Wanita muda itu berjalan gontai dengan wajah tertunduk lesu. Rasa sakit
di kaki
dan hatinya berdenyut secara bersamaan.
Hari ini selesai sudah urusannya di Pengadilan Agama. Genderang
perceraian tak
terelakkan. Semua harapan dan impiannya bagai terkoyak-koyak berhamburan
seperti
serpihan kertas ditiup angin.
Dipandanginya langit....Tiba-tiba ada sungai kecil mengalir di pipinya.
Teringat
ia akan kata-kata, "Langit itu luas seperti cintaku dan biru seperti
kesetiaanku
padamu."
Kata-kata itulah yang mampu menghipnotisnya untuk mencerna kata kata
percaya dan
cinta. Kini, langit itu kehilangan asa. Sudah tak berarti apa-apa.
Wanita itu mulai berandai-andai dengan pikirannya. Kalau saja hal ini sudah
dibayangkan sebelumnya atau setidak-tidaknya masuk ke dalam
perhitungannya sejak
dulu, tentu hal ini tak 'kan terjadi. Tapi, mana ada penyesalan itu
terjadi di
awal. Dan sekarang ia benar-benar percaya bahwa cinta saja tidak cukup untuk
sebuah kemapanan.
***
Bermula ketika wanita itu ngotot mempertahankan cintanya. Ia tak mau menuruti
nasihat orang tua. Ia lupa bahwa orang tua dengan sifatnya yang konservatif
kadang-kadang dengan pengalamannya dapat mengingatkan dan melindungi
anak-anaknya yang kurang berpengalaman.
Semua nasihat yang bergaung ditelinganya ia anggap angin lalu. Cinta itu
perlu
pembuktian, itu yang ada di benaknya. Ia amat yakin Alex tak'kan
mengecewakannya. Alex sangat bersungguh-sungguh untuk menikahi. Buktinya,
Alex
rela menukar keyakinannya untuk masuk Islam. Siapa tahu, Alex menjadi Muslim
yang taat seperti Yusuf Islam atau Kopanski misalnya. Who knows...
Sebagai seorang wanita, ia cenderung hanya mau melihat apa yang ingin ia
lihat
saja dan membuat penafsiran atas dasar perasaan saja. Ia mencoba-coba
memadukan
antara pemikiran dan perasaannya. Walau kriterianya terlalu memaksa.
Ia hanya tertunduk pada saat ayah menceramahinya tentang jodoh,
kesabaran, dan
ketabahan. sampai-sampai ia tak berani memandang wajah ayahnya. Belum lagi
nasihat ibu yang menyangsikan kesungguhan Alex. Mereka akan sulit memadu
harmonisasi rumah tangga, itu alasan ibu. Lagi pula, mengubah kepribadian
sesorang tidak semuda membalikkan telapak tangan. Perlu waktu...dan kita
tidak
tahu batasannya.
Tapi keangkuhannyalah yang berbicara. Rina adalah Rina, bukan ayah atau ibu.
Seolah ia yakin mengambil langkah yang benar. Menurutnya, orang tua berbicara
nonsense!
Sampai suatu saat ia benar-banar menikah dengan Alex. Kemauannya tak bisa
dicegah lagi. Dengan berat hati orang tuanya menyetujui karena memang tak
ditemukan jalan lain.
Ayah dan ibu terpaku di sudut melepas kepergiannya dengan mata
berkaca-kaca dan
hati teramat berat.
*****
Tujuh tahun kemudian...waktu yang terus bergulir dan bilangan tahun pun silih
berganti. Perkawinannya terasa penuh bunga. Alex benar-benar 'bertanggung
jawab'
terhadap keluarga. Sedikit demi sedikit kehidupan mereka mulai membaik.
Orang-orang sekitar mereka menyatakan bahwa mereka adalah keluarga yang
harmonis. Dikaruniai putri yang cantik dan harta yang cukup. Seakan-akan
hatinya
bersorak menunjukkan kesalahpahaman orang tuanya.
Tapi wnita itu merasa ada sesuatu yang kosong. Sesuatu yang mengusik. "Apakah
saya benar-benar bahagia?" tanyanya dalam hati. Limpahan materi yang
cukup tak
diimbangi perasaan yang selalu resah.
Selama tujuh tahun perkawinan ia tak pernah melihat Alex melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang Muslim. Dan selama tujuh tahun itu pula ia tak
berani mengusik Alex. Paling-paling ia bertanya mengapa tidak shalat sambil
lalu. dan selalu dijawab Alex, "Nanti...nanti saja."
Sampai suatu ketika petaka itu datang. Mami Alex yang tidak menyetujui
perkawinan mereka datang mengunjunginya. Kangen alasannya. Melihat mami,
terbit
rasa kasihan di hatinya. Rambut yang telah memutih serta kerutan di keningnya
mengingatkan ia akan ibunya di kampung.
Ia masih mampu menahan diri ketika Mami hanya mau bertegur sapa dengan
Alex dan
Sita, putrinya. Sedangkan ia sendiri tidak dianggap. Sedih rasanya
dibenci oleh
mertua sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, ia toh tak dapat memaksa Mami untuk
menyukai dirinya.
Dan peristiwa Senin pagi itu sangat mengiris-iris hatinya. Mami dan Alex
bercakap-cakap dalam bahasa Tionghoa. Mami tahu ia tak mengerti pembicaraan
mereka. Tapi perasaannya berkata lain. Ia merasa Mami sedang mengomentari
dirinya terlihat dari tatapan mami yang kaku menghujam ke arahnya yang sedang
sibuk menata meja makan itu.
*****
Sebulan setelah kedatangan Mami....
Sita begitu akrab dengan Mami. Asyik bermain boneka pemberian Mami. Mami
seperti
kebanyakan nenek lainnya, hobi memanjakan cucu. Ada saja yang Mami
lakukan untuk
membuat Sita senang. Sekali waktu Mami membuat penganan dan mantou kesukaan
Sita. Hal yang jarang ia lakukan. Menurutnya, wanita yang cuma memasak dan
mengurus rumah tangga tidak berkembang sebagai manusia. Ia amat yakin dengan
teori narture yang notabene berlawanan dengan teori nature.
Ia merasa cukup memberi segala keperluan Sita dan bercanda dengannya sepulang
dari kantor. Pengasuhan Sita ia berikan pada pembantu. Tapi akhir-akhir ini
setelah melihat keakraban Sita dan Mami serta mendengar tawa Sita di
teras rumah
menggugah nuraninya sebagai ibu. Ada rasa cemburu. Ia merasa kecolongan.
Hatinya
selalu berkata, "Lihatlah Rina...lihat anakmu...kamu ada dimana sehingga
ia tak
mengenalmu sebagai ibu."
Sepulang kantor kemarin ia cukup dikagetkan dengan mendengar Sita mulai
menyanyi
lagu tentang domba-domba dengan mata berbinar dan penuh sukacita. Sadarlah ia
kini, Mami mulai mengajarkan Sita lagu-lagu rohani, terlihat dari
kertas-kertas
lazuardi berserakan di ruang tamu. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.
*****
Selain Mami, saudara-saudara Alex mulai memasuki kehidupan keluarga
mereka. Koko
An-an yang pengusaha meubel itu rajin mengajak Alex keluar malam dan pulang
hampir pagi. Hal ini tak pernah dilakukan Alex sebelumnya.
Ketidakterbukaan Alex
membuatnya curiga dan mulai mencari tahu. melalui seorang teman, ia merasa
menelan pil pahot...ternyata suaminya suka berjudi! Perjudian kelas
tinggi yang
dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kaya. sampai-sampai mereka kerap taruhan
dalam bermain golf.
Kesedihan hatinya bertambah dengan seringnya saudara perempuan Alex
mengomentari
penampilan dan asesori rumah tangganya. Yang tidak sesuai modelah, tidak
trend,
yang noraklah, dan seterusnya.
Wanita itu benar-benar sakit hati. Ia merasa tidak punya privacy lagi.
Hal ini
ia ungkapkan kepada Alex.Tapi jawaban Alex sangat membuatnya pesimistis. Alex
menganggap ia terlalu perasa. Lagi pula mereka tidak dapat menyakiti hati
Mami
yang telah terlanjur sakit karena pernikahan mereka sebelumnya. Kasihan
Mami...Jangan sampai hati Mami sakit untuk yang kedua kalinya, itu
jawanan Alex.
Ternyata benar anak lelaki adalah milik ibunya!
*****
Dan hari-hari selanjutnya yang ada hanyalah tarik menarik memperebutkan
perhatian Sita. Kubunya dan kubu Mami. Ia merasa Sitalah satu-satunya harapan
karena semua terasa memusuhi. Wanita itu mulai memberanikan diri
memanggil guru
ngaji untuk Sita. Pada akhirnya, ini melahirkan kecemburuan dan ketidaksukaan
Mami. Ada saja ulah Mami untuk mengganggu Sita dan guru ngajinya. Mami
mencoba
over acting ketika guru itu datang. Hilir mudik atau pura-pura mencari barang
yang hilang. Sehingga laki-laki itu merasa terganggu. Kalu tidak begitu, Mami
menyetel kaset rohani keras-keras hingga suara guru ngaji itu tenggelam dalam
alunan musik.
Ia memcoba menahan diri untuk tidak bertengkar dengan mami. Tapi kekesalannya
yang membuncah di dadanya seolah tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Tanpa ia
sadari, ia malah mengalihkan kemarahannya pada Alex. Selidik punya selidik,
akhirnya Alex mulai tahu pokok persoalannya dan kemarahanlah jawabannya.
"Mengapa anak-anak harus diajar agama selagi kecil...nanti saja, kalu mereka
sudah dewasa biar mereka memutuskan sendiri agamanya,"ujar Alex menunjukkan
ketidaksukaannya.
"Nggak bisa, di agama saya bila anak usia 10 tahun tidak mau sholat, kita
bisa
memukulnya," ujar wanita itu tegas.
"Ya sudah! Kalu kau dulu memang ingin suami yang shaleh, mengapa dulu mau
menikah dengan saya," ujar Alex ketus.
Wanita itu terdiam. Knocked out! Ia jadi membenci dirinya sendiri. Kata-kata
Alex menjadi bumerang bagi dirinya. Ia jadi ingat ayah dan ibu di kampung.
Bagaimana ibu, ayah dan saudara-saudaranya shalat berjama'ah. Begitu
seia-sekata. Begitu seirama. Kebahagiaan mengisi piala-piala hati mereka. Ah
ibu...saya butuh nasihatmu yang lembut, ucap hatinya pepat. Matanya mulai
berair. Melihat mulai menangis Alex meninggalkannya. begitu saja.
*****
Pertengakaran-pertengakaran mulai memercikan api. Hal ini membuat Alex tidak
betah di rumah. Pengaruh Mami dan saudara-saudaranya mulai terlihat. Alex
mulai
berani memanggil penjual daging babi! Bahkan meletakkannya di dalam kulkas.
Bagaimana Alex mampu mengingkari agama yang sudah dipeluknya dengan sukarela?
Kata-kata yang tak pernah dipedulikan Alex. Kebiasaan-kebiasaan Alex dulu
mulai
bermunculan. Alex suka mabuk...sebenarnya hal ini membuatnya heran karena ia
tahu, papi Alex adalah seoarang pemabuk berat hingga Mami minta cerai.
Sejak itu
Mami mencoba mandiri menghidupi anak-anaknya dengan hasil berjualan kue dan
roti.
Wanita itu mencoba untuk bertahan. Sekuat tenaga ia berusaha memadu
harmonisasi
rumah tangganya kembali. Ia mencoba menasihati Alex, tak memancingnya untuk
bertengkar lagi. Ia coba menumbuhkan perhatiannya kembali pada Alex. Tapi
semuanya sia-sia, sudah terlambat.
Ia baru mulai berpikir. Lima bulan terasa cukup untuknya mengembalikan
pikirannya agar jernih. ia merasa bersalah akan keputusannya dulu. Dulu, ia
merasa kekuatan cinta akan mengalahkan segalanya. Tapi setelah menjalani
pahit
getir kehidupan rumah tangga, ia harus jujur. Perlahan-lahan rasa
cintanya pada
Alex kian menipis. Perbedaan prinsip yang paling asasi membuat mereka
terpisah
diantara jurang yang berbeda. Mereka merasa asing satu sama lain. Ia baru
merasakan betapa ia tak paham siapa Alex sebenarnya dan bagaimana cara
berpikir
laki-laki itu selama ini.
Puncaknya, wanita itu tak tahan lagi. Ia kemasi pakaian dan pulang ke kampung
bersama Sita. Tak dewasa, memang. Tapi ia tak menemukan cara lain. Tak peduli
tatapan Sita yang penuh tanda tanya.
Ia hanya dapat menghambur dan mendekap kaki ibunya menangis sesenggukan.
Keangkuhannya runtuh. Setengah kaget ibu merangkulnya. Selama ini, di hadapan
ibu dan ayah di kampung ia selalu menutup-nutupi masalah keluarganya. Ia
selalu
memperlihatkan bahwa kehidupannya lebih baik dari sebelumnya.
"Rina akan bercerai, Bu...bercerai itu mungkin lebih baik," ucapnya
sendu. Ibu
menatapnya dengan wajah iba. Ada air yang mengambang di mata wanita tua itu.
Ya...nasi telah menjadi bubur.
*****
Ketika Alex menyusul dan mengajaknya pulang. Ia tak bergeming. hatinya
terlanjur
beku. Ia merasa telah patah arang. Ketika Alex hendak beranjak pergi,
wanita itu
berucap, "Kita tak mungkin jalan sama-sama lagi, kita tidak bisa jalan
bersama
hanya dengan cinta saja. Ada hal lain yang harus kita pertimbangkan."
Mulut Alex setengah menganga tak percaya ucapan istrinya. "Kamu
sunguh-sungguh,
Rina? Jalan hidup yang kamu pilih itu sudah kamu pikirkan baik-baik?" tanya
Alex.
"Kita punya jalan masing-masing, Lex, dan kenyataannya tidak bisa disatukan."
kata wanita itu.
"Baik...,saya mengaku salah, tapi tolong beri saya kesempatan untuk
memperbaikinya," kata Alex sungguh-sungguh.
"Tidak, Lex...kita semua salah, kita sama-sama punya saham dalam masalah
ini...Dulu kita terlalu terburu-buru," wanita itu berucap sambil memalingkan
wajahnya menahan kepedihan hati.
Alex tertunduk lesu. Alex tak menyangka akan secepat itu keputusan istrinya.
"Rina, andai ada cara agar kita dapat memulai lagi kehidupan yang baru,"
ulang
Alex lagi dengan suara setengah berbisik penuh harap.
Wanita itu cuma menggelang dengan air mata yang makin deras. "Ya Allah,
seandainya keputusan ini sudah kuambil sejak dulu, tentu tidak sesakit ini
rasanya," kata wanita itu membatin.
".....Dan sungguh budak yang sobek telinganya dan bodoh yang memiliki
agama itu
lebih utama. (Riwayat Ibnu Majah)
(Diilhami dari sebuah kisah nyata)
Watashi Y207, Bengkulu.
12/09-4-96
RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe,
anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
===============================================