Rancak cepernyo Nofendri, taruihkan kalau masih ado.
Salam
SBN

----- Original Message -----
From: "Nofendri T. Lare" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "Palanta" <[EMAIL PROTECTED]>; "MinangNet"
<[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, June 13, 2003 11:06 AM
Subject: [RantauNet.Com] Cerpen Z Aifi : Mencari Polisi di Eropa


> Z Afif
> MENCARI POLISI DI EROPA
>
> Kala  Sutan Sati bertolak dari rumahnya di Solok, Sumatra Barat, niat itu
> sama sekali tidak terlintas di hatinya. Yang  difikirkannya hanyalah buah
> tangan yang akan dibawanya untuk anak-anak, cucu-cucu dan
> menantu-menantunya. Sedangkan perasaannya mengutik, apakah olih-olihnya
> berupa pakaian Minang, barang kerajinan tangan tradisional pantas untuk
> mereka yang hidup di Eropa, yang begitu moderen dan berkecukupan? Tetapi
> itulah lampiasan rindu dan kasih sayang dalam bentuk materi yang mampu
> dihadiahkannya.
>
> Sutan belum punya pengalaman  ke luar negeri. Beliau juga tak faham bahasa
> asing. Di dalam bis yang membawanya menuju Jakarta, pertanyaan yang
> berkecamuk dalam kepalanya tentang apa yang akan dihadapi menuju dan
> memasuki negeri tempat anak-anaknya bermukim. Akankah dihadang oleh budaya
> buruk yang dialaminya selama ini di negerinya sendiri? Memikirkan soal
ini,
> tampak wajah tuanya melewati tujuh puluhan menjadi begitu gugup.
>
> Banyak pengetahuan dan pengalaman diperolehnya dalam perjalanan bolak
balik
> sepanjang jalan raya lintas Sumatra dari Solok ke Jakarta maupun jurusan
> Pakan Baru dan Dumai di Riau, tempat anak-anaknya bekerja dan menetap.
Pada
> masa kecilnya, Sutan telah sering mendengar cerita orang-orang dewasa atau
> tua tentang penyamun. Manakala orang mengadakan perjalanan darat  antara
> Tapanuli-Bengkulu, antara Bengkulu-Palembang, Palembang-Pakan Baru,
> Bengkulu-Pakan Baru, harus siap bertarung dengan gerombolan penyamun. Hal
> ini telah banyak ditulis dalam surat kabar masa itu.  Juga menginspirasi
> sasterawan yang menulis roman, cerita bersambung dan cerita bergambar
> tentang penyamun. Sutan Takdir Alisyahbana, pengarang Pujangga Baru, telah
> mengarang roman Anak Perawan Di Sarang Penyamun.
>
> Tetapi di negeri yang katanya merdeka sekarang ini, penyamun tidak lagi
> hanya di kawasan sepi, jauh dari kota, melainkan terpusat di kota-kota, di
> jawatan-jawatan bahkan dikendalikan dari markas polisi dan TNI. Setelah
> dibangun jalan raya lintas Sumatra, ternyata yang lebih populer  bukan
lagi
> bahaya penyamun, melainkan bencana pungli (pungutan liar) atau ancaman
> lainnya dari makhluk berseragam resmi. Sutan melihat dan mengalami
sendiri,
> tingkah yang tidak senonoh, memalukan, hina, bahkan sangat menjijikkan
yang
> dilakukan aparat keamanan negara terhadap supir, penumpang dan pemilik
> kendaraan yang melintasi jalan itu. Bagi Sutan dan orang-orang awam, kata
> "keamanan" atau "diamankan" dari aparat negara sudah berubah arti menjadi
> malapetaka. Bila mereka ucapkan "demi penegakan hukum" berarti ada yang
> bebak belur dihajar tanpa proses pengadilan dan tidak tahu apa
kesalahannya.
> Sedangkan kata "damai" dalam kamus polisi bermakna terancam ketenteraman
> jiwa, hilang hak milik, terkuras isi kantung korbannya.
>
> Dahulu, ayahnya bilang: "Waang tahu, polisi tu anjieng negara!" Karena,
> kisah ayahnya: "Penjajah menggunakan polisi bagaikan anjieng penjaga rumah
> tuannya."
>
> Kemarahan ayah Sutan kepada polisi  beralasan. Ayahnya tinggal di luar
kota.
> Memelihara  beberapa ekor lembu. Lembu-lembu itu sering dilepaskan begitu
> saja, bila tidak dipakai untuk menarik bajak atau gerobak. Polisi
> menggunakan kesempatan itu. Lembu itu dihalaunya masuk ke wilayah kota.
Jadi
> mereka punya dalih menangkap lembu itu dan membawanya ke kantor polisi.
> Kemudian diminta pemiliknya untuk menebus kembali lembu itu. Pemiliknya
> didakwa telah melanggar peraturan kotapraja, melepaskan lembunya ke dalam
> kota. Maka dikenakan delik hukum. Sutan juga mendengar kejadian-kejadian
> tentang polisi mematai-matai orang-orang pergerakan kemerdekaan. Aparat
> penjajah itu membuat rekayasa untuk menangkap mereka dengan tuduhan
sebagai
> pengacau.
>
> Oleh sebab itu Sutan dan saudara-saudara lelakinya diperingatkan oleh
> ayahnya: "Kalau kalian besar  nanti, jangan sekali-kali menjadi polisi!
> Jangan anak-anak ambo menjadi anjieng negara!"
>
> Penjajah sudah diusir oleh rakyat. Tetapi rakyat masih mengalami gigitan
> alat negara, yang berlindung dalam pori-pori kosa kata "aparat keamanan".
> Mereka mencari-cari kesilapan pengemudi bis, truk, mobil dan sepeda motor
> sebagai landasan hukum mereka untuk memerasnya. Walaupun sudah ada pos
> polisi lalu lintas, di mana para pengemudi harus menyetor upeti, tetapi
pada
> jarak antara satu pos dengan pos lainnya muncul lagi siluman sejenis, yang
> liar dan menodong pengguna jalan raya.
>
> Menurut Sutan, agar aman dari penyamunan itu, maka para pengemudi truk
> memasang penangkal. Di depan truknya dengan huruf besar-besar ditempelkan
> nama perusahaan milik anak Presiden Jenderal TNI AD Haji Muhammad Suharto
> atau nama anak-anaknya seperti Tommy, Bambang, Tutut, Sigit, Titiek. Kalau
> melihat nama-nama angker itu, aparat keamanan hanya senyum kecut saja.
Dalam
> hatinya mengumpat: "Sial punya pengusaha penguasa!"
>
>  *****
> Sutan Sati selamat dan sehat mendarat di bandar udara Paris. Saat hendak
> melangkah ke luar pesawat  merayap rasa waswas, apa akan dilakukan petugas
> Perancis di pintu keluar? Apa yang akan ditanyakan dan diperiksa?
Bagaimana
> menjawabnya dan dengan bahasa Indonesia apakah mereka faham? Kalau ada
yang
> salah apa sanksinya? Benarkah apa yang telah diceritakan anak-anaknya?
>
> "Ayah tidak perlu kuatir! Paris bukan Jakarta. Tidak ada pungli di pabean.
> Keamanan Ayah terjamin. Yang penting surat-surat Ayah yang diperlukan ada
di
> tangan."
>
> Tetapi Sutan bukan tidak pernah menyaksikan di layar tivi atau membaca di
> surat kabar, juga mendengar cerita orang tentang kekacauan dan kejahatan
di
> bandar udara di negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang dilakukan oleh kaum
> teroris atau penjahat lainnya. Sutan berdoa dalam hati, moga-moga yang
> dikatakan anak-anaknya itu benar semuanya!
>
> Ada sedikit perasaan letih karena kejauhan dan kelamaan dalam pesawat.
> Tetapi keletihan itu tersapu dengan perasaan riang, sebab segalanya lancar
> dan lebih-lebih lagi segera bersua dengan anak, cucu-cucu dan menantu yang
> selalu dirindukan yang datang menjemputnya. Dengan mobil yang dikemudikan
> cucunya, Sang Atok dibawa langsung ke rumah anaknya. Berbagai pertanyaan
> yang diluncurkan anak, menantu dan cucunya-cucunya sepanjang jalan tentang
> pengalaman perjalanannya dan keadaan sanak keluarga dan kampung halaman,
> dijawabnya seperti asal saja untuk memuaskan perasaan mereka. Fikirannya
> hanyut ke luar mobil mengamati suasana sekitar, seperti menyimpan suatu
> rahasia dan sedang menyelidiki sesuatu yang hanya hatinya sendiri yang
tahu.
>
> Setelah sepekan di Perancis, Sutan dengan diantar oleh menantunya
berangkat
> ke Swedia untuk menjenguk anak bungsunya.
>
> Tatkala menantunya meminta paspornya dan akan membeli karcis pesawat
terbang
> ke Swedia, Sutan terlompat dari duduknya dan berseru: "Jangan! Jangan!
Ambo
> tidak mau naik kapal terbang!"
>
> "Ayah," sambar  anaknya, "Swedia itu jauh nun di ujung langit utara sana.
> Harus menyeberangi laut dan melintasi beberapa negeri. Ayah akan sangat
> capek dengan perjalanan darat yang lebih daripada sehari semalam."
>
> "Memang, dengan kapal terbang akan lekas sampai. Tapi apa nan dapat ambo
> lihat? Awan? Bosan ambo melihat awan selama terbang dari Jakarta ke sini.
> Waang tahu, sekali melihat, jauh lebih berarti daripada sepuluh bahkan
> seratus kali mendengar. Tahu tidak?!"  Sutan menyengat.
>
> Anak dan menantunya terpolongo dan kaget. Tidak menduga Sang Ayah akan
> segarang itu. Mereka pun putar otak, menggali cara untuk membujuk ayahnya
> agar mau naik pesawat demi usia tua dan kesehatannya. Sebab beliau ada
> sedikit gangguan pada jantungnya. Mereka tahu bahwa ayahnya bukanlah orang
> yang mudah dibelokkan kata putusnya, kalau alasan yang dipakai tidak masuk
> akalnya. Bahkan kakeknya dahulu tidak mudah mengubah fikiran ayahnya itu,
> kalau sudah mengambil suatu keputusan yang dianggapnya betul.
>
> "Beginilah, Yah, separoh-separoh saja," menantunya, lelaki berdarah Ambon
> menawarkan jalan tengah.
>
> "Apa maksudmu ītu?"
>
> "Kita naik pesawat ke Denmark. Dari Denmark naik bis atau keretapi ke
> Stockholm, ibu kota Swedia," menantunya menjelaskan dengan hati-hati.
>
> "Kamu tahu, ambo īlah biasa naik bis bolak-balik Solok-Jakarta. Ambo tidak
> mau main setengah-setengah," tukas Sutan  yang masih dalam gelegak
mendidih.
>
> "Maksud kami, Ayah, agar Ayah jangan sampai kelelahan di jalan dan segar
> bugar sampai di rumah si Nurmala. Kalau kesehatan Ayah terganggu, nanti
> mereka sekeluarga yang susah. Apalagi Mala sedang hamil lagi. Sebab
> perjalanan dengan bis lebih daripada tiga kali lipat jarak Solok-Jakarta,"
> anaknya mencoba  bujuk.
>
> "Ambo mau tahu, kalau dengan bis berapa negeri akan kita lalui hingga ke
> tempat si Nurmala?", angin sepoi Sutan mulai bertiup.
>
> "Itu tergantung pilihan kita. Lewat Belgia, Jerman, Denmark atau lewat
> Belgia, Belanda, Jerman, Denmark. Tapi keduanya nonstop. Artinya tidak
> berhenti menginap di jalan," jawab menantunya yang mencoba sisipkan maksud
> agar Sutan mengendorkan tuntutan mutlaknya.
>
> "Ambo mau lewat jalan kedua. Dengan bis. Jangan dengan keretapi. Ambo mau
> lihat lebih banyak selagi masih hidup dan untuk ambo bawa pulang kepada
> orang sekampung!"
>
> Anak dan menantunya saling bertatapan. Tampak ragu dan bingung. Kemudian
> sang suami mengedipkan mata pada isterinya, agar jangan memperpanjang
> sengketa.
>
> "Yalah, kita akan naik bis saja."
> *****
> Sebenarnya, hati kecil Sutan ada sedikit keraguan untuk berkukuh menolak
> usul "separoh-separoh" dari menantunya. Sebab Nurmala anak bungsu yang
> sangat disayangi, walaupun dia kawin dengan bule. Gara-gara hubungannya
> dengan pemuda Swedia itu, hampir Sutan dan isterinya tidak mengakui
Nurmala
> sebagai anaknya. Karena mereka kuatir Nurmala akan dikristenkan oleh bule
> itu. Itu aib yang akan mencacati mukanya dan keluarganya, anggap Sutan.
>
> Tetapi kenyataan yang terjadi sebaliknya. Nurmala yang tamatan IAIN
jurusan
> hukum, dapat melihat secara kritis unsur kebersamaan dalam ajaran Islam
> dipraktekkan di dalam masyarakat Swedia. Hal-hal seperti kebersihan,
> ketertiban, rasa kemanusiaan, berbuat kebajikan, perlakuan yang manusiawi
> atas orang cacat, pelaksanaan dan ketaatan hukum, keadilan sosial serta
> kehidupan demokratis yang diajarkan di dalam Kuran, tampak di mata Nurmala
> telah berwujud dalam masyarakat Swedia. Unsur-unsur itu menjadi pegangan
> Nurmala  untuk meyakinkan Nikolas. Akhirnya, sebelum menikah dia masuk
> Islam. Dan Nikolas dengan sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia dan
dapat
> menggunakannya  dengan fasih. Sikap hidupnya juga sudah banyak bersesuaian
> dengan tata adat Minangkabau. Karena itu, kalau menantu dan anaknya di
Paris
> dapat bertahan membujuk Sutan dengan argumentasi yang kuat untuk berangkat
> ke Swedia dengan setengah perjalanan naik pesawat terbang dan setengah
lagi
> menumpang bis, tentu akan diterimanya. Sebab niat yang terkilas di hati
yang
> dipendamnya, diharapkannya dapat disaksikannya dalam separoh perjalanan
> dengan bis dan Nurmala dapat dipeluk ciumnya sebagai biji mata kasih
> sayangnya.
> *****
> Satu persatu terminal bis disinggahi. Satu persatu kota dan negeri
dilewati.
> Sutan terus mengintai lewat jendela. Bila bis berhenti, Sutan
berputar-putar
> sekitar kawasan itu dan dengan awas diamatinya suasana di sana.
Seakan-akan
> sedang mencari mangsa dengan memata-matai sesuatu. Tampak wajahnya kecewa
> ketika naik lagi ke bis, karena tak kecapaian maksud yang
disembunyikannya.
>
> Namun, Sutan merasa kagum atas ketepatan waktu berangkat dan berhenti bis.
> Kagum pada pengemudi bis yang begitu trampil dan hati-hati. Lagipun tanpa
> kernek. Sabar dan ramah kepada penumpang. Lebih-lebih sikap itu kepada
orang
> tua seperti dia, anak-anak dan perempuan. Barang-barang penumpang diatur
> secara rapi dan dikeluarkan juga tidak sembarangan. Memberi kesan rasa
> tanggung jawab kepada penumpang begitu besar. Para penumpang naik dan
turun
> bis secara teratur. Tidak berebutan dan tidak senggol-menyenggol. Di dalam
> bis dilarang merokok, demi kebersihan udara. WC bis juga bersih. Pernah
> dilihatnya di suatu terminal, seorang penumpang membawa kereta anak. Dia
> dibantu oleh penumpang lainnya menaikkan kereta itu ke dalam bis. Itu
tanpa
> diminta, tetapi si penolong menawarkan diri. Ini betul-betul Islami, bisik
> hatinya. Sutan  menyesali diri, karena tidak tahu   bahasa asing. Padahal
> itu kesempatan untuk berbincang-bincang dengan pengemudi bis tentang
sesuatu
> yang ingin diketahuinya. Hati kecilnya bertanya, kapan peradaban begini
bisa
> menjelma di negerinya yang mayoritas muslim dan berfilsafat Pancasila?
Yang
> membuat Sutan gelisah dan tidak berkenan di hatinya, bila terpergok
matanya
> pada pasangan yang asyik saling mengunyah bibir begitu lahapnya di depan
> umum."Astaghfirullah .....," ucapnya dalam hati.
>
> Sepanjang perjalanan mata Sutan terus berusaha mencermati suasana serta
> manusianya. Mau diketahuinya di mana saja sosok yang dicarinya akan
muncul.
> Sutan sudah mengalami pemeriksaan paspor penumpang bis di perbatasan
Jerman
> dan Denmark. Sutan merasa tidak tenang waktu itu. Kuatir akan ditanya
> macam-macam. Salah-salah jawab bisa celaka, fikirnya. Ternyata caranya
> biasa-biasa saja. Petugas itu tidak berseragam polisi di mata Sutan. Dia
> hanya meminta lihat paspor. Di balik-balik halamannya sambil melihat
sekilas
> wajah Sutan untuk mencocokkan dengan gambar dirinya di paspor. Lalu
> dikembalikan sambil mengucapkan terima kasih.
>
> Namun, pengalaman itu  belum menjawab pertanyaan yang berkilas di hatinya,
> yang mencuat waktu bertolak dari Jakarta.  Sutan mau tahu temperamen sosok
> yang dicarinya. Sikapnya terhadap anggota masyarakat. Perilakunya bila ada
> kendaraan membuat pelanggaran lalu lintas. Sutan merasa sial betul
dirinya.
> Walaupun begitu, Sutan berfikir, mungkin Tuhan telah merahmati
perjalanannya
> dengan segala kelancaran dan keselamatan. Tahu-tahu ketika bis  keluar
dari
> feri di pelabuhan Kopenhagen, tampak dua sosok seragam keluar dari sebuah
> restauran. Cepat-cepat Sutan menunjuk ke arah itu sambil bertanya pada
> menantunya yang duduk di kanannya.
>
> "Tengok! Tengok! Itu ... yang keluar dari restauran sana. Dua orang
> berseragam, tentara atau polisi?"
>
> Menantunya agak terkejut dan dengan liar matanya mencari : "Oooh" sambil
> tersenyum, "itu īkan polisi Ayah."
>
> Kedua sosok tubuh yang tinggi besar itu masuk ke dalam sebuah mobil  yang
> tidak terbaca oleh Sutan huruf "POLIS", kemudian lenyap melaju entah ke
mana
> ... .
>
> "Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan mereka di sana?" desak Sutan pada
> menantunya dengan semangat ingin tahu.
>
> "Hanya berpatroli dan mencari ganjalan perut kosongnya," jawabnya ringan.
>
> Sutan terdiam, seperti merenungkan sesuatu ... . Kemudian diangkatnya
> mukanya. Lalu tatapan matanya meraba wajah-wajah anaknya, cucunya,
> menantu-menantunya dan beberapa orang teman mereka perantau dari Bali,
Jawa
> dan Sumatra yang asyik mendengar kilas balik perjalanan Sutan.
>
> "Itulah. Sekali itulah baru ambo lihat polisi sepanjang perjalanan
sekeluar
> dari Perancis ke tempat kalian ini. Apakah puak penghuni Nusantara tidak
> punya zat untuk melahirkan polisi beradab dan berkemanusiaan? Generasi ke
> berapa kelak negeri kita dapat menikmati kehidupan seperti dalam
masyarakat
> di negeri pemukiman kalian sekarang ini ...?"
>
> Malam musim panas bulan Juni terus bergulir pada putaran lepas angka
> sebelas. Alam masih benderang bagaikan siang bolong. Nurmala mempersilakan
> ayahnya untuk  menggolekkan diri di ranjang. ė
>
> Stockholm, 2 Januari 2001.
>
> Keterangan:
> - waang - baca wa-ang, kamu
> - ambo, saya
> - anjieng, anjing dalam lafal Minang
> - ītu, itu; nan, yang
> - īlah, telah
> - atok dari  datok, kakek
>
>
> Z Afif, penulis prosa dan puisi, sekarang tinggal di Swedia; terjun dalam
> kegiatan seni dan sastra sejak akhir 50-an di "kota pelajar" Yogyakarta.
Ia
> juga pernah menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia di Tiongkok.
>
>
>
> RantauNet http://www.rantaunet.com
> Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
> -----------------------------------------------
>
> Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
> http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
> ===============================================
>


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Reply via email to