Tipikal permasalan di nagari awak.
SBN
----- Original Message -----
From: Mawi
Sent: Tuesday, April 09, 2002 11:36 PM
Subject: [Nasional] Fw: Membela Tanah Pusaka

 
----- Original Message -----
From: Mawi
Sent: Sunday, April 07, 2002 10:54 PM
Subject: Membela Tanah Pusaka

 
M  E M B E L A  T A N A H  P U S A K A 
            / Mawie Ananta Jonie.-
 
 
Bulan Agustus tahun 1995 aku pulang berlibur untuk pertama kali ke Indonesia. Setelah tiga
puluh satu tahun pergi. Orang Minang bilang; "Setinggi-tingginya terbang bangau, surutnya ke
kubangan jua".
 
Walaupun aku sudah memegang pasport Negeri Belanda. Yang berwarna merah tua. Tapi cin
taku pada Indonesia. Jangan ditanya. Cintaku pada Tanah Tumpah Darahku ini, tidak akan
bisa "dipaling setan". Tidak hanya oleh karena merah atau birunya warna pasport yang kumili
ki.
 
Saat itu, Jendral Suharto masih berkuasa. Masih didengar orang mulutnya. Gemang mengaliri
seluruh batang tubuhku. Langkah terasa berat diayunkan di atas bumi Nusantara. Adakah ka
rena udara panas Ibu Kota? Ataukah karena aku tergabung di dalam barisan penentang Klik
Suharto-Orde Baru?
 
Aku menutup diri. Tidak ingin bertemu dengan teman-teman lama. Padahal kecamuk rindu nak
bersua bukan main besarnya. Bang J pernah sekali mengajakku ke rumah NM. Untuk mengha
diri peringatan empat puluh hari meninggal Bung K. Suaminya. Kubenam keinginan.
 
Suatu petang. Lutfi datang mengajakku  pergi dengan autonya. Kami menyusuri jalan lama. Pe
lan-pelan. Masuk ke jalan baru. Akhirnya aku mengenal kembali Jakarta.
 
Selain dari pada itu pikiranku kucurahkan untuk perjumpaan dengan anak kemenakan. Untuk
menampakkan diri kepada mereka. Menunjukan bahwa aku masih hidup. Hidup dalam artian
akan dapat memberikan dukungan moril. Bila mereka perlukan. Ibu mereka sudah lama tiada
lagi. Sewaktu mereka masih dalam masa kanak-kanak. Sembilan orang bersaudara.
 
Di lapangan terbang Sukarno-Hatta. Aku disambut dengan isak tangis. Hanya satu dua saja da
ri mereka yang kukenal. Masih sempat kugendang dan kupangku semasa bayi.
 
Dalam perjalanan pulang menuju ke Cibinong. Kami "mengota". Tak berujung tak berpangkal.
Di sini aku memfasihkan bahasa Minang -ku kembali. Karena jarang sekali kupakai selama
tinggal di luar negeri. Puluhan tahun.
 
Edi. Kemenakan kandungku. Anak dari adik perempuan. Sebelum menuju ke rumahnya, dia ba
wa kami pergi makan malam. Ke sebuah Warung Nasi Padang. Di Ranggunan. Undangan pemi
liknya .Si Rosdi. Dia ini anak Mamak-ku. Adalah adik dari ayah Si Edi. Aku dengan Rosdi seba
ya. Maka itu di antara kami masih melekat kesan-kesan satu sama lain.
 
Di dalam "mengecek-ngecek" sambil makan terungkaplah persoalan tanah pusaka. Ada sebida
ng tanah sudah terjual. Dijual karena ayah Rosdi jatuh sakit keras. Penyakit tua. Butuh uang. 
Maka Kakak telah diberi wewenang untuk menjualnya. Tentang ini, ketika masih di Tiongkok
aku telah mereka kabarkan. Hanya surat itu sampai sangat amat terlambat. Aku tidak bisa ber
buat apa-apa. Kecuali hanya penyesalan.
 
Konon pada masa dahulu kala. Ketika nenek moyang orang Minang membikin sawah dan ladang.
Telah dibuat batas-batasnya. Hingga jelas bahwa ini bagian Si Anu. Itu bagian Si Badu. Semua
tersurat pula di dalam pepatah yang berbunyi:
                     
                              "Sawah berpematang. Ladang `berbintalak`".
 
Ini menunjukkan bahwa berlakunya sesuatu ketentuan atas hak milik. Baik atas sawah maupun
atas ladang. Tampak semua dalam tanda-tanda batas. Bukan itu saja. Upacara kepemilikan a
tas sawah dan ladang selain disaksikan orang-orang bersangkutan juga dinyatakan dalam sum
pah. Sumpah dibuka pula dengan akata-kata:
                       
                              "Amanat kalau tidak di pegang. Perbuatan kalau tidak dipenuhi".
 
Maka yang bersumpah akan dimakan sumpahnya sendiri. Yang bunyinya seperti di bawah ini:
 
                          "Ke atas tidak berpucuk. Ke bawah tidak berakar. Di tengah digirik
                           kumbang. Bagai kerakap tumbuh di batu. Hidup segan mati tak namuh".
 
Tentang kepusakaan sawah dan ladang itu sendiri. Pepatah menunjukkan begini:
 
                           "Ketek-ketek turun ke semak. Dari semak turun ke pekan.
                             Dari Ninik turun ke Mamak. Dari Mamak turun ke Kemenakan".
 
Setelah ke empat orang Mamak dan Kakak ku tiada lagi, maka urusan tanah pusaka ini seka
rang jatuh ke tanganku.
 
Suatu malam. Kumpul-kumpul dengan anak kemenakan. Tersingkap pula satu hal sebagai
berikut:
 
Si Munin. Kini menjadi Datuk dari kaumnya. Selain itu dia juga menjadi Pengetua dari seluruh
Datuk-Datuk dalam Nagari. Nampaknya kekuasaan yang dimilikinya cukup besar. Dapat ikut
menentukan "hitam-putih" Kampung dan Nagari.
 
Dia, anak Mamak-ku. Sewaktu anak sekolah. Kami sama-sama diasuh oleh ayahnya. Ya, Ma
mak-ku. Ketika masih hidup, Mamak adalah Datuk dari Kaum kami. Bergelar Datuk Talanai.
Si Muin tahu benar. Bahwa aku ini dijadikan ayahnya sebagai "penungkat" Datuk. Kemana be
liau pergi untuk menyelesaikan urusan dalam "dunsanak" aku diajak. Dengan hak suara penuh.
 
Sebelum Mamak yang tertua meninggal, beliau telah mewakafkan sebidang tanah untuk pem
bangunan Kampung. Yang lain telah diatur dan digarisi bagian-bagian untuk anak kemenakan
yang masih hidup. Tapi setelah yang tua-tua ini tidak ada lagi Si Munin bikin perkara dengan
anak kemenakanku. Dia menyatakan bahwa tanah kami sudah "tak bertuan" lagi. Yang ting
gal di atasnya hanyalah penduduk yang menumpang. Oleh karena itu bisa disita untuk kepen
tingan Kampung dan Nagari.
 
 
Etek-ku. Seorang yang tua dan masih hidup.Berdiri.Dibelanya tanah pusaka ini dengan fakta-
fakta sejarah. Tidak bisa dibantah. Sejarah lisan!
 
Suatu hari sebidang tanah didatangi orang . Di situ dipasang pancang-pancang. Adikku tersen
tak. Diketahuinya bahwa tanah yang diberi pancang-pancang tersebut akan dijual. Kepada se
seorang yang hendak membangun rumah. Siapa yang "lancang"tangan ini? Si Muin. Dia telah
mengadakan "komplotan" jual beli tanah dengan upacara potong kambing.
 
Dengan lading di genggaman. Adikku mencabuti pancang-pancang tersebut. Bukan itu saja.
Ditungguinya tempat itu siang malam. Sementara anak kemenakanku yang lain ikut berdiri
bersama mamaknya. Membela tanah pusaka !
 
Waktu aku pulang ke Kampung  lima tahun kemudian, di atas tanah yang hendak dijual
tersebut kini telah berdiri sebuah rumah. Rumah besar. Kepunyaan Si Ilas. Kemenakanku. Ka
mi tinggal dan "lalok"di rumah ini.
 
Si Edi yang mengantarkan kami pulang ke Kampung, pada hari-hari pertama, meminta kepada
ku untuk datang berkunjung kepada Si Muin. Aku jawab: "Dia nanti pasti datang sendiri". Nam
paknya untuk hal  yang satu ini, mulutku "masin". Karena tak lama kemudian dia memang da
tang. Dengan autonya. Kusambut dengan salam dan berpelukan. Kami ini kan masih bersauda
ra. Hanya anak kemenakanku yang tak enak. Mereka ada yang berteriak-teriak di kejauhan.
Memperotes sikapku yang bersahabat.
 
Dalam pembicaraan dengan Si Muin. Disaksikan oleh banyak "dunsanak" yang hadir. Di rumah
Etek ku. Aku katakan begini: "Datuk. Aku masih hidup. Kalau aku mau jadi Datuk di Kaum ku
bisa apa tidak?" Dijawabnya: "Bisa!"
 
Kemudian aku diajaknya pergi meninjau hasil pembangunan Kampung dan Nagari. Di antara
nya sebuah perusahaan pembuatan serabut dan bubuk kulit kelapa. Memakai mesin dari
Korea Selatan. Miliknya.
 
Dalam perpisahan dengan anak kemenakan aku tinggalkan pesan buat mereka: "Belalah
Tanah Pusaka ini hidup mati!".
 
 
Almere-Stad, Holland, 7 April 2002.   
 
                             
 
 
                        
 
                         
 
 
  
 

Kirim email ke