Saya merasa cukup beruntung diantara 200an juta penduduk Indonesia. Sebagian besar mereka hanya mengetahui Truk Toyota, Hino, Nissan, Mercedes, Mitsubishi. Saya berani bertaruh, tidak sampai 10 persen (berarti 20an juta orang) yang pernah tahu dan pernah melihat Truk bernama Western Star. Saya melihat Truk ini di dua tempat. Pertama di Timika, Papua dan kedua di Kalimantan sana. Sungguh. Saya cukup merasa bangga akan hal ini. Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Timika adalah gabungan dari rentetan puluhan perasaan yang sulit diungkapkan. Yang jelas saya merasa terharu. Akhirnya sempat juga menginjakkan kaki di tanah Papua. Sebuah tempat yang tidak pernah saya bayangkan sedari kecil untuk menapaknya. Mulai ketika masih di bandara Soekarno-Hatta sampai pada penerbangan Airfast kala itu, sudah membawa seribu tanya tentang wilayah yang akan saya tinggali untuk sekian lama. Pertanyaan besarnya, apakah saya akan betah di bumi Papua. Apa yang harus saya lakukan, jikalau saya tak betah dan segera ingin pulang. Ketika keluar dari bandara Timika, saya sudah diperlihatkan pemandangan warga asli dan pendatang yang menawarkan Taksi. Untung penjemput sudah melihat dan menyuruh saya segera masuk mobil. Dan saya pun segera menuju sebuah rumah (yang sudah disiapkan buat saya) di Kuala Kencana. Sebuah kota kecil yang sangat indah dan tertata asri. Tanda tanya saya tentang kehidupan di tanah ini masih besar. Cuma malam itu sudah terkalahkan oleh lelah perjalanan panjang pesawat dan dua kali transit. Hari kedua, saya masih belum bekerja. Hanya menyiapkan dokumen-dokumen kelengkapan kerja terutama buat kartu pass yang banyak disana. Pass belanja lah, id card bekerja, driving license lah. Mulai saya berkesimpulan, disini memang cukup ketat untuk apa pun. Pekerja dibuat seekslusif mungkin dengan pass-pass tidak karuan ini. Semua ini masih menyisakan tanda tanya cukup besar di benak saya. Hari ketiga, mulai bekerja. Dan saya rasa, bekerja disini tidak jauh berbeda dengan tempat lain. Tetap ada boss, kolega biasa dan bawahan kita. Semua berjalan standar orang bekerja, ada yang rajin, sedikit males, tukang cerita, pendiam dan seterusnya. Tanda tanya saya mulai mengecil. Lalu driving license saya sudah keluar. Walaupun hanya diberi autoritas di sekitar area lowland saja, saya sudah cukup puas. Artinya saya bisa masuk jalan tambang agak leluasa, masuk kota kuala kencana ataupun ke kota Timikanya. Mulailah hobi jalan-jalan melihat dunia luar tersalurkan. Tujuan pertama saya ke Kota Timika. Saya ada janji bertemu teman kuliah, yang tinggal di kota itu. Bertemu teman, mengobrol, membeli pecel ayam dan saya pun pulang. Kawan saya banyak bercerita tentang situasi disini. Mulai dari penduduk asli, kelakuan Army, situasi perusahaan raksasa ini ataupu situasi perpolitikan disini. Semua ia ceritakan. Tentu saja dari sudut kacamata kawan ini. Tanda tanya itu menjadi kecil lagi. Di luar rutinitas pekerjaan, aktivitas lain saya adalah nongkrong. Mulai dari komunitas pendatang Jawa, Sunda, Bugis, Manado dan kadang Ambon. Kerena sedikit memiliki kebisaan berbahasa sunda, saya cukup dekat dengan kelompok masyarakat ini. Kelompok penikmat karedok. Sekali seminggu, selepas magrib saya selalu menyempatkan berkumpul sesama mereka. Kalau sesama Minang, memang agak jarang. Saya hanya mendengar disini ada IKM, tapi sampai saya meninggalkan tanah Papua, belum pernah saya datang ke IKM. Entahlah, saya juga tidak tahu kenapa saya bisa mis untuk soal ini. Itulah tanda tanyanya. Mempelajari kebudayaan penduduk lokal adalah minat saya dari dulu. Selalu menarik mempelajari kehidupan mereka. Bagaimana intuisi dan pengalaman empiris telah mengajarkan mereka berperilaku dalam hidup. Semua ini mengajarkan kita tentang betapa dunia ini memang sebuah variasi tidak terbatas. Dan disini saya mengamati masyarakat suku kamoro dan amungme. Dua suku yang masuk dalam list 7 suku, yang diberikan perlakuan khusus oleh perusahaan tambang ini. Karena, wilayah konsesi pertambangan adalah wilayah ulayat ketujuh suku ini. Rasanya saya tak perlu lagi menyisakan tanda tanya. Kamoro adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pantai timika. Secara fisik mereka lebih mirip orang asmat (asmat pun kadang disebut juga sebagai kamoro-asmat). Cuma orang kamoro di Timika relatif lebih ramping dibanding orang Asmat. Disini saya juga tahu, kalau ternyata orang asli Papua memiliki perbebedaan fisik antar daerah. Enam bulan disini, saya mulai bisa membedakan asal suku mereka. Jarang meleset. Kalaupun meleset biasanya ketika mengidentifikasi orang Serui dengan orang Biak. Disini rasanya saya sudah harus mulai bertanya. Tak lagi menyimpan tanda tanya. Orang Kamoro adalah masyarakat yang masih suka berburu, mencari ikan di rawa dan usaha budidaya terbatas. Sebagian besar dari mereka masih belum terbiasa bekerja secara teratur di perusahaan. Sehingga, tak heran mereka menempati posisi bawah dalam proporsi penduduk asli papua yang bekerja di Freeport Indonesia. Padahal mereka, berada sangat dekat ke pusat aktivitas perusahaan. Untuk hal ini saya harus bertanya. Tapi tak tahu pada siapa. Tiga puluh tahun perusahaan tambang ini beroperasi di tanah ini, mereka ternyata belum mampu merubah masyarakat sekitar. Apakah tak pernah ada kesungguhan, ataukah memang selama ini mengajarkan dengan cara yang salah. Lalu kemana pula usaha pemerintah pemungut pajak dan royalti tambang? Tak sungguh-sungguh atau salah cara pula kah? Entahlah... Kembali saya punya tanda tanya besar di kepala. :::::::::::::::::::::::::::: (Bagian dari tulisan Jejak Seorang Kampung nan Lagi Kampungan: UBGB)
--------------------------------- Building a website is a piece of cake. Yahoo! Small Business gives you all the tools to get online. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan email yang terdaftar di mailing list ini. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---