Ambo marasokan caro iduik nan ditulis di cerpen Z.Aifi ko di Balando sacaro
nyato indak dalam cerpen bagai doh.
Bahkan pernah ambo jo uda masponsori urang awak nan datang balibur ka
Balando, harus malapor ka polisi, sudah tu overstay ditampek ambo. Ditanyo
dek tamu, bara ambo ka mambayie uang untuak malaporko ? Jawab uda ambo
mambuek ambo tapurangah " iko indak indonesia doh uni. Disiko urang cuma
manjalankan peraturan dan polisi ndak paralu pitih tambahan doh, sabab inyo
lah cukuik di gaji dek pemerintah.

Salam dari Balando,


Efi ( 42 )




----- Oorspronkelijk bericht -----
Van: "Nofendri T. Lare" <[EMAIL PROTECTED]>
Aan: "Palanta" <[EMAIL PROTECTED]>; "MinangNet"
<[EMAIL PROTECTED]>
Verzonden: vrijdag 13 juni 2003 6:06
Onderwerp: [RantauNet.Com] Cerpen Z Aifi : Mencari Polisi di Eropa


> Z Afif
> MENCARI POLISI DI EROPA
>
> Kala  Sutan Sati bertolak dari rumahnya di Solok, Sumatra Barat, niat itu
> sama sekali tidak terlintas di hatinya. Yang  difikirkannya hanyalah buah
> tangan yang akan dibawanya untuk anak-anak, cucu-cucu dan
> menantu-menantunya. Sedangkan perasaannya mengutik, apakah olih-olihnya
> berupa pakaian Minang, barang kerajinan tangan tradisional pantas untuk
> mereka yang hidup di Eropa, yang begitu moderen dan berkecukupan? Tetapi
> itulah lampiasan rindu dan kasih sayang dalam bentuk materi yang mampu
> dihadiahkannya.
>
> Sutan belum punya pengalaman  ke luar negeri. Beliau juga tak faham bahasa
> asing. Di dalam bis yang membawanya menuju Jakarta, pertanyaan yang
> berkecamuk dalam kepalanya tentang apa yang akan dihadapi menuju dan
> memasuki negeri tempat anak-anaknya bermukim. Akankah dihadang oleh budaya
> buruk yang dialaminya selama ini di negerinya sendiri? Memikirkan soal
ini,
> tampak wajah tuanya melewati tujuh puluhan menjadi begitu gugup.
>
> Banyak pengetahuan dan pengalaman diperolehnya dalam perjalanan bolak
balik
> sepanjang jalan raya lintas Sumatra dari Solok ke Jakarta maupun jurusan
> Pakan Baru dan Dumai di Riau, tempat anak-anaknya bekerja dan menetap.
Pada
> masa kecilnya, Sutan telah sering mendengar cerita orang-orang dewasa atau
> tua tentang penyamun. Manakala orang mengadakan perjalanan darat  antara
> Tapanuli-Bengkulu, antara Bengkulu-Palembang, Palembang-Pakan Baru,
> Bengkulu-Pakan Baru, harus siap bertarung dengan gerombolan penyamun. Hal
> ini telah banyak ditulis dalam surat kabar masa itu.  Juga menginspirasi
> sasterawan yang menulis roman, cerita bersambung dan cerita bergambar
> tentang penyamun. Sutan Takdir Alisyahbana, pengarang Pujangga Baru, telah
> mengarang roman Anak Perawan Di Sarang Penyamun.
>
> Tetapi di negeri yang katanya merdeka sekarang ini, penyamun tidak lagi
> hanya di kawasan sepi, jauh dari kota, melainkan terpusat di kota-kota, di
> jawatan-jawatan bahkan dikendalikan dari markas polisi dan TNI. Setelah
> dibangun jalan raya lintas Sumatra, ternyata yang lebih populer  bukan
lagi
> bahaya penyamun, melainkan bencana pungli (pungutan liar) atau ancaman
> lainnya dari makhluk berseragam resmi. Sutan melihat dan mengalami
sendiri,
> tingkah yang tidak senonoh, memalukan, hina, bahkan sangat menjijikkan
yang
> dilakukan aparat keamanan negara terhadap supir, penumpang dan pemilik
> kendaraan yang melintasi jalan itu. Bagi Sutan dan orang-orang awam, kata
> "keamanan" atau "diamankan" dari aparat negara sudah berubah arti menjadi
> malapetaka. Bila mereka ucapkan "demi penegakan hukum" berarti ada yang
> bebak belur dihajar tanpa proses pengadilan dan tidak tahu apa
kesalahannya.
> Sedangkan kata "damai" dalam kamus polisi bermakna terancam ketenteraman
> jiwa, hilang hak milik, terkuras isi kantung korbannya.
>
> Dahulu, ayahnya bilang: "Waang tahu, polisi tu anjieng negara!" Karena,
> kisah ayahnya: "Penjajah menggunakan polisi bagaikan anjieng penjaga rumah
> tuannya."
>
> Kemarahan ayah Sutan kepada polisi  beralasan. Ayahnya tinggal di luar
kota.
> Memelihara  beberapa ekor lembu. Lembu-lembu itu sering dilepaskan begitu
> saja, bila tidak dipakai untuk menarik bajak atau gerobak. Polisi
> menggunakan kesempatan itu. Lembu itu dihalaunya masuk ke wilayah kota.
Jadi
> mereka punya dalih menangkap lembu itu dan membawanya ke kantor polisi.
> Kemudian diminta pemiliknya untuk menebus kembali lembu itu. Pemiliknya
> didakwa telah melanggar peraturan kotapraja, melepaskan lembunya ke dalam
> kota. Maka dikenakan delik hukum. Sutan juga mendengar kejadian-kejadian
> tentang polisi mematai-matai orang-orang pergerakan kemerdekaan. Aparat
> penjajah itu membuat rekayasa untuk menangkap mereka dengan tuduhan
sebagai
> pengacau.
>
> Oleh sebab itu Sutan dan saudara-saudara lelakinya diperingatkan oleh
> ayahnya: "Kalau kalian besar  nanti, jangan sekali-kali menjadi polisi!
> Jangan anak-anak ambo menjadi anjieng negara!"
>
> Penjajah sudah diusir oleh rakyat. Tetapi rakyat masih mengalami gigitan
> alat negara, yang berlindung dalam pori-pori kosa kata "aparat keamanan".
> Mereka mencari-cari kesilapan pengemudi bis, truk, mobil dan sepeda motor
> sebagai landasan hukum mereka untuk memerasnya. Walaupun sudah ada pos
> polisi lalu lintas, di mana para pengemudi harus menyetor upeti, tetapi
pada
> jarak antara satu pos dengan pos lainnya muncul lagi siluman sejenis, yang
> liar dan menodong pengguna jalan raya.
>
> Menurut Sutan, agar aman dari penyamunan itu, maka para pengemudi truk
> memasang penangkal. Di depan truknya dengan huruf besar-besar ditempelkan
> nama perusahaan milik anak Presiden Jenderal TNI AD Haji Muhammad Suharto
> atau nama anak-anaknya seperti Tommy, Bambang, Tutut, Sigit, Titiek. Kalau
> melihat nama-nama angker itu, aparat keamanan hanya senyum kecut saja.
Dalam
> hatinya mengumpat: "Sial punya pengusaha penguasa!"
>
>  *****
> Sutan Sati selamat dan sehat mendarat di bandar udara Paris. Saat hendak
> melangkah ke luar pesawat  merayap rasa waswas, apa akan dilakukan petugas
> Perancis di pintu keluar? Apa yang akan ditanyakan dan diperiksa?
Bagaimana
> menjawabnya dan dengan bahasa Indonesia apakah mereka faham? Kalau ada
yang
> salah apa sanksinya? Benarkah apa yang telah diceritakan anak-anaknya?
>
> "Ayah tidak perlu kuatir! Paris bukan Jakarta. Tidak ada pungli di pabean.
> Keamanan Ayah terjamin. Yang penting surat-surat Ayah yang diperlukan ada
di
> tangan."
>
> Tetapi Sutan bukan tidak pernah menyaksikan di layar tivi atau membaca di
> surat kabar, juga mendengar cerita orang tentang kekacauan dan kejahatan
di
> bandar udara di negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang dilakukan oleh kaum
> teroris atau penjahat lainnya. Sutan berdoa dalam hati, moga-moga yang
> dikatakan anak-anaknya itu benar semuanya!
>
> Ada sedikit perasaan letih karena kejauhan dan kelamaan dalam pesawat.
> Tetapi keletihan itu tersapu dengan perasaan riang, sebab segalanya lancar
> dan lebih-lebih lagi segera bersua dengan anak, cucu-cucu dan menantu yang
> selalu dirindukan yang datang menjemputnya. Dengan mobil yang dikemudikan
> cucunya, Sang Atok dibawa langsung ke rumah anaknya. Berbagai pertanyaan
> yang diluncurkan anak, menantu dan cucunya-cucunya sepanjang jalan tentang
> pengalaman perjalanannya dan keadaan sanak keluarga dan kampung halaman,
> dijawabnya seperti asal saja untuk memuaskan perasaan mereka. Fikirannya
> hanyut ke luar mobil mengamati suasana sekitar, seperti menyimpan suatu
> rahasia dan sedang menyelidiki sesuatu yang hanya hatinya sendiri yang
tahu.
>
> Setelah sepekan di Perancis, Sutan dengan diantar oleh menantunya
berangkat
> ke Swedia untuk menjenguk anak bungsunya.
>
> Tatkala menantunya meminta paspornya dan akan membeli karcis pesawat
terbang
> ke Swedia, Sutan terlompat dari duduknya dan berseru: "Jangan! Jangan!
Ambo
> tidak mau naik kapal terbang!"
>
> "Ayah," sambar  anaknya, "Swedia itu jauh nun di ujung langit utara sana.
> Harus menyeberangi laut dan melintasi beberapa negeri. Ayah akan sangat
> capek dengan perjalanan darat yang lebih daripada sehari semalam."
>
> "Memang, dengan kapal terbang akan lekas sampai. Tapi apa nan dapat ambo
> lihat? Awan? Bosan ambo melihat awan selama terbang dari Jakarta ke sini.
> Waang tahu, sekali melihat, jauh lebih berarti daripada sepuluh bahkan
> seratus kali mendengar. Tahu tidak?!"  Sutan menyengat.
>
> Anak dan menantunya terpolongo dan kaget. Tidak menduga Sang Ayah akan
> segarang itu. Mereka pun putar otak, menggali cara untuk membujuk ayahnya
> agar mau naik pesawat demi usia tua dan kesehatannya. Sebab beliau ada
> sedikit gangguan pada jantungnya. Mereka tahu bahwa ayahnya bukanlah orang
> yang mudah dibelokkan kata putusnya, kalau alasan yang dipakai tidak masuk
> akalnya. Bahkan kakeknya dahulu tidak mudah mengubah fikiran ayahnya itu,
> kalau sudah mengambil suatu keputusan yang dianggapnya betul.
>
> "Beginilah, Yah, separoh-separoh saja," menantunya, lelaki berdarah Ambon
> menawarkan jalan tengah.
>
> "Apa maksudmu ´tu?"
>
> "Kita naik pesawat ke Denmark. Dari Denmark naik bis atau keretapi ke
> Stockholm, ibu kota Swedia," menantunya menjelaskan dengan hati-hati.
>
> "Kamu tahu, ambo ´lah biasa naik bis bolak-balik Solok-Jakarta. Ambo tidak
> mau main setengah-setengah," tukas Sutan  yang masih dalam gelegak
mendidih.
>
> "Maksud kami, Ayah, agar Ayah jangan sampai kelelahan di jalan dan segar
> bugar sampai di rumah si Nurmala. Kalau kesehatan Ayah terganggu, nanti
> mereka sekeluarga yang susah. Apalagi Mala sedang hamil lagi. Sebab
> perjalanan dengan bis lebih daripada tiga kali lipat jarak Solok-Jakarta,"
> anaknya mencoba  bujuk.
>
> "Ambo mau tahu, kalau dengan bis berapa negeri akan kita lalui hingga ke
> tempat si Nurmala?", angin sepoi Sutan mulai bertiup.
>
> "Itu tergantung pilihan kita. Lewat Belgia, Jerman, Denmark atau lewat
> Belgia, Belanda, Jerman, Denmark. Tapi keduanya nonstop. Artinya tidak
> berhenti menginap di jalan," jawab menantunya yang mencoba sisipkan maksud
> agar Sutan mengendorkan tuntutan mutlaknya.
>
> "Ambo mau lewat jalan kedua. Dengan bis. Jangan dengan keretapi. Ambo mau
> lihat lebih banyak selagi masih hidup dan untuk ambo bawa pulang kepada
> orang sekampung!"
>
> Anak dan menantunya saling bertatapan. Tampak ragu dan bingung. Kemudian
> sang suami mengedipkan mata pada isterinya, agar jangan memperpanjang
> sengketa.
>
> "Yalah, kita akan naik bis saja."
> *****
> Sebenarnya, hati kecil Sutan ada sedikit keraguan untuk berkukuh menolak
> usul "separoh-separoh" dari menantunya. Sebab Nurmala anak bungsu yang
> sangat disayangi, walaupun dia kawin dengan bule. Gara-gara hubungannya
> dengan pemuda Swedia itu, hampir Sutan dan isterinya tidak mengakui
Nurmala
> sebagai anaknya. Karena mereka kuatir Nurmala akan dikristenkan oleh bule
> itu. Itu aib yang akan mencacati mukanya dan keluarganya, anggap Sutan.
>
> Tetapi kenyataan yang terjadi sebaliknya. Nurmala yang tamatan IAIN
jurusan
> hukum, dapat melihat secara kritis unsur kebersamaan dalam ajaran Islam
> dipraktekkan di dalam masyarakat Swedia. Hal-hal seperti kebersihan,
> ketertiban, rasa kemanusiaan, berbuat kebajikan, perlakuan yang manusiawi
> atas orang cacat, pelaksanaan dan ketaatan hukum, keadilan sosial serta
> kehidupan demokratis yang diajarkan di dalam Kuran, tampak di mata Nurmala
> telah berwujud dalam masyarakat Swedia. Unsur-unsur itu menjadi pegangan
> Nurmala  untuk meyakinkan Nikolas. Akhirnya, sebelum menikah dia masuk
> Islam. Dan Nikolas dengan sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia dan
dapat
> menggunakannya  dengan fasih. Sikap hidupnya juga sudah banyak bersesuaian
> dengan tata adat Minangkabau. Karena itu, kalau menantu dan anaknya di
Paris
> dapat bertahan membujuk Sutan dengan argumentasi yang kuat untuk berangkat
> ke Swedia dengan setengah perjalanan naik pesawat terbang dan setengah
lagi
> menumpang bis, tentu akan diterimanya. Sebab niat yang terkilas di hati
yang
> dipendamnya, diharapkannya dapat disaksikannya dalam separoh perjalanan
> dengan bis dan Nurmala dapat dipeluk ciumnya sebagai biji mata kasih
> sayangnya.
> *****
> Satu persatu terminal bis disinggahi. Satu persatu kota dan negeri
dilewati.
> Sutan terus mengintai lewat jendela. Bila bis berhenti, Sutan
berputar-putar
> sekitar kawasan itu dan dengan awas diamatinya suasana di sana.
Seakan-akan
> sedang mencari mangsa dengan memata-matai sesuatu. Tampak wajahnya kecewa
> ketika naik lagi ke bis, karena tak kecapaian maksud yang
disembunyikannya.
>
> Namun, Sutan merasa kagum atas ketepatan waktu berangkat dan berhenti bis.
> Kagum pada pengemudi bis yang begitu trampil dan hati-hati. Lagipun tanpa
> kernek. Sabar dan ramah kepada penumpang. Lebih-lebih sikap itu kepada
orang
> tua seperti dia, anak-anak dan perempuan. Barang-barang penumpang diatur
> secara rapi dan dikeluarkan juga tidak sembarangan. Memberi kesan rasa
> tanggung jawab kepada penumpang begitu besar. Para penumpang naik dan
turun
> bis secara teratur. Tidak berebutan dan tidak senggol-menyenggol. Di dalam
> bis dilarang merokok, demi kebersihan udara. WC bis juga bersih. Pernah
> dilihatnya di suatu terminal, seorang penumpang membawa kereta anak. Dia
> dibantu oleh penumpang lainnya menaikkan kereta itu ke dalam bis. Itu
tanpa
> diminta, tetapi si penolong menawarkan diri. Ini betul-betul Islami, bisik
> hatinya. Sutan  menyesali diri, karena tidak tahu   bahasa asing. Padahal
> itu kesempatan untuk berbincang-bincang dengan pengemudi bis tentang
sesuatu
> yang ingin diketahuinya. Hati kecilnya bertanya, kapan peradaban begini
bisa
> menjelma di negerinya yang mayoritas muslim dan berfilsafat Pancasila?
Yang
> membuat Sutan gelisah dan tidak berkenan di hatinya, bila terpergok
matanya
> pada pasangan yang asyik saling mengunyah bibir begitu lahapnya di depan
> umum."Astaghfirullah .....," ucapnya dalam hati.
>
> Sepanjang perjalanan mata Sutan terus berusaha mencermati suasana serta
> manusianya. Mau diketahuinya di mana saja sosok yang dicarinya akan
muncul.
> Sutan sudah mengalami pemeriksaan paspor penumpang bis di perbatasan
Jerman
> dan Denmark. Sutan merasa tidak tenang waktu itu. Kuatir akan ditanya
> macam-macam. Salah-salah jawab bisa celaka, fikirnya. Ternyata caranya
> biasa-biasa saja. Petugas itu tidak berseragam polisi di mata Sutan. Dia
> hanya meminta lihat paspor. Di balik-balik halamannya sambil melihat
sekilas
> wajah Sutan untuk mencocokkan dengan gambar dirinya di paspor. Lalu
> dikembalikan sambil mengucapkan terima kasih.
>
> Namun, pengalaman itu  belum menjawab pertanyaan yang berkilas di hatinya,
> yang mencuat waktu bertolak dari Jakarta.  Sutan mau tahu temperamen sosok
> yang dicarinya. Sikapnya terhadap anggota masyarakat. Perilakunya bila ada
> kendaraan membuat pelanggaran lalu lintas. Sutan merasa sial betul
dirinya.
> Walaupun begitu, Sutan berfikir, mungkin Tuhan telah merahmati
perjalanannya
> dengan segala kelancaran dan keselamatan. Tahu-tahu ketika bis  keluar
dari
> feri di pelabuhan Kopenhagen, tampak dua sosok seragam keluar dari sebuah
> restauran. Cepat-cepat Sutan menunjuk ke arah itu sambil bertanya pada
> menantunya yang duduk di kanannya.
>
> "Tengok! Tengok! Itu ... yang keluar dari restauran sana. Dua orang
> berseragam, tentara atau polisi?"
>
> Menantunya agak terkejut dan dengan liar matanya mencari : "Oooh" sambil
> tersenyum, "itu ´kan polisi Ayah."
>
> Kedua sosok tubuh yang tinggi besar itu masuk ke dalam sebuah mobil  yang
> tidak terbaca oleh Sutan huruf "POLIS", kemudian lenyap melaju entah ke
mana
> ... .
>
> "Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan mereka di sana?" desak Sutan pada
> menantunya dengan semangat ingin tahu.
>
> "Hanya berpatroli dan mencari ganjalan perut kosongnya," jawabnya ringan.
>
> Sutan terdiam, seperti merenungkan sesuatu ... . Kemudian diangkatnya
> mukanya. Lalu tatapan matanya meraba wajah-wajah anaknya, cucunya,
> menantu-menantunya dan beberapa orang teman mereka perantau dari Bali,
Jawa
> dan Sumatra yang asyik mendengar kilas balik perjalanan Sutan.
>
> "Itulah. Sekali itulah baru ambo lihat polisi sepanjang perjalanan
sekeluar
> dari Perancis ke tempat kalian ini. Apakah puak penghuni Nusantara tidak
> punya zat untuk melahirkan polisi beradab dan berkemanusiaan? Generasi ke
> berapa kelak negeri kita dapat menikmati kehidupan seperti dalam
masyarakat
> di negeri pemukiman kalian sekarang ini ...?"
>
> Malam musim panas bulan Juni terus bergulir pada putaran lepas angka
> sebelas. Alam masih benderang bagaikan siang bolong. Nurmala mempersilakan
> ayahnya untuk  menggolekkan diri di ranjang. ì
>
> Stockholm, 2 Januari 2001.
>
> Keterangan:
> - waang - baca wa-ang, kamu
> - ambo, saya
> - anjieng, anjing dalam lafal Minang
> - ´tu, itu; nan, yang
> - ´lah, telah
> - atok dari  datok, kakek
>
>
> Z Afif, penulis prosa dan puisi, sekarang tinggal di Swedia; terjun dalam
> kegiatan seni dan sastra sejak akhir 50-an di "kota pelajar" Yogyakarta.
Ia
> juga pernah menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia di Tiongkok.
>
>
>
> RantauNet http://www.rantaunet.com
> Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
> -----------------------------------------------
>
> Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
> http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
> ===============================================
>


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke