Koran Tempo,
Sabtu, 23 Maret 2002
NGO, Anjing, dan Kafilah Indra J. Piliang Peneliti CSIS, Jakarta Pekan lalu merupakan momen terburuk dalam perkembangan komponen civil society. Kantor Kontras diserbu, demonstrasi Masyarakat Miskin Kota dibubarkan, lantas tempat-tempat yang disinyalir sebagai sarang kemaksiatan dirusak oleh organ masyarakat sendiri. Kalau dulu yang melakukan tindakan sejenis itu adalah aparat negara dari sebuah rezim otoriter-represif, kini beralih dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang mestinya saling bekerja sama dalam membangun masyarakat madani yang berkeadilan sosial, religius, sekaligus hormat akan hak orang lain. Fenomena sipil menyerang sipil dengan cara melanggar kebebasan orang lain, juga melanggar hukum, adalah awal dari kehancuran civil society. Padahal, civil society secara garis besar adalah lawan dari despotisme (kelaliman), memanfaatkan ruang yang masih tersedia bagi kelompok-kelompok sosial di masyarakat agar dapat menegakkan eksistensinya dan bergerak (John A. Hall; 1995: 1). Apabila komponen civil society sendiri telah menunjukkan kelalimannya, bisakah kita menyebutnya sebagai unsur dalam civil society? Di sisi lain, telah terjadi pergeseran peran komponen civil society, terutama Non Government Organization (NGO), pasca-Orde Baru. Apabila sepanjang 1980 sampai 1990-an NGO lebih berfungsi sebagai anjing yang menyalak kepada kafilah yang lewat (watch dog), yang merupakan rombongan khalifah yang zalim, kini NGO justru dilihat sebagai kafilah itu sendiri. Maka, adagium "anjing menggonggong kafilah berlalu" tak lagi tepat disebut sebagai formulasi dari peran NGO sebagai anjingnya, dan khalifahnya adalah penguasa. Dari serangan terhadap kantor Kontras dapat dilihat bahwa yang menjadi kafilah justru NGO, yang "digonggong" watch dog kelompok penyerangnya. Namun, fokus utama pengawasan NGO tetap tak bergeser, yaitu khalifah yang zalim. Singkatnya, anjing menggonggong kafilah, kafilah mengkritik khalifah. Sebagai kafilah, NGO menjadi pengantar surat protes masyarakat ke berbagai garis lintang dan garis bujur geografi kekuasaan. NGO harus terus bergerak, dari satu wilayah kelaliman ke wilayah kezaliman lain yang dipertontonkan oleh khalifah: dari penyelamatan penyu di Bali sampai usulan perombakan konstitusi di Jakarta, dari kampanye antiperburuan harimau di hutan rimba Sumatra sampai pengawasan nasib pekerja bangunan di hutan beton Jakarta. Peran baru NGO sebagai kafilah ini sedemikian pentingnya mengingat berbagai karnaval kekuasaan sekarang ini seakan-akan ingin melakukan the collective memory shutdown atas dosa-dosa masa lalu akibat kesalahan dalam mengelola negara. Dosa-dosa berupa pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, korupsi, sampai pada tingkatan pemiskinan massal akibat harus mengadopsi pola revolusi hijau yang menyebabkan petani harus menyemprotkan racun endemik berupa pestisida atau pupuk tak terurai ke lahan-lahan pertaniannya. Belum lagi pada upaya de- edukasi dalam berbagai tingkatan--dari pendidikan formal sampai pendidikan politik--yang menyebabkan ketertinggalan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir masyarakat. Karenanya, serangan terhadap kantor Kontras atau pembubaran demonstrasi oleh kelompok di luar aparatur keamanan, haruslah dianggap sebagai bentuk dari anarkisme sosial yang keluar dari pakem demokrasi. Cara ini jauh lebih berbahaya ketimbang pengerahan massa partai politik (parpol) ketika menduduki kantor media massa. Massa parpol jelas organisasi induknya, juga identitas orang-orangnya, sedangkan massa yang bergerak sekarang ini sulit ditengarai terhubung dengan organisasi resmi. Seiring dengan itu, komponen civil society juga perlu melakukan revitalisasi perannya di tengah proses konsolidasi demokrasi yang kini berjalan. Fungsi watch dog saja tidak cukup, mengingat fungsi itu mestinya diarahkan sebagai bagian dari institusi kenegaraan dalam kerangka demokrasi sistemis dan organis. Bagaimanapun, usaha ke arah itu sudah dilakukan meski masih dalam proses pembelajaran. Organisasi seperti Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komite Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komnas HAM--yang dibentuk berdasarkan Undang-undang--sudah menunjukkan instalisasi peran watch dog yang dulu dimainkan oleh NGO. Yang juga kurang begitu disorot adalah repositioning dari lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dulu lebih berfungsi sebagai akuntan pemerintah, tapi kini jauh lebih transparan dalam membeberkan penyelewengan keuangan negara. Yang belum berubah adalah kinerja DPA mengingat orang-orangnya belum juga diganti, dan secara hukum keberadaan lembaga negara ini masih belum diusahakan untuk benar-benar "agung". Pun di kalangan penyelenggara negara lainnya. Konsep Montesquie dengan Trias Politika-nya sudah sedemikian terang benderangnya, bahwa antara elemen penyelenggara negara memiliki fungsi check and balance. Tidak bisa hanya satu lembaga saja yang menonjol, misalnya legislatif. Untuk sekadar menonjol saja sudah tidak boleh, apalagi untuk melakukan intervensi antarlembaga. Apabila keadaan ini terus berlanjut, misalnya intervensi politik terhadap hukum, bagaimana nantinya keadaan demokrasi kita? Ketika, misalnya, Fraksi TNI/Polri menolak penyelesaian politik atas keterlibatan Akbar Tandjung dalam kasus penyelewengan dana Bulog, mestinya upaya serupa juga harus ditempuh dalam proses mengadili tersangka pelaku kejahatan HAM masa lalu. Yang kini terjadi adalah standar ganda, intervensi politik atas kasus pelanggaran HAM berat dibolehkan, dengan berpijak pada "rekomendasi" DPR, sementara untuk kasus Akbar Tandjung dilarang, juga atas keinginan fraksi-fraksi tertentu di DPR. Revitalisasi peran NGO ini harus seiring dengan proses penyadaran publik. Karena itu, kesabaran kian dibutuhkan. Sulit memang untuk tidak marah pada aksi penyerangan kantor Kontras atau pembubaran demonstrasi damai Masyarakat Miskin Kota. Namun, mengingat belum tentu para pelaku itu mengerti tindakan yang mereka lakukan, kearifan kalangan NGO untuk menyadarkan mereka adalah poin penting yang harus diberikan. Kalau perlu, YLBHI atau PBHI mendampingi pelakunya di pengadilan, agar mereka tahu bahwa komponen civil society, terutama NGO, bukanlah musuh masyarakat dan tak harus saling menyerang. Anjing yang suka menggonggong biasanya jarang menggigit, sekalipun setia pada tuan atau wilayahnya. Sudah saatnya juga kafilah-kafilah menyalurkan aspirasi yang mungkin sulit diperdengarkan oleh anjing, mengingat terlalu jauh dan seringnya kafilah bepergian. |
- Re: [RantauNet] NGO, Anjing, dan Kafilah Indra Piliang