Uda Soni dan Rantauers
Assalamu'alaikum Wr Wb
Terima kasih atas pandangan Mas Soni atas komentar pendek
saya.
Uda Soni, kita memang harus melihat kepentingan asing
secara lebih berimbang. Bagaimanapun, program seperti Marshall Plan juga masuk
ke Jerman (Barat) dan Jepang pasca Perang Dunia II. Kedua negara itu toh
berhasil menjadi negara maju, yang menempati puncak piramida ekonomi,
sebagaimana tergabung dalam G-7. Artinya apa? Bantuan asing apabila digunakan
dengan baik, terukur, dan dilandasi oleh kepentingan yang lebih besar, justru
terbukti mampu mengangkat perekonomian negara yang dibantu.
PT Semen Padang awalnya juga perusahaan Belanda yang menjajah
Indonesia. Ketika itu hubungannya antara yang terjajah dengan yang menjajah.
Setelah merdeka, hubungannya adalah sesama negara merdeka. bagaimana bisa
kemudian negara ini terpuruk, sementara negara-negara lain tidak? Kepentingan
modal (kapitalisme dalam skala luas) memang ingin melipat-gandakannya. Tetapi
tak masuk diakal, apabila kapitalisme justru berkepentingan dengan tumbuhnya
negara-negara miskin di berbagai penjuru dunia. Kenapa? Ketika banyak negara
menjadi miskin, justru modal tak bisa lagi dikembangkan disana, dan
lama-kelamaan menggerogoti kapitalisme sendiri.
Maaf, saya tak bicara soal Cemex secara khusus, karena dalam
soal ini saya melihat banyak kejanggalan, sejak awal. Yang saya ingin
garisbawahi dari pernyataan Uda Soni adalah:
".......Kemudian dilihat dari sudut
TNC, tentu tidak akan terlalu sulit bagi Bung untuk memahami bahwa sesungguhnya
tidak ada penerima suap jika tidak ada penyuap. Nah, dalam berbagai praktik
korupsi di Indonesia, tidak pernahkah terpikir oleh Bung bahwa sesungguhnya TNC
sekelas Freeport, Monsanto, Caltex, dan Cemex itulah yang paling besar suapnya
kepada para pejabat Indonesia....."
Iya, betul, setuju. Tetapi apakah dengan hanya menunjukkan hal
ini persoalan menjadi selesai? Orang-orang yang berkategori menerima suap itu
justru sekarang banyak yang berlindung dibalik issue Semen Padang!!! Bukankah
mereka dulu adalah pejabat-pejabat negara di Jakarta? Tidak akan mungkin
persoalan korupsi bisa diselesaikan oleh orang yang masih diragukan apakah
bersih dari korupsi atau tidak. Ini saja secara moral dan etika sudah
janggal.
Lihatlah, apakah yang berteriak di Padang itu orang-orang
miskin? Ataukah mereka adalah orang-orang yang kita kenal juga dulunya sebagai
penghamba Cendana dan Jakarta? Saya punya kakak sepupu, seorang pejabat di Pemda
Sumbar. Hampir tiap bulan dia ke Jakarta, seminar ini, seminar itu. Dalam setiap
pergantian presiden, dia selalu hadir. Dari dialah saya tahu, bagaimana watak
pejabat-pejabat di ranah Minang, juga lewat pengalaman tentunya. Lihat itu
tender-tender pemerintah, pasti jatuh ke anak-anak pejabat, atau anak jenderal,
di Sumbar. Dan patut diingat, bahwa proyek-proyek itu sebagian dibiayai oleh
utang luar negeri.
Yang saya ingin katakan adalah, persoalan korupsi lebih
merupakan persoalan dalam negeri, ketimbang luar negeri. Menyalahkan luar negeri
saya kira hanyalah metode pencarian kambing hitam. Bulan lalu
ada program penghapusan utang dari pemerintahan Jerman, dengan ganti
program-program pemberdayaan masyarakat miskin. tetapi apa lacur? Sampai
sekarang tak ada satupun
proposal yang masuk!!! Kenapa? Karena harus bekerja keras, lalu harus mengawasi
sendiri programnya, tetapi tanpa bantuan keuangan seperti dulu. Jerman sudah mau
berubah, juga negara-negara lain, sedangkan pejabat dalam negeri tak berubah.
Korupsi bukannya menjadi makin kecil, malah makin membesar.
Kasus lain, soal JPS. Sebagian bukan utang. Tetapi apa lacur? Hampir
90%-nya dikorupsi, termasuk oleh NGO-NGO dan Pemda di Sumbar. Buktinya, baca
laporan media massa, juga lihat busung lapar di Sumatera Barat yang dicoba
ditutup-tutupi oleh Pemda. lalu apa kepentingan asing dalam soal ini? Lha,
mereka kan hanya kasih bantuan, sama dengan kita bantu pengungsi Afghanistan.
Nah, ketika bantuan itu dikorupsi, apa asingnya yang bersalah? Ya, sudah,
tinggal bilang saja: tolak segala bantuan asing. Go to hell with your
aid!!!!
Bahkan untuk bantuan kemanusiaanpun dikorupsi!!! Apa pihak asing harus
membiarkan kita mati dulu dalam bencana, karena takut nanti mereka dituduh
membiarkan korupsi? Atau justru persoalan korupsi ini dahulu yang harus kita
selesaikan, pertama dengan menyingkirkan pelaku politik dan ekonomi masa lalu
(yang sekarang berdiaspora ke daerah), kedua, menyelesaikan berbagai aturan
main, ketika; menghukum pelaku kejahatan ekonomi-politik masa lalu, baru
keempat, membangun kembali Indonesia dengan orang-orang dan aturan main
baru.
Kalau Uda Soni mengatakan ini:
"....Bung Indra, rangaian pernyataan saya tersebut
bukanlah sekedar upaya untuk mengidealisasikan perjuangan spin-off. Tapi hal itu
benar-benar saya utarakan secara terbuka kepada hampir semua pihak yang terlibat
dalam perjuangan ini. Artinya, saya hanya akan mendukung perjuangan
spin-off sejauh dilandasi pada niat untuk menyelamatkan harta rakyat dari para
maling. Pernyataan ini saya kemukakan kepada orang-orang seperti Harun Zain,
Azawar Anas, Aisyah Amini, Fahmi Idris, Gubernur Sumbar, Dewan Komisaris PT SP,
Direksi PT SP, serta para ninik mamak dan alim ulama....."
Saya koq menjadi ragu, ya? Orang-orang yang Uda Soni sebut
itukan dulu yang bekerja untuk Cendana, punya usaha banyak, menjadi pejabat
pemerintah (pejabat negara dalam kategori Uda Soni sendiri termasuk yang kena
suap oleh penyuap asing). Saya koq menjadi semakin pesimis, apakah kita bisa
bekerja untuk rakyat, atau justru kita bekerja untuk melindungi orang-orang
dahulu, yang kaya raya itu? Apakah yang kita lindungi memang masyarakat, atau
orang per orang yang beruntung dimasa Orde Baru? Maaf, Uda Soni, saya dari dulu
memang tak suka dengan nama-nama yang Uda Soni sebutkan. Saya dari dulu tak
pernah mendapat manfaat apapun dari mereka. Makanya saya tak pernah berutang
budi pada mereka.
Sebab, sebagian besar dari usaha mereka juga dengan cara
memanfaatkan utang, baik utang asing, atau berutang ke bank-bank pribumi, yang
kemudian bangkrut itu. Siapa yang menjarah hutan-hutan Mentawai? Siapa yang
bertanggungjawab atas rusaknya jalan-jalan di Minang karena dikorupsi? Siapa
yang menyebabkan bantuan untuk anak-anak kelaparan tak sampai ke anak-anak itu?
Siapa yang makan dana-dana JPS? Siapa yang menyebabkan industri rumah tangga di
Minang hancur lebur? Siapa yang mau bertekuk-lutut pada kebijakan penghapusan
nagari, lalu sekarang bersyukur atas kembalinya konsep nagari ketika orang
sudahmelupakannya? Orangnya itu-itu saja.
Pernyataan Uda Soni ini mengganggu saya:
".....Perlu Bung garis bawahi, BUMN itu adalah
perusahaan publik, dalam arti perusahaan seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu ia
tidak memerlukan go publik. Penerapan konsep go public terhadap BUMN adalah
sebuah pemutabalikan fakta. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses go
privat. Nah, saya, bung, dan sanak RN lainnya, perlu menjamin agar proses
peralihan perusahaan publik menjadi perusahaan privat itu tidak dilakukan dengan
cara merampas....."
BUMN kan perusahaan negara. Negara, selama Orde Lama adalah
Soekarno, dan selama Orde Baru adalah Soeharto. Negara juga bisa berarti
jenderal-jenderal, menteri-menteri, pejabat-pejabat, serta rekanan pengusaha
pribumi dan asing mereka. Saya koq tak melihat mereka itu "publik". Selama
konsep negara adalah saya, negara adalah Cendana, negara adalah Megawati, maka
tak ada publik didalamnya. Publik hanya dikooptasi secara politik. Kalau
kemudian BUMN go publik, idealnya kan orang seperti saya bisa menanamkan modal
di BUMN itu, bisa memegang selembar dua lembar saham. Dan itu berarti publik
ikut bertanggung-jawab, yakni publik yang punya saham tentunya, apakah
perusahaan merugi atau tidak, kinerjanya baik apa tidak. Dan negara tak harus
disalahkan lagi, kalau sudah go publik 100%, kalau ada kehancuran di perusahaan
itu. perusahaan menjadi milik privat-privat (privat + privat = public).
Yang dipermasalahkan sebetulnya adalah privat pribumi atau
privat asing, agar jangan terkesan new imperealisme kalau privat asing yang
punya. Tetapi, logikanya, kalau privat pribumi sanggup, punya uang, ya, privat
asing tak akan bisa masuk. Atau, kalau memang tak ingin perushaan jatuh ke
tangan privat asing, sementara belum punya modal untuk membiayai perusahaan, ya,
matikan saja perusahaannya. Biarkan PT SP, misalnya, jadi rangka besi, karena
tak ada pemodal dalam negeri, tak ada uang negara mengungat negara miskin.
Sederhana saja, saya kira.
Untuk point ini:
"...Sebagai penutup Bung Indra, perlu
Bung ketahui bahwa kawan FHB yang bernama Didik Rachbini, yang sangat getol
mencerca masyarakat Sumbar, pada saat yang sama adalah anggota KPPU yang
merangkap sebagai anggota dewan komisaris PT Pelindo II, dan anggota Oversight
Committee BPPN. FHB, selain pernah duduk menjadi anggota Ombudsman BPPN
(kemudian mengundurkan diri), saat ini juga duduk sebagai anggota
KPPU...."
Sebagai informasi: Didik J. Rachbini adalah komisaris Angkasa
Pura, bukan Pelindo II. Didik juga Ketua DPP PAN, bidang Litbang, yang
menggantikan FHB. (Bagaimana bisa sesama orang DPP PAN, antara Patrialis Akbar
dengan Didik-- Juga dengan Bambang Sudibyo, mantan Menkeu, yang juga orang
kepercayaan Amien Rais dan gagal menjadi Menkeu Kabinet Mega-- berbeda pendapat
soal PT SP? Didik dan Bambang adalah ekonom DPP PAN, sedangkan Patrialis adalah
anggota DPR asal Padang).
Soal FHB, saya keberatan dengan informasi Uda
Soni. FHB tidak pernah menjadi anggota Ombudsman
BPPN, dan tidak pernah mengundurkan diri. FHB memang pernah dikirimin surat
kesediaan oleh Cacuk Sudarjanto, akan tetapi karena salah satu klausulnya adalah
"...agar tak memberikan keterangan apapun dalam BPPN ke umum...", FHB
marah-marah. "Bagaimana kalau BPPN korupsi, masak saya tak cerita?" katanya.
Kebetulan, saya yang menerima surat itu (waktu itu saya masih asisten FHB), dan
FHB merobek surat itu. Nah, perihal uang Rp. 120 Juta yang dikembalikan ke BPPN,
nyatanya masuk ke rekening BNI, sedangkan FHB jarang membuka rekening itu,
karena memang menyimpan uangnya di Bank Muamalat. (Salah satu wawancara FHB
yang pernah saya baca dengan keras menyebut bank sebagai riba! makanya, FHB tak
pernah punya rekening bank, kecuali ketika ada kewajiban seluruh dosen FEUI pake
rekening, karena gaji ditrasfer) Rekening BNI hanya untuk terima gaji di FEUI
(sebelum mundur dan status quo). Kebetulan yang mengembalikan uang sebesar Rp.
120 Juta itu saya, saya yang tanda-tangan di BPPN, sebagai wakil pihak FHB.
Kenapa orang BPPN tahu nomor rekening FHB, karena memang ketika awal, BPPN
sering mengadakan diskusi dengan kalangan ekonom, yang honornya sebesar Rp.
750.000,- per pertemuan. FHB hadir beberapa kali.
Soal tulisan di Kompas, kalau Uda Soni baca lagi, kan
menjelaskan bahwa soal win-win solution itu nyatanya nggak win-win. Sebab,
pemerintah pusat dan daerah sama-sama rugi. FHB menawarkan sejumlah cara, yang
baru dalam tahap wacana. Setahu saya, FHB memang pernah diminta oleh seseorang
untuk menulis soal Cemex, dengan bayaran Rp. 10 Juta. (Saya diceritakan oleh
teman saya, yang juga orang Padang, yang termasuk setuju FHB menulis). FHB,
setahu saya, menolak tawaran itu, dengan caranya: bepergian kemana-mana.
Soalnya, sungkan sama orang yang meminta, karena satu
partai!!!!
Uda Soni kan juga pernah diceritakan FHB soal uang "satu koper
kecil" yang diterima Amien Rais kan? Bukannya Uda Soni yang mengatakan soal ini
dalam seminar di Yogya itu, lalu berbuntut pada konflik-konflik di DPP PAN?
Dalam soal ini, bagi saya, analisa Uda Soni bukan kepada tulisannya, tetapi
kepada informasi yang tak lengkap soal FHB.
Maaf, kalau saya menulis agak panjang.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
IJP
|