Assalamu'alaikum WW

Dimulai dari bawah... Iyo bana angku ka maantakan pabukoan ???... Kok niaiknyo untuak ambo dengan sanang ati ambo delegasikan sajo lah ka kaum dhuafa nan dakek jo angku :-)

so artikel iko mungkin bisa mambuek saketek pencerahan...baraso berita pun nan harusnyo "bebas nilai" kini lah ber-"nilai".... apolai hanyo sebuah opini... dan alhamdulillah kalau opini angku = sunatullah ...... n sila pikiakan ciek prasa " so what ? "

Wassalam

Z Chaniago - Palai Rinuak - Depok

http://www.satunet.com/karangan_khas/artikel.php?article_id=107974

Jumat, 08/11/2002, 14:29 WIB
Kasus Bom Bali: Mana Berita, Mana Propaganda
satunet.com - Majalah Pantau menggelar diskusi dua hari dengan menghadirkan tokoh-tokoh di balik Kompas, Tempo, The Jakarta Post, Republika, SCTV, dan beberapa nama penting lain tentang liputan media tentang tragedi Bali, 12 Oktober 2002 lalu, pada Kamis-Jumat (7-8 November 2002) di Teater Utan Kayu (TUK).


Rikard Bagun, salah seorang redaktur Kompas, mengakui bahwa berita-berita media cetak maupun elektronik tentang Tragedi Bali membingungkan masyarakat. Karena, begitu peristiwa ledakan bom di depan Sari Club Jl Legian, Kuta, Bali itu terjadi, maka pemberitaan yang muncul di media massa adalah hingar-bingar adanya tuduhan konspirasi Amerika Serikat di balik peristiwa itu.

Selain itu juga ada tuduhan pada jaringan teroris Al Qaida, serta ada pula yang melihat peristiwa itu dengan kacamata tragedi kemanusiaan atau murni teror.

Bagun mempertanyakan, jangan-jangan wartawan kita belum mampu menghadapi kasus seperti Bali. "Di Kompas sendiri hal itu jadi tantangan untuk mengabstrasikan inti atau substansi peristiwa bom Bali. Dan kami berusaha menyusun apa yang terjadi, yakni dengan melihatnya sebagai tragedi kemanusiaan dan telah terjadi adanya teror," ujar Rikard Bagun, di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur.

Endi Bayuni, seorang redaktur The Jakarta Post mencatat, pejabat pertama yang menggulirkan teori-teori konspirasi adalah Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, yang menyebutkan jaringan Al Qaida berada di balik tragedi Bom Bali tanpa bukti-bukti yang kredibel.

Sejak Matori melontarkan Al Qaida, meskipun tanpa bukti kuat yang mendukungnya, pers Barat berusaha gencar mencari link Al Qaida dengan Jamaah Islamiyah. "Sebaiknya kita tidak usah mengikuti menuliskan berita yang berisi teori-teori yang digulirkan pejabat, melainkan lebih pada faktanya saja," kata Bayuni.

Ditambahkan, banyaknya teori-teori yang muncul, seperti yang ditulis Republika, bahwa ada konspirasi CIA-AS di balik bom Bali, The New York Times melansir ucapan cendekiawan Nurcholish Madjid yang menduga adanya konspirasi elite politik domestik, bahkan ada yang menyebutkan keterlibatan Tommy Soeharto dan keluarga Cendana.

"Teori konspirasi itu tidak ada batasnya, karenanya terpulang pada visi koran masing-masing. Tapi, yang jelas berita-berita yang mem-blow up teori-teori seperti itu tidak mendidik bangsa Indonesia. Yang terjadi malah masyarakat menjadi bingung," ujar Bayuni.

Pengamat pers Atmakusumah yang hadir dalam diskusi tersebut, menganalisis, bahwa penyebab utama yang menjadikan pembaca bingung membaca koran atau majalah dan bingung menonton berita di televisi atau berita radio, karena seringnya kita (mengacu pada keseluruhan, red) sering melakukan generalisasi.

"Kita selalu menganggap yang akan menyerang Irak itu adalah Amerika Serikat. Itu keliru, karena yang akan menyerang Irak adalah pemerintahan George W. Bush. Dan jangan lupa, warga Amerika yang menentang penyerangan terhadap Irak jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan warga negara-negara Islam. Begitu pula dengan tindakan PM John Howard yang melakukan sweeping terhadap warga Indonesia yang muslim, yang diduga terlibat dengan Jamaah Islamiyah, jangan digeneralisasikan sebagai tindakan Australia, melainkan tindakan pemerintahan Howard, karena banyak sekali yang menentang kebijakan Howard di Australia," jelas Atmakusumah.

Rikard Bagun sependapat dengan kritik yang ditelurkan Atmakusumah itu. Demikian pula dengan Arif Supriyono, redaktur Republika, yang menambahkan, bahwa sekarang ini orang mudah saja menggeneralisir Abu Bakar Ba'asyir dengan Islam.

Sementara Rektor Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, mengakui sejak peristiwa 11 September dan 12 Oktober, pembaca susah membedakan antara fakta dan anggapan-anggapan. "Tapi, yang paling dirugikan dalam hal ini adalah publik," kata Azra.

Azra melihat kecenderungan yang terjadi di Indonesia, bahwa dibandingkan dengan media massa, pemerintah Indonesia tidak mempunyai public relation yang baik. "Momen seperti ini dimanfaatkan kelompok garis keras, sehingga tokoh seperti Abu Bakar Ba'asyir mendatangkan simpati yang besar, termasuk dari seorang Adnan Buyung Nasution," ujar Azra.

Dengan demikian, tambahnya, media telah memberikan arahan-arahan sentimen publik yang tidak menguntungkan.

Azyumardi Azra menganjurkan dilakukannya investigative reporting dalam mengungkap kasus bom Bali, meskipun ia mengakui bahwa teknik seperti itu akan kewalahan menghadapi instant reporting yang tidak melakukan check and recheck.

Azra mengingatkan agar tokoh-tokoh Islam tidak over reactive dalam menyikapi kasus bom Bali, Abu Bakar Ba'asyir, dan sweeping di Australia, karena itu bisa membahayakan psikologi defensif yang dihadapi banyak kalangan Islam Indonesia. "Kalau over reactive, maka bisa menjadi pembenaran atas dugaan-dugaan yang belum tentu benar yang dilemparkan selama ini.

Atmakusumah setuju dengan pemikiran mantan Pemimpin Redaksi Tempo Goenawan Mohamad (yang kini aktif di ISAI dan TUK), untuk menghindari generalisasi, pers Indonesia sebaiknya menulis berita sesuai fakta yang sedetil-detilnya, sembari mengurangi talking news dari pejabat-pejabat atau pengamat yang tidak kredibel, yang ternyata membantu meruwetkan suasana.

Apa yang dikatakan Azra dan Atmakusumah, bahwa pers Indonesia suka menggeneralisasi, diakui Rikard Bagun. "Karena, menggeneralisasikan itu gampang. Dan wartawan sekarang ini malas-malas," kritiknya.

Rikard Bagun menolak penilaian Goenawan Mohamad yang menilai Kompas telah melakukan pengkhianatan jurnalisme. "Sekarang ini, konsep jurnalisme itu bukan lagi 5 W plus 1 H, melainkan ditambah lagi SW (So What?). Kita kerja untuk membela siapa? Kita bekerja bukan lagi freedom from melainkan sudah freedom for. Kalau Kompas menampung semuanya, dikhawatirkan intinya akan menjadi kabur. Jangan lagi both side diubah jadi all side. Yang jelas, ujung semua kebebasan adalah tanggung jawab, yakni tanggung jawab pada bangsa," ujar Rikard Bagun.

Rikard Bagun setuju adanya analisa yang mengatakan bahwa kasus bom Bali ini seperti bola api. "Marilah kita bersama-sama memegang bola api ini, agar panasnya terkurangi. Mari kita rumuskan kembali, seperti apa kita bekerja?" tegas Bagun.

Arif Supriyono tetap beranggapan bahwa setiap berita yang dituliskan itu tidak bebas nilai. Karenanya, ketika terjadi bom Bali dan Kompas menulis tebal-tebal "Indonesia dalam Bahaya", Republika tidak menuliskan, "Ya, Memang Bahaya", melainkan "Mari Bersatu dalam Kemandirian", ujar Arif Supriyono.

Fikri Jufri yang juga hadir dalam diskusi itu memotong, "Kalau Kompas menulis 'Indonesia dalam Bahaya', harus dikembalikan pada Kompas kembali, So What?.



======================================================================
Alam Takambang Jadi Guru
======================================================================




_________________________________________________________________
Add photos to your e-mail with MSN 8. Get 2 months FREE*. http://join.msn.com/?page=features/featuredemail


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe,
anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.

Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
===============================================

Kirim email ke