Pengamatan Prof. Rotberg ini menakutkan kita, mestinya. Indonesia termasuk dari sekitar 42 negara yang menuju negara yang "gagal". Indikator negara yang gagal yang disebutkan Rotberg (....cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak) sudah banyak tampak di Indonesia. Bahkan lebih banyak yang belum disebutkan, seperti separatisme, institusionalisasi politik yang merambat pelan bahkan (menurut diskusi saya semalam bersama narasumber Bima Arya dari CPPS Paramadina di Jakarta News FM) berjalan mundur/membelakang, permisifisme kalangan penyelanggara negara, ketiadaan platform perjuangan sebagai konsensus bersama di berbagai kalangan (partai-partai politik, penyelenggara negara, civil society, atau juga pers), ketidakjelasan penegakkan hukum, standar penegakkan HAM yang gagap, partisipasi politik yang rendah dan irrasional, etc.
 
Adakah yang bisa kita lakukan, wahai kawan?
 
ijp
 
==========
 
Kompas>Kamis, 28 Maret 2002

Indonesia dalam Zona Bahaya ke Arah Negara yang "Gagal"

Jakarta, Kompas - Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa (nation state) lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal. Indonesia akan selamat dan terlindungi dari bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila Indonesia memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen dari dunia internasional untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum.Demikian dikemukakan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam seminar yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (27/3).

"Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang," kata Rotberg.

Persoalan serius yang dihadapi Indonesia saat ini adalah perekonomian yang lemah, gerakan separatis di Aceh dan Papua, serta konflik sosial. Apabila konflik di Maluku dan Poso tidak segera ditangani dan perlucutan senjata tidak dilakukan, Rotberg khawatir, konflik berlatar belakang perbedaan etnis, agama, atau bahasa akan berkembang di daerah-daerah lain tanpa sebab yang jelas.

Dia menekankan perlunya penguatan pemerintahan berdasarkan hukum, desentralisasi tanpa perpecahan, sekaligus penguatan nilai-nilai politik secara nasional. Indonesia memiliki keuntungan adanya sentimen nasionalisme yang kuat, tetapi sekaligus memiliki sumber-sumber yang potensial menciptakan instabilitas politik maupun ekonomi. Oleh karena itu, perlu ada kepemimpinan yang kuat dan visioner. Namun, kepada wartawan, Rotberg mengaku tidak mempelajari Indonesia secara khusus sehingga tidak bersedia memberikan penilaian mengenai kepemimpinan Megawati Soekarnoputri atau menyebut nama seseorang di Indonesia yang dapat menyelamatkan Indonesia dari kegagalan.

Ia juga berpendapat, kebebasan pers perlu tetap dipelihara karena kebebasan pers merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah negara mengalami kegagalan.

Dalam seminar tersebut Rotberg-yang juga menjabat sebagai Presiden Yayasan Perdamaian Dunia-mengemukakan empat kategori negara bangsa, yakni negara bangsa yang kuat, lemah, gagal, dan runtuh. Ia juga menyebutkan sederet karakteristik untuk setiap kategori.

Menurut Rotberg, fenomena kegagalan negara bukan hal yang baru di dunia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, dari jumlah 192 negara yang ada, banyak di antaranya lemah, ada yang tengah menghadapi bahaya menuju kegagalan, gagal, dan beberapa di antaranya telah gagal pada tahun 1990 dan beberapa di antaranya telah runtuh. Sejak periode itu, konflik di dalam negara sangat banyak terjadi yang mengakibatkan sedikitnya sembilan juta orang tewas dan empat juta sampai lima juta orang menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Keadaan ini merupakan ancaman bagi tertib dunia.

Dalam keadaan sekarang, dunia tidak dapat lagi mengambil jarak terhadap keberadaan negara yang lemah atau gagal. Kegagalan negara berdampak tidak hanya pada situasi keamanan dan kedamaian di negara bersangkutan, tetapi juga di negara-negara tetangga dan tertib dunia secara kesuluruhan. Karena itu, merupakan sesuatu yang imperatif bagi masyarakat internasional dan organisasi-organisasi multinasional untuk mencegah suatu negara menjadi lemah dan gagal.

Kelemahan atau kegagalan negara bangsa, kata Rotberg, berasal dari faktor-faktor fisik-geografis, faktor sejarah akibat kesalahan-kesalahan pada masa kolonial atau kebijakan luar negeri, atau yang lain-lainnya. Namun, faktor utama kegagalan suatu negara lebih karena faktor manusia. Keputusan-keputusan yang merusak dari para pemimpin berkontribusi besar pada kegagalan negara.

Rotberg menyebut indikator negara yang kuat antara lain tingkat keamanan dan kebebasan yang tinggi, perlindungan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi, sejahtera, dan damai. Sebaliknya negara-negara yang gagal cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Ia menyebut negara bangsa yang gagal di antaranya Sierra Lione, Sudan, dan Afganistan. Negara-negara itu tidak memiliki penguasa dan otoritas di dalam batas-batas wilayah negaranya dan otoritas negara berpindah ke tangan panglima-panglima perang. Rakyat hidup tanpa pemerintahan, tanpa keamanan, tanpa infrastruktur fisik untuk masyarakatnya.

"Ada sekitar 42 negara di dunia saat ini yang dalam kondisi lemah, menuju kegagalan, gagal, atau runtuh," kata Rotberg. (wis)

Kirim email ke