan Jakarta"
---- Original Message -----
Sent: Tuesday, December 04, 2001 4:40
PM
Subject: [RantauNet] Uda Soni jo Uda
Dakhtar, dll: PT SP
Assalamu'alaikum Wr WB
Sanang mambaco persoalan PT SP ditinjau secara ekonomi.
Ambo memang kurang jaleh bana soal ekonomi, selain hanya pernah menjadi
asisten politik Faisal H. Basri. Tulisan Bang FHB yang dianggap "jubir
privatisasi" di Kompas ini mungkin bisa menjadi masukan
diskusi.
BTW, saya sependapat dengan Uda Soni soal win-win solution
pemerintah. Menurut saya, dengan cara seperti itu, tetap saja yang terjadi
status quo, malah posisi pemerintahan pusat semakin kuat di SP. OK,
pemerintah melepas SG, tetapi dengan penguasaan saham yang tinggi di
SP, apa artinya buat penduduk lokal? Apa artinya buat
penduduk Lubuk Kilangan?
Saya sejak awal memang curiga, "permainan" soal PT SP ini
memang didesain dari Jakarta, baik oleh orang pusat atau orang daerah. Ini
akal-akalan saja untuk meninjau ulang perjanjian yang sudah ditandatangani
dengan investor asing. Ini hanya segitiga kepentingan antara investor asing,
politisi pusat dan politisi lokal. rakyat daerah hanya jadi faktor ikutan,
dipakai namanya apabila diperlukan, mirip kampanye dalam Pemilu. Yang
diuntungkan adalah Jakarta, termasuk pejabat-pejabat lokal, baik yang
menjadi Komisaris PT SP, atau yang menjadi birokrat dan politisi. Saya
percaya, BUMN, baik PMA atau PMDN, tetap menjadi sapi perah politisi untuk
kepentingan politik masing-masing. Itulah yang banyak saya dengar di
Jakarta, baik lewat pertemanan dengan anggota DPR, atau ketika saya dulu
aktif di partai politik.
Saya bukannya tidak sependapat dengan Uda Soni soal
"harga diri". Kalau Uda Soni yang jadi gubernur Sumbar atau Komisaris
PT SP, saya Insya Allah akan mendukung. tetapi kalau Zainal Bakar atau
Djusrin Jusan? Apa prestasi mereka? NOOOOOOOL. Yang ada, rakyat kelaparan,
orang Minang dianggap oportunis sejati. Lihat bagaimana Djusrin
Jusan itu mencoba mempertemukan mahasiswa 98 dengan Wiranto, yang kemudian
ditolak Rama Pratama cs. Ini kan pemain lama. Konsep Uda Soni, dan
idealismenya soal anti-globalisasi, saya setuju saja. tetapi kalau yang
melaksanakan adalah orang-orang yang tak punya integritas, maaf saja.
Kalau ditanya apa solusi saya. saya bukan ekonom. Tetapi
intinya -- entah bagaimana menjalankannya -- adalah membersihkan dulu
kepentingan politik (baik oleh orang Jakarta atau orang Padang) dan ekonomi
biaya tinggi di PT SP. Hilangkan para pianggang atau benalu yang hinggap di
manajemen PT SP. Tegakkan good corporate governance. beberkan laporan
keuangan PT SP ke publik, kalau perlu di Lapangan Iman Bonjol. Lalu
hitung biaya yang dikeluarkan PT SP ke segelintir orang, dibanding ke
masyarakat Minang lewat harga semen yang murah. Pokoknya, buka
sebanyak-banyaknya informasi soal PT SP. nanti akan ketahuan, dimana para
tikus yang menggerogoti itu bercokolnya, juga lintah yang mencoba
mengatasnamakan darah Minang.
Kalau ini sudah dilakukan, siapapun yang mengendalikan dan
memiliki saham PT SP, terutama pemerintah pusat dan daerah, serta publik,
akan untung, juga masyarakat. Jangan sampai kita mendiskusikan kucing dalam
karung. Makanya, saya lebih banyak "menangisi" Minang karena rendahnya
integritas orang-orang yang katanya berjuang untuk rakyat itu. Malah, ada
anggota DPR asal Minang yang mencuri kursi rekannya dari Bukittinggi,
sampai-sampai orang itu hampir gila. Kenapa? Karena mereka berkiblat ke
tokoh politik di Jakarta, dan bukan kepada basis massa di daerah.
Wassalam,
IJP
Senin, 3 Desember 2001
ANALISIS EKONOMI FAISAL H BASRIMasalah di Balik Penyelesaian Semen
GresikTAHUN 2001 sebulan lagi berakhir. APBN tahun
berjalan masih menyisakan beberapa titik rawan. Salah satu penyebab utamanya
adalah penerimaan dari hasil privatisasi masih nihil. Harapan satu-satunya
tinggal ditumpahkan pada penjualan saham pemerintah di
holding Semen
Gresik kepada Cemex.
Kalau saya mengatakan demikian, itu tak ada urusannya dengan IMF, seakan
dalam urusan ini pun kita didikte oleh mereka. Apalagi kalau dikaitkan
dengan soal kedaulatan yang sudah tergadaikan.
Persoalan privatisasi Semen Gresik sejak semula murni merupakan urusan
dalam negeri dari suatu pemerintahan yang berdaulat. Kala itu Presiden
Soeharto kian banyak mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri. Tekanan
luar negeri yang paling menonjol berasal dari negara dan lembaga donor. Lalu
ada yang membisikkan bahwa Indonesia tak perlu bergantung pada pinjaman atau
dana luar negeri.
Menurut Soeharto, berdasarkan informasi dari "pembisik", Indonesia itu
kaya raya dan salah satu sumber kekayaan yang berlimpah adalah badan usaha
milik negara (BUMN). Dalam berbagai kesempatan pada periode 1997-1998,
Soeharto mengutip data betapa masih kaya rayanya negara kita sebagaimana
terlihat pada aset BUMN yang mencapai Rp 400 trilyun. Dengan nilai tukar
kala itu, katakanlah Rp 2.250 per satu dollar AS, berarti nilai aset seluruh
BUMN mencapai sekitar 177 milyar dollar AS, padahal utang pemerintah kala
itu di bawah 50 milyar dollar AS.
Si Pembisik tak memberi tahu Soeharto bahwa utang seluruh BUMN mencapai
70 persen dari nilai aset, sehingga nilai aset bersih cuma sekitar 50 milyar
dollar AS.
Untuk mewujudkan impiannya agar pemerintah tak lagi didikte oleh asing,
Soeharto membentuk kementerian khusus yang mengurus BUMN. Kebetulan, pilihan
pertama yang diprivatisasi adalah Kelompok Semen Gresik. Sayangnya, justru
perjalanan privatisasi Semen Gresik sejak awal selalu dirundung kontroversi
dan setiap langkah yang ditapaki tak pernah mulus.
"Win-win solution"
Pemerintah mengatakan bahwa keputusan yang dibuat Jumat lalu sebagai
win-win solution. Jika titik tolaknya sebatas perhitungan untung-rugi
material, rasanya tidak demikian. Kita lihat saja satu per satu.
Dengan penyelesaian put option murni, pemerintah akan memperoleh
dana dari privatisasi lebih dari setengah milyar dollar AS, sedangkan dengan
formula terakhir penerimaan bersih pemerintah tak sampai seperempat milyar
dollar AS. Perolehan sebesar itu membuat realisasi penerimaan dari
privatisasi untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) jauh dari target sehingga mengganggu pelaksanaan APBN.
Penyelesaian model ini jelas lebih merepotkan pemerintah. Namun, hal ini
wajar karena kerepotan itu diciptakan sendiri oleh pemerintah karena
kebijakannya yang kerap berubah. Itulah harga yang harus dibayar atas
lemahnya leadership dari pimpinan nasional tertinggi dan korupnya
elite politik di eksekutif dan legislatif.
Lalu, mari kita tinjau kepentingan masyarakat lokal. Apa yang didapat
oleh masyarakat Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan dari keberadaan pabrik
semen milik negara itu? Apakah ada perbedaan antara spin-off dengan
put option?
Kalau dengan spin-off, Semen Padang dan Semen Tonasa akan berdiri
sendiri menjadi BUMN murni. Kedua BUMN ini tak lagi menjadi perusahaan
publik. Artinya terjadi "penegaraan" atau semacam nasionalisasi kepemilikan,
karena saham milik masyarakat dan swasta-baik domestik maupun asing-diambil
alih oleh pemerintah.
Langkah tersebut merupakan kemunduran di tengah tuntutan untuk mengurangi
atau bahkan menghilangkan peran negara sebagai pelaku usaha aktif. Peran
negara sudah sepatutnya lebih difokuskan sebagai pengatur atau regulator.
Ada kesan sangat kuat bahwa tuntutan spin-off sudah menjadi isu
daerah, bahkan justru daerahlah yang mendesak pemerintah pusat melakukan
pemisahan ini. Kalau memang demikian, apa sebenarnya yang diharapkan daerah?
Mungkin awalnya adalah salah persepsi atau cara pandang. Pemerintah
daerah (pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memandang
keberadaan "BUMN murni" akan memberikan kontribusi langsung yang signifikan
bagi perekonomian daerah, khususnya pendapatan asli daerah (PAD). Jelas
argumen ini tak beralasan karena tak ada ketentuan yang mengatur pembagian
pendapatan atau keuntungan antara pemerintah pusat dengan daerah di mana
BUMN itu berlokasi.
Jadi, apa pun alternatif yang dipilih, pada dasarnya masyarakat lokal
tidak terpengaruh. Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal akibat adanya
suatu proyek atau pabrik lebih ditentukan oleh sistem perpajakan serta
perilaku perusahaan dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance dan konsep corporate social responsibility. Masyarakat
lokal akan semakin terlindungi seandainya dilengkapi dengan kokohnya
landasan kerangka regulasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah,
misalnya yang berhubungan dengan lingkungan, terjaminnya persaingan sehat,
dan perlindungan konsumen.
Tidak demikian halnya dengan elite-elite lokal dan kelompok-kelompok
kepentingan lainnya. Mereka lebih menyukai pabrik semen yang berlokasi di
daerah mereka, berada sepenuhnya di bawah kendali mereka, syukur-syukur bisa
disulap menjadi badan usaha milik daerah (BUMD). Sudah bukan rahasia lagi
bahwa BUMD selama ini menjadi sapi perah pemerintah dan politisi lokal.
Kelompok kepentingan lain yang gundah dengan pengalihan kepemilikan adalah
para direksi dan karyawan. Ketakmampuan dan ketakcakapannya selama ini
terlindungi oleh inefisiensi dan praktik-praktik bisnis korup ala BUMN.
Sisi investor
Bagaimana dengan investor? Bagi investor, put option tanpa
spin-off berarti Cemex menguasai saham mayoritas di ketiga pabrik
semen (Gresik, Padang, dan Tonasa). Ini tentunya merupakan pilihan paling
menguntungkan. Dengan skema ini, Cemex akan menjadi pemain utama di pasar
dalam negeri ditambah lagi dengan penguasaan pasar yang relatif merata dari
Barat hingga ke Timur. Kekuatan Cemex akan berada di atas pesaing-pesaing
utamanya, yakni Indocement dan Semen Cibinong, yang keduanya juga telah
dikuasai oleh asing.
Kenyataan inilah yang membuat posisi tawar pemerintah dalam penentuan
harga saham pemerintah di Semen Gresik yang akan dibeli Cemex tidak sekuat
jika pemerintah memilih instrumen put option secara penuh.
Namun, Cemex masih memiliki peluang untuk menikmati penguatan posisi.
Pertama, Cemex sudah pasti memegang kendali sepenuhnya atas Semen Gresik.
Kedua, sekalipun kepemilikan Cemex lewat Semen Gresik atas Semen Padang dan
Semen Tonasa tidak mayoritas, peranannya dalam pengambilan keputusan bisa
tetap besar. Ini bergantung pada hasil negosiasi dengan pemerintah yang
rencananya dimulai hari ini.
Niscaya Cemex akan berupaya semaksimal mungkin memperoleh hak-hak khusus
di kedua BUMN penghasil semen, yang saham mayoritasnya (51 persen) akan
tetap di tangan pemerintah. Hak-hak khusus ini sudah tentu lebih luas
ketimbang sekadar hak pemegang saham minoritas yang berlaku umum. Kalau
Cemex berhasil memaksimalkan kendalinya pada kedua BUMN, yang telah dilepas
dari Semen Gresik tanpa harus menjadi pemegang saham mayoritas, maka hasil
dari alternatif yang telah diputuskan praktis sama saja dengan put
option murni.
Kemungkinan seperti ini cukup besar, mengingat Cemex tentunya akan
meminta kompensasi karena pemerintah telah "melanggar" kesepakatan
sebelumnya. Di pihak lain, pemerintah "terpaksa" memenuhi tuntutan Cemex
untuk menjaga kredibilitas pemerintah di mata lembaga donor internasional
dan investor asing. Ketidakpuasan mereka bisa mempengaruhi kucuran dana dari
CGI dan prospek masuknya modal asing di tahun-tahun mendatang.
Pelajaran berharga
Privatisasi sebagai suatu kegiatan bisnis merupakan proses yang
sederhana. Prosedur, mekanisme, dan serangkaian tolok ukur sudah baku.
Persoalan privatisasi lebih disebabkan oleh konflik kepentingan di antara
berbagai kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, termasuk di
dalamnya kepentingan politik. Maka, keberhasilan privatisasi sangat
ditentukan oleh adanya payung politik.
Salah satu payung politik atau bahkan mungkin yang terpenting adalah
adanya undang-undang privatisasi. Undang-undang ini sangat mendesak untuk
menjamin proses privatisasi yang transparan dan tak bertele-tele.
Persoalan yang muncul selama ini sering disebabkan oleh penolakan
kelompok-kelompok tertentu atas keputusan apa pun yang diambil pemerintah.
Untuk mengatasi krisis kredibilitas, pemerintah harus meminjam tangan pihak
lain yang memiliki kredibilitas sangat tinggi. Mereka diberi wadah,
katakanlah bernama Komisi Privatisasi, yang terdiri dari lima sampai tujuh
tokoh, yang reputasinya tak diragukan lagi serta bersih dari skandal dan
berbagai macam tindakan tercela lainnya. Komisi inilah yang nantinya
mengambil keputusan-keputusan strategis seperti harga saham terendah,
pilihan terbaik privatisasi. Komisi ini pula yang akan menampung aspirasi
berbagai kelompok kepentingan yang berbeda.
Faktor utama lainnya yang menentukan keberhasilan privatisasi adalah
prinsip quickness, jadi tak boleh bertele-tele. Undang-undang
privatisasi bisa menyelesaikan persoalan ini. Undang-undang bisa memasukkan
daftar BUMN yang akan diswastanisasikan selama kurun waktu tertentu. Dengan
demikian, pemerintah tak perlu meminta izin untuk setiap BUMN yang hendak
dijual.
Salah satu sumber masalah dalam proses privatisasi selama ini adalah DPR.
Para direksi BUMN yang merasa terancam kerap meminta dukungan
anggota-anggota DPR yang rawan suap agar mendesak pemerintah tidak
menswastakan BUMN tempat mereka.
Terakhir, era otonomi hendaknya tidak menjadi kendala bagi proses
privatisasi. Dengan mengembangkan pola komunikasi yang sehat dan jujur, saya
yakin, setiap rencana yang menguntungkan rakyat banyak niscaya akan
memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Penentangan dari elite daerah
adalah sesuatu yang wajar. Namun, tekanan mereka bisa diatasi dengan
meningkatkan kesadaran rakyat, dengan cara membanjiri masyarakat dengan
informasi yang benar. Yang terakhir ini sejak awal tak dilakukan oleh
pemerintah.
(Faisal H Basri, peneliti Indef
)