Kok contoh alah banyak bana, salah satu contoh lah nampak dalam cerpen dibawahko, insyaAllah dinagari-nagari itu lai tapisah ma nan domain pribadi dan domain publik. Sulik memang bagi nan alun marasoi bahwa pemisahan itu justru untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Dengan terpisahnya domain publik dari domain pribadi, maka semua usaha dalam domain publik menjadi jernih dan transparan.
Harus diakui diskusinya masih baputa dari sinan kasinan, sejak merdeka bangsa ini ini belum beranjak maju kalaulah tidak mundur dalam memanusiakan manusia.
Salam
SBN
----- Original Message -----
From: Irdam Syah
Sent: Friday, June 13, 2003 2:10 PM
Subject: RE: [RantauNet.Com] Dukung RUU Pendidikan Nasional

Pernyataan sutan talalu umum  sahinggo diskusinyo baputa dari sinan ka sinan sajo. Tolonglah diagiah contoh singgo diskusinyo ado arahnyo...
 
salam - tg
 
SBN <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Sejarah mencatat bahwa domain pribadi yang dijadikan domain publik menghasilkan lebih banyak kemunduran dibanding dipisahkan.
 
Salam
SBN 


 
Ambo marasokan caro iduik nan ditulis di cerpen Z.Aifi ko di Balando sacaro nyato indak dalam cerpen bagai doh.
Bahkan pernah ambo jo uda masponsori urang awak nan datang balibur ka Balando, harus malapor ka polisi, sudah tu overstay ditampek ambo. Ditanyo
dek tamu, bara ambo ka mambayie uang untuak malaporko ? Jawab uda ambo mambuek ambo tapurangah " iko indak indonesia doh uni. Disiko urang cuma manjalankan peraturan dan polisi ndak paralu pitih tambahan doh, sabab inyo lah cukuik di gaji dek pemerintah.
Salam dari Balando,

Efi ( 42 )

----- Oorspronkelijk bericht -----
Van: "Nofendri T. Lare" <[EMAIL PROTECTED]>
Aan: "Palanta" <[EMAIL PROTECTED]>; "MinangNet"
<[EMAIL PROTECTED]>
Verzonden: vrijdag 13 juni 2003 6:06
Onderwerp: [RantauNet.Com] Cerpen Z Aifi : Mencari Polisi di Eropa


> Z Afif
> MENCARI POLISI DI EROPA
.....dikuduang.........
  
> Tatkala menantunya meminta paspornya dan akan membeli karcis pesawat terbang ke Swedia, Sutan terlompat dari duduknya dan berseru: "Jangan! Jangan!  Ambo tidak mau naik kapal terbang!"

"Ayah," sambar  anaknya, "Swedia itu jauh nun di ujung langit utara sana. Harus menyeberangi laut dan melintasi beberapa negeri. Ayah akan sangat capek dengan perjalanan darat yang lebih daripada sehari semalam."

 "Memang, dengan kapal terbang akan lekas sampai. Tapi apa nan dapat ambo lihat? Awan? Bosan ambo melihat awan selama terbang dari Jakarta ke sini. Waang tahu, sekali melihat, jauh lebih berarti daripada sepuluh bahkan seratus kali mendengar. Tahu tidak?!"  Sutan menyengat.
Anak dan menantunya terpolongo dan kaget. Tidak menduga Sang Ayah akan segarang itu. Mereka pun putar otak, menggali cara untuk membujuk ayahnya agar mau naik pesawat demi usia tua dan kesehatannya. Sebab beliau ada sedikit gangguan pada jantungnya. Mereka tahu bahwa ayahnya bukanlah orang yang mudah dibelokkan kata putusnya, kalau alasan yang dipakai tidak masuk  akalnya. Bahkan kakeknya dahulu tidak mudah mengubah fikiran ayahnya itu, kalau sudah mengambil suatu keputusan yang dianggapnya betul.

"Beginilah, Yah, separoh-separoh saja," menantunya, lelaki berdarah Ambon menawarkan jalan tengah. "Apa maksudmu ītu?" "Kita naik pesawat ke Denmark. Dari Denmark naik bis atau keretapi ke Stockholm, ibu kota Swedia," menantunya menjelaskan dengan hati-hati.
"Kamu tahu, ambo īlah biasa naik bis bolak-balik Solok-Jakarta. Ambo tidak mau main setengah-setengah," tukas Sutan  yang masih dalam gelegak
mendidih. "Maksud kami, Ayah, agar Ayah jangan sampai kelelahan di jalan dan segar  bugar sampai di rumah si Nurmala. Kalau kesehatan Ayah terganggu, nanti  mereka sekeluarga yang susah. Apalagi Mala sedang hamil lagi. Sebab perjalanan dengan bis lebih daripada tiga kali lipat jarak Solok-Jakarta," anaknya mencoba  bujuk. "Ambo mau tahu, kalau dengan bis berapa negeri akan kita lalui hingga ke tempat si Nurmala?", angin sepoi Sutan mulai bertiup.

"Itu tergantung pilihan kita. Lewat Belgia, Jerman, Denmark atau lewat  Belgia, Belanda, Jerman, Denmark. Tapi keduanya nonstop. Artinya tidak berhenti menginap di jalan," jawab menantunya yang mencoba sisipkan maksud agar Sutan mengendorkan tuntutan mutlaknya.

"Ambo mau lewat jalan kedua. Dengan bis. Jangan dengan keretapi. Ambo mau  lihat lebih banyak selagi masih hidup dan untuk ambo bawa pulang kepada orang sekampung!"   Anak dan menantunya saling bertatapan. Tampak ragu dan bingung. Kemudian sang suami mengedipkan mata pada isterinya, agar jangan memperpanjang sengketa.
"Yalah, kita akan naik bis saja."
*****
Sebenarnya, hati kecil Sutan ada sedikit keraguan untuk berkukuh menolak  usul "separoh-separoh" dari menantunya. Sebab Nurmala anak bungsu yang sangat disayangi, walaupun dia kawin dengan bule. Gara-gara hubungannya dengan pemuda Swedia itu, hampir Sutan dan isterinya tidak mengakui
Nurmala sebagai anaknya. Karena mereka kuatir Nurmala akan dikristenkan oleh bule itu. Itu aib yang akan mencacati mukanya dan keluarganya, anggap Sutan.

Tetapi kenyataan yang terjadi sebaliknya. Nurmala yang tamatan IAIN jurusan hukum, dapat melihat secara kritis unsur kebersamaan dalam ajaran Islam dipraktekkan di dalam masyarakat Swedia. Hal-hal seperti kebersihan,  ketertiban, rasa kemanusiaan, berbuat kebajikan, perlakuan yang manusiawi atas orang cacat, pelaksanaan dan ketaatan hukum, keadilan sosial serta kehidupan demokratis yang diajarkan di dalam Kuran, tampak di mata Nurmala telah berwujud dalam masyarakat Swedia. Unsur-unsur itu menjadi pegangan Nurmala  untuk meyakinkan Nikolas. Akhirnya, sebelum menikah dia masuk Islam. Dan Nikolas dengan sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia dan dapat menggunakannya  dengan fasih. Sikap hidupnya juga sudah banyak bersesuaian dengan tata adat Minangkabau. Karena itu, kalau menantu dan anaknya di Paris  dapat bertahan membujuk Sutan dengan argumentasi yang kuat untuk berangkat ke Swedia dengan setengah perjalanan naik pesawat terbang dan setengah
lagi  menumpang bis, tentu akan diterimanya. Sebab niat yang terkilas di hati yang dipendamnya, diharapkannya dapat disaksikannya dalam separoh perjalanan dengan bis dan Nurmala dapat dipeluk ciumnya sebagai biji mata kasih sayangnya.
*****
Satu persatu terminal bis disinggahi. Satu persatu kota dan negeri dilewati. Sutan terus mengintai lewat jendela. Bila bis berhenti, Sutan berputar-putar
sekitar kawasan itu dan dengan awas diamatinya suasana di sana. Seakan-akan sedang mencari mangsa dengan memata-matai sesuatu. Tampak wajahnya kecewa ketika naik lagi ke bis, karena tak kecapaian maksud yang disembunyikannya. Namun, Sutan merasa kagum atas ketepatan waktu berangkat dan berhenti bis. Kagum pada pengemudi bis yang begitu trampil dan hati-hati. Lagipun tanpa kernek. Sabar dan ramah kepada penumpang. Lebih-lebih sikap itu kepada orang tua seperti dia, anak-anak dan perempuan. Barang-barang penumpang diatur secara rapi dan dikeluarkan juga tidak sembarangan. Memberi kesan rasa tanggung jawab kepada penumpang begitu besar. Para penumpang naik dan turun  bis secara teratur. Tidak berebutan dan tidak senggol-menyenggol. Di dalam bis dilarang merokok, demi kebersihan udara. WC bis juga bersih. Pernah dilihatnya di suatu terminal, seorang penumpang membawa kereta anak. Dia dibantu oleh penumpang lainnya menaikkan kereta itu ke dalam bis. Itu tanpa diminta, tetapi si penolong menawarkan diri. Ini betul-betul Islami, bisik hatinya. Sutan  menyesali diri, karena tidak tahu   bahasa asing. Padahal itu kesempatan untuk berbincang-bincang dengan pengemudi bis tentang sesuatu yang ingin diketahuinya. Hati kecilnya bertanya, kapan peradaban begini bisa  menjelma di negerinya yang mayoritas muslim dan berfilsafat Pancasila?
Yang membuat Sutan gelisah dan tidak berkenan di hatinya, bila terpergok matanya pada pasangan yang asyik saling mengunyah bibir begitu lahapnya di depan umum."Astaghfirullah .....," ucapnya dalam hati.

Sepanjang perjalanan mata Sutan terus berusaha mencermati suasana serta manusianya. Mau diketahuinya di mana saja sosok yang dicarinya akan
muncul. Sutan sudah mengalami pemeriksaan paspor penumpang bis di perbatasan Jerman  dan Denmark. Sutan merasa tidak tenang waktu itu. Kuatir akan ditanya macam-macam. Salah-salah jawab bisa celaka, fikirnya. Ternyata caranya biasa-biasa saja. Petugas itu tidak berseragam polisi di mata Sutan. Dia hanya meminta lihat paspor. Di balik-balik halamannya sambil melihat sekilas  wajah Sutan untuk mencocokkan dengan gambar dirinya di paspor. Lalu  dikembalikan sambil mengucapkan terima kasih.

Namun, pengalaman itu  belum menjawab pertanyaan yang berkilas di hatinya, yang mencuat waktu bertolak dari Jakarta.  Sutan mau tahu temperamen sosok yang dicarinya. Sikapnya terhadap anggota masyarakat. Perilakunya bila ada kendaraan membuat pelanggaran lalu lintas. Sutan merasa sial betul
dirinya. Walaupun begitu, Sutan berfikir, mungkin Tuhan telah merahmati perjalanannya dengan segala kelancaran dan keselamatan. Tahu-tahu ketika bis  keluar dari feri di pelabuhan Kopenhagen, tampak dua sosok seragam keluar dari sebuah  restauran. Cepat-cepat Sutan menunjuk ke arah itu sambil bertanya pada  menantunya yang duduk di kanannya.
"Tengok! Tengok! Itu ... yang keluar dari restauran sana. Dua orang berseragam, tentara atau polisi?" Menantunya agak terkejut dan dengan liar matanya mencari : "Oooh" sambil  tersenyum, "itu īkan polisi Ayah."

Kedua sosok tubuh yang tinggi besar itu masuk ke dalam sebuah mobil  yang tidak terbaca oleh Sutan huruf "POLIS", kemudian lenyap melaju entah ke
mana  ... .
"Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan mereka di sana?" desak Sutan pada menantunya dengan semangat ingin tahu.  "Hanya berpatroli dan mencari ganjalan perut kosongnya," jawabnya ringan.  Sutan terdiam, seperti merenungkan sesuatu ... . Kemudian diangkatnya  mukanya. Lalu tatapan matanya meraba wajah-wajah anaknya, cucunya, menantu-menantunya dan beberapa orang teman mereka perantau dari Bali, Jawa  dan Sumatra yang asyik mendengar kilas balik perjalanan Sutan.

"Itulah. Sekali itulah baru ambo lihat polisi sepanjang perjalanan sekeluar dari Perancis ke tempat kalian ini. Apakah puak penghuni Nusantara tidak  punya zat untuk melahirkan polisi beradab dan berkemanusiaan? Generasi ke berapa kelak negeri kita dapat menikmati kehidupan seperti dalam
masyarakat di negeri pemukiman kalian sekarang ini ...?"

Malam musim panas bulan Juni terus bergulir pada putaran lepas angka sebelas. Alam masih benderang bagaikan siang bolong. Nurmala mempersilakan
ayahnya untuk  menggolekkan diri di ranjang. ė
Stockholm, 2 Januari 2001.

> Z Afif, penulis prosa dan puisi, sekarang tinggal di Swedia; terjun dalam  kegiatan seni dan sastra sejak akhir 50-an di "kota pelajar" Yogyakarta.
Ia juga pernah menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia di Tiongkok.
>
>
>
> RantauNet http://www.rantaunet.com
> Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
> -----------------------------------------------
>
> Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
> http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
> ===============================================
>


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Reply via email to