Pak Mawie Ananta Joni,

Cerita bapak sangat menyentuh perasaan sebagai orang Minang nan marantau jauah tapi hati tetap memimpikan Marapi jo Singgalang. kalau bulieh agieh lah hambo alamaiak e mail bapak. kami urang awak di Jenewa lai acok basuo. Siapo tahu bapak lai taragak manamui kami.Kan lai indak jauah bana do

Ries Woodhouse

>From: "Titik" <[EMAIL PROTECTED]>
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
>To: <[EMAIL PROTECTED]>
>Subject: [RantauNet] Fw: [Nasional] Fw: Membela Tanah Pusaka
>Date: Wed, 10 Apr 2002 12:52:22 +0700
>
>Tipikal permasalan di nagari awak.
>SBN
>----- Original Message -----
>From: Mawi
>To: [EMAIL PROTECTED]
>Sent: Tuesday, April 09, 2002 11:36 PM
>Subject: [Nasional] Fw: Membela Tanah Pusaka
>
>
>
>----- Original Message -----
>From: Mawi
>To: [EMAIL PROTECTED]
>Sent: Sunday, April 07, 2002 10:54 PM
>Subject: Membela Tanah Pusaka
>
>
>
>M E M B E L A T A N A H P U S A K A
> / Mawie Ananta Jonie.-
>
>
>Bulan Agustus tahun 1995 aku pulang berlibur untuk pertama kali ke Indonesia. Setelah tiga
>puluh satu tahun pergi. Orang Minang bilang; "Setinggi-tingginya terbang bangau, surutnya ke
>kubangan jua".
>
>Walaupun aku sudah memegang pasport Negeri Belanda. Yang berwarna merah tua. Tapi cin
>taku pada Indonesia. Jangan ditanya. Cintaku pada Tanah Tumpah Darahku ini, tidak akan
>bisa "dipaling setan". Tidak hanya oleh karena merah atau birunya warna pasport yang kumili
>ki.
>
>Saat itu, Jendral Suharto masih berkuasa. Masih didengar orang mulutnya. Gemang mengaliri
>seluruh batang tubuhku. Langkah terasa berat diayunkan di atas bumi Nusantara. Adakah ka
>rena udara panas Ibu Kota? Ataukah karena aku tergabung di dalam barisan penentang Klik
>Suharto-Orde Baru?
>
>Aku menutup diri. Tidak ingin bertemu dengan teman-teman lama. Padahal kecamuk rindu nak
>bersua bukan main besarnya. Bang J pernah sekali mengajakku ke rumah NM. Untuk mengha
>diri peringatan empat puluh hari meninggal Bung K. Suaminya. Kubenam keinginan.
>
>Suatu petang. Lutfi datang mengajakku pergi dengan autonya. Kami menyusuri jalan lama. Pe
>lan-pelan. Masuk ke jalan baru. Akhirnya aku mengenal kembali Jakarta.
>
>Selain dari pada itu pikiranku kucurahkan untuk perjumpaan dengan anak kemenakan. Untuk
>menampakkan diri kepada mereka. Menunjukan bahwa aku masih hidup. Hidup dalam artian
>akan dapat memberikan dukungan moril. Bila mereka perlukan. Ibu mereka sudah lama tiada
>lagi. Sewaktu mereka masih dalam masa kanak-kanak. Sembilan orang bersaudara.
>
>Di lapangan terbang Sukarno-Hatta. Aku disambut dengan isak tangis. Hanya satu dua saja da
>ri mereka yang kukenal. Masih sempat kugendang dan kupangku semasa bayi.
>
>Dalam perjalanan pulang menuju ke Cibinong. Kami "mengota". Tak berujung tak berpangkal.
>Di sini aku memfasihkan bahasa Minang -ku kembali. Karena jarang sekali kupakai selama
>tinggal di luar negeri. Puluhan tahun.
>
>Edi. Kemenakan kandungku. Anak dari adik perempuan. Sebelum menuju ke rumahnya, dia ba
>wa kami pergi makan malam. Ke sebuah Warung Nasi Padang. Di Ranggunan. Undangan pemi
>liknya .Si Rosdi. Dia ini anak Mamak-ku. Adalah adik dari ayah Si Edi. Aku dengan Rosdi seba
>ya. Maka itu di antara kami masih melekat kesan-kesan satu sama lain.
>
>Di dalam "mengecek-ngecek" sambil makan terungkaplah persoalan tanah pusaka. Ada sebida
>ng tanah sudah terjual. Dijual karena ayah Rosdi jatuh sakit keras. Penyakit tua. Butuh uang.
>Maka Kakak telah diberi wewenang untuk menjualnya. Tentang ini, ketika masih di Tiongkok
>aku telah mereka kabarkan. Hanya surat itu sampai sangat amat terlambat. Aku tidak bisa ber
>buat apa-apa. Kecuali hanya penyesalan.
>
>Konon pada masa dahulu kala. Ketika nenek moyang orang Minang membikin sawah dan ladang.
>Telah dibuat batas-batasnya. Hingga jelas bahwa ini bagian Si Anu. Itu bagian Si Badu. Semua
>tersurat pula di dalam pepatah yang berbunyi:
>
> "Sawah berpematang. Ladang `berbintalak`".
>
>Ini menunjukkan bahwa berlakunya sesuatu ketentuan atas hak milik. Baik atas sawah maupun
>atas ladang. Tampak semua dalam tanda-tanda batas. Bukan itu saja. Upacara kepemilikan a
>tas sawah dan ladang selain disaksikan orang-orang bersangkutan juga dinyatakan dalam sum
>pah. Sumpah dibuka pula dengan akata-kata:
>
> "Amanat kalau tidak di pegang. Perbuatan kalau tidak dipenuhi".
>
>Maka yang bersumpah akan dimakan sumpahnya sendiri. Yang bunyinya seperti di bawah ini:
>
> "Ke atas tidak berpucuk. Ke bawah tidak berakar. Di tengah digirik
> kumbang. Bagai kerakap tumbuh di batu. Hidup segan mati tak namuh".
>
>Tentang kepusakaan sawah dan ladang itu sendiri. Pepatah menunjukkan begini:
>
> "Ketek-ketek turun ke semak. Dari semak turun ke pekan.
> Dari Ninik turun ke Mamak. Dari Mamak turun ke Kemenakan".
>
>Setelah ke empat orang Mamak dan Kakak ku tiada lagi, maka urusan tanah pusaka ini seka
>rang jatuh ke tanganku.
>
>Suatu malam. Kumpul-kumpul dengan anak kemenakan. Tersingkap pula satu hal sebagai
>berikut:
>
>Si Munin. Kini menjadi Datuk dari kaumnya. Selain itu dia juga menjadi Pengetua dari seluruh
>Datuk-Datuk dalam Nagari. Nampaknya kekuasaan yang dimilikinya cukup besar. Dapat ikut
>menentukan "hitam-putih" Kampung dan Nagari.
>
>Dia, anak Mamak-ku. Sewaktu anak sekolah. Kami sama-sama diasuh oleh ayahnya. Ya, Ma
>mak-ku. Ketika masih hidup, Mamak adalah Datuk dari Kaum kami. Bergelar Datuk Talanai.
>Si Muin tahu benar. Bahwa aku ini dijadikan ayahnya sebagai "penungkat" Datuk. Kemana be
>liau pergi untuk menyelesaikan urusan dalam "dunsanak" aku diajak. Dengan hak suara penuh.
>
>Sebelum Mamak yang tertua meninggal, beliau telah mewakafkan sebidang tanah untuk pem
>bangunan Kampung. Yang lain telah diatur dan digarisi bagian-bagian untuk anak kemenakan
>yang masih hidup. Tapi setelah yang tua-tua ini tidak ada lagi Si Munin bikin perkara dengan
>anak kemenakanku. Dia menyatakan bahwa tanah kami sudah "tak bertuan" lagi. Yang ting
>gal di atasnya hanyalah penduduk yang menumpang. Oleh karena itu bisa disita untuk kepen
>tingan Kampung dan Nagari.
>
>
>Etek-ku. Seorang yang tua dan masih hidup.Berdiri.Dibelanya tanah pusaka ini dengan fakta-
>fakta sejarah. Tidak bisa dibantah. Sejarah lisan!
>
>Suatu hari sebidang tanah didatangi orang . Di situ dipasang pancang-pancang. Adikku tersen
>tak. Diketahuinya bahwa tanah yang diberi pancang-pancang tersebut akan dijual. Kepada se
>seorang yang hendak membangun rumah. Siapa yang "lancang"tangan ini? Si Muin. Dia telah
>mengadakan "komplotan" jual beli tanah dengan upacara potong kambing.
>
>Dengan lading di genggaman. Adikku mencabuti pancang-pancang tersebut. Bukan itu saja.
>Ditungguinya tempat itu siang malam. Sementara anak kemenakanku yang lain ikut berdiri
>bersama mamaknya. Membela tanah pusaka !
>
>Waktu aku pulang ke Kampung lima tahun kemudian, di atas tanah yang hendak dijual
>tersebut kini telah berdiri sebuah rumah. Rumah besar. Kepunyaan Si Ilas. Kemenakanku. Ka
>mi tinggal dan "lalok"di rumah ini.
>
>Si Edi yang mengantarkan kami pulang ke Kampung, pada hari-hari pertama, meminta kepada
>ku untuk datang berkunjung kepada Si Muin. Aku jawab: "Dia nanti pasti datang sendiri". Nam
>paknya untuk hal yang satu ini, mulutku "masin". Karena tak lama kemudian dia memang da
>tang. Dengan autonya. Kusambut dengan salam dan berpelukan. Kami ini kan masih bersauda
>ra. Hanya anak kemenakanku yang tak enak. Mereka ada yang berteriak-teriak di kejauhan.
>Memperotes sikapku yang bersahabat.
>
>Dalam pembicaraan dengan Si Muin. Disaksikan oleh banyak "dunsanak" yang hadir. Di rumah
>Etek ku. Aku katakan begini: "Datuk. Aku masih hidup. Kalau aku mau jadi Datuk di Kaum ku
>bisa apa tidak?" Dijawabnya: "Bisa!"
>
>Kemudian aku diajaknya pergi meninjau hasil pembangunan Kampung dan Nagari. Di antara
>nya sebuah perusahaan pembuatan serabut dan bubuk kulit kelapa. Memakai mesin dari
>Korea Selatan. Miliknya.
>
>Dalam perpisahan dengan anak kemenakan aku tinggalkan pesan buat mereka: "Belalah
>Tanah Pusaka ini hidup mati!".
>
>
>Almere-Stad, Holland, 7 April 2002.
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>


Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com.
RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ===============================================

Kirim email ke