Catatan:

Saya pernah membaca di sebuah milis posting yang isinya lebih kurang:
“kenapa sih koq MUI meributkan Inul tetapi diam soal korupsi?”
Sebenarnya jelas, Inul adalah soal lain, dan korupsi soal lain.  Tetapi
merajalelanya korupsi di Republik tercinta dengan penduduk muslim
terbesar di dunia jelas sebuah “anakronim”, jelas ada yang salah dalam
pemahaman ke-Islaman dan misi kerasulan Muhammad SAW  bagi mayoritas
pemeluk dan pengikut Nabi SAW, termasuk saya tentunya (sabda beliau:
“tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”),
dan tidak ada yang bisa mengubahnya kecuali ummat sendiri, tidak MUI
yang semakin tidak jelas “mission”nya. Apalagi dalam Islam  sebenarnya
tidak ada sistem kependetaan.

Dan Nabi SAW sendiri sepanjang hidupnya mencontohkan sikap seorang
pemimpin yang kehidupannya sangat-sangat bersahaja dan mengecam pejabat
yang menerima hadiah karena kepejabatannya (sabda beliau: “Kalau kau
tinggal di rumah ibumu, apakah mereka akan memberikan hadiah kepadamu?”)

Saya pikir tulisan Mas Samodra Wibawa di bawah ini yang pernah dikopi di
Milis Desentralisasi dan saya reposting ke milis ini setelah
memberitahukan kepada penulisnya, merupakan salah satu upaya ke arah
itu.

Ada pertanyaan yang mengelitik saya, musyrik adalah dosa terbesar, dan
tidak ada keraguan mengenai hal ini, “nash”nya jelas. Tetapi dosa kepada
Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang umumnya mudah
“diselesaikan”,  berbeda dengan dosa kepada manusia yang tidak akan
diampuni Allah SWT sebelum manusia yang kita zalimi memaafkannya. Dan
tidak ada keraguan pula, bahwa korupsi, dan kebijakan yang menyuburkan
budaya korupsi: gaji PNS dan sebagian karyawan BUMN/BUMD yang dibiarkan
rendah, kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum adalah
penzaliman yang nyata kepada manusia dan kemanusiaan.

Tapi apalah awak ini

Salam, Darwin


KORUPSI: SEBAB-MUSABAB DAN AGAMA

Ditulis untuk dan dari forum kajian Islam di Friedrichsfeld Süd,
Mannheim, 9 Juni 2002


oleh: Samodra Wibawa


1. Pengantar

Jika anda berada di Eropa dan ngobrol dengan orang Eropa, maka anda akan
merasa bahwa trade mark Indonesai adalah: Islam dan korup. Memang di
antara 140-an negara, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara
terkorup di dunia. Pejabat dan birokrat kita dicap sebagai tukang
rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking dan rent seeker,
khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing
maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea
Selatan –yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan
sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja Alias pemakmuran warga negara.

Kenapa bisa Indonesia yang penuh dengan agamawan ini korup, dan tahun
1998 bangkrut? Persis seperti VOC di Nusantara yang, setelah hidup 3
abad (?), mati karena korupsi yang dilakukan oleh para pengurusnya?

2. Sebab-musabab

Korupsi dalam tulisan ini didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang,
pelanggaran hak warga negara, dan perilaku tidak amanah (bandingkan Q.
3: 75-77) yang ditampilkan oleh politisi, pejabat, birokrat dan pegawai
negeri. Bentuknya bisa pemotongan anggaran, pemerasan, suap, hadiah,
dll. Kenapa keempat jenis warga negara ini melakukan korupsi?

Jawaban paling mudah adalah: karena uang itu enak dan menggiurkan.
Jawaban lain yang mudah adalah: karena tidak ada jaminan sosial bagi
warga negara, sehingga jika mereka nganggur akan mati, sehingga mereka
harus menumpuk harta sekarang untuk bisa hidup nyaman di masa depan.
Jawaban yang agak detail: karena mereka mau, mampu dan tak malu
melakukannya di satu pihak; sempat, tak terkontrol dan tak terhukum di
pihak lain; serta ada dorongan dari isteri/suami, anak dan keluarga
besarnya, dari masyarakat, kolega, atasan dan bawahan di pihak yang lain
lagi. Korupsi jadinya multi aspek, multi aktor, multi dimensional:
melibatkan nilai dan budaya di satu pihak; ekonomi dan politik dalam
negeri serta global di pihak lain; serta manjerial di pihak yang lain
lagi.

Nilai/budaya yang mendorong korupsi misalnya: sikap tidak sportif dan
tidak gentleman, plinthat-plinthut (bandingkan: “Parto iyo bilang
mboten”), tidak senang jika orang lain senang, “saluran air harus
basah”, cara berpikir jangka pendek, sempit dan tidak sistemik. Jika
publik berpandangan bahwa pejabat harus bermobil, maka seorang pejabat
yang tidak punya mobil akan terdorong untuk korup agar dapat membeli
mobil untuk dipamerkan kepada khalayak ramai di kampung halaman pada
waktu Idul Fitri. Jika atasan punya rumah mewah, padahal gajinya tidak
mungkin mencapai nilai itu, maka para bawahan juga akan berusaha
mengejar “ketertinggalan” mereka. Jika pembukuan amburadul, pegawai
keuangan akan dengan  gampang bilang “tidak tahu” terhadap tidak
jelasnya pengeluaran uang. Jika manajemen terpusat di tangan seorang
pejabat, dia dapat dengan leluasa berkongkalingkong dengan
bendaharawan/wati. Dst. Jelas, gamblang, masuk akal. Dan dapat diterima?

3. Agama dan korupsi

Tapi sungguh mengherankan bahwa Departemen Agama termasuk departemen
yang paling korup, bahwa manajemen haji tidak bersih dari kasak-kusuk.
Kenapa agamawan mau dan tidak malu melakukan korupsi? Padahal sudah
jelas, bahwa setiap orang harus bersikap amanah (memenuhi kewajiban,
memegang tanggungjawab, melaksanakan kepercayaan, Q.  4:58) dan tidak
boleh melanggar hak orang lain (Q. 7:33). Kenapa mereka tidak takut
dosa, padahal konon “yang menyuap dan disuap akan masuk neraka”? Kenapa
agamawan yang politisi, pejabat, birokrat atau pegawai negeri tidak
berani dan tidak tega menolak bisikan orang, padahal “syetan yang suka
berbisik-bisik di dalam dada manusia adalah musuh yang paling nyata”?

Jika orang melakukan korupsi karena tidak ada jaminan hidup di masa
depan, dapatlah dipersoalkan: kenapa mereka takut melarat, padahal Nabi
Muhammad wafat tanpa meninggalkan warisan apapun dan selama hidupnya
tidur beralaskan daun kurma? Kenapa para agamawan itu tidak mau hidup
sederhana (bandingkan Q. 17:26-27)? Siapa pemimpin muslimin saat ini
yang berpenampilan seperti Mahatma Gandhi, yang berbaju “umrah” dan
bersandaljepit setiap saat, termasuk ketika menyambut tamu agung? Di
mana baju umrah para pejabat disimpan? Siapa pewaris para nabi
(warisathul anbiyaa’) saat ini, kalau begitu? Abdurrahman Wahid, Amien
Rais, Hamzah Haz, Nur Wahid, Bolkiah Brunei, Yasser Arafat, Hassan
Marokko, Hussein Irak, Husserin Yordania? Siapa berani  jawab?

Kenapa para agamawan korupsi juga? Karena korupsi bukan pelanggaran
berat di mata Allah? Karena perjuangan para nabi adalah (hanyalah?)
“menegakkan kalimat Allah”, meluruskan dan menyempurnakan pemahaman
manusia tentang Tuhan –juga tentang hidup dan mati? Karena “wa laa
tamuutunna illaa wa antum muslimuun” (janganlah kamu mati sebelum
menjadi muslim, kalimat wajib tiap khutbah Jumat) tidak mencakup korupsi
sebagai salah satu indikator tidak-muslim? Mungkin ya. Bagi agamawan
korupsi rasanya bukanlah dosa besar. Dosa besar yang tak terampuni
hanyalah syirik (memperlakukan apa yang bukan Tuhan sebagai Tuhan),
sedangkan korupsi dan  penyelewengan lain adalah dosa kecil, yang dapat
diampuni. Jika berdosa-besar, ruh seseorang akan berada di neraka
selamanya, jika berdosa-kecil, ruh seseorang hanya akan dicelup untuk
sementara di neraka tapi setelah itu akan diangkat ke surga.Mungkin itu
penjelasannya, sehingga seorang pejabat yang saleh, yang telah berhaji
lebih dari sekali, akan memilih untuk memotong anggaran proyek, karena
toh kalau bukan dia pasti akan ada orang lain yang akan melakukannya.
Daripada dinikmati orang lain, lebih baik diambil sendiri, untuk
menyumbang masjid dan pondok pesantren. Dan itu dilakukan tanpa hati
yang nggrenjel (berkidik).

4. Mengurangi korupsi

Penyebutan tentang sebab-musabab korupsi di atas sudah  dengan
sendirinya memberikan petunjuk tentang cara mengurangi korupsi. Sentuhan
agama, etika, moral, akhlak atau apalah sebutannya tentunya dapat
diterapkan terutama pada faktor “mau dan tak malu”. Selain itu kita
(siapapun kita) harus mengupayakan minimalnya kesempatan untuk korupsi,
memperkuat kontrol kepada empat aktor di atas, menegakkan hukum.
Pemerintah harus menciptakan sistem jaminan hidup, kesehatan, pekerjaan,
rumah dan pendidikan bagi semua warga negaranya. Agar orang tidak perlu
cemas menyongsong masa depannya sehingga terpacu untuk menumpuk harta
sebanyak- banyaknya hari ini. Pada aras nilai/budaya, misalnya, kita
harus mengkondisikan agar mereka yang berwenang dapat memilahkan barang
publik dari barang privat. Pendidikan harus diperluas, agar semua warga
negara dapat berpikir luas, sistemik dan jangka panjang. Agar pejabat
tidak perlu khawatir jika keponakannya akan menganggur, karena lowongan
Jabatan di instansinya diisi orang lain yang lebih berkualitas.

Di sektor politik dan birokrasi masa jabatan pimpinan perlu dibatasi
hingga dua kali saja, misalnya. Rotasi jabatan perlu diperluas dan
dipersering. Demokrasi harus dipertahankan dan disempurnakan, jangan
dikurangi. Mereka yang memegang bedil tidak usah duduk di kursi
pengambilan kebijakan. Sistem keuangan partai perlu disempurnakan, agar
lebih transparan dan tidak mendorong politisi mencari dana haram bagi
kampanye partainya. Penguatan kontrol dapat dilakukan antara lain dengan
menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga corruption  watch untuk
lingkungan terdekatnya: Gontor mengawasi pemerintah Kabupaten Ponorogo,
Darul Ulum mengawasi Jombang, Krapyak mengawasi Sultan Ngayogyakarto,
Forum  Pengajian Jerman mengawasi KBRI Berlin dan Konjen Frankfurt
(bandingkan Q. 3:104, 110, 114). Janganlah Mereka malah menciumi tangan
pejabat, agar diberi hadiah, bantuan dan sebangsanya –padahal itu adalah
harta publik yang harus dipertanggungjawabkan secara lurus (bandingkan
Q.3:67).

*



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Reply via email to