===(Bagian dari tulisan Jejak Seorang Kampung nan Lagi
Kampungan: UBGB)===




Beliau adalah warga nagari sebelah. 
Nama nagarinya, Guguak.  Kecamatan
Koto VII, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. 
Sebagian nagari guguk ini dilewati ruas jalan Tanjung
Ampalu-Lintau-Payakumbuh.  Koto nagari
ini terletak agak di dalam, sekitar 2 kilometer dari ruas jalan raya ini.


 


Guguak adalah sebuah nagari yang cukup sederhana.  Jika keberhasilan perantau 
dan jumlah PNS,
dan tingkat pendidikan formal dijadikan indikator keberhasilan sebuah
nagari.  Nagari Guguk bisa dibilang agak
tertinggal.  Tapi, keberhasilan dan
pencapaian lebih dari sekadar itu semua. 
Lagian indikator keberhasilan kawasan yang ada saat ini, lebih dilihat
dari kacamata kaum kapitalis.  Nathan
Setiabudi, seorang rohaniawan kristen malah pernah menggugat definisi SDM yang
berkembang saat ini.  Seseorang hanya
dinilai berdasar potensi kapital yang bisa diraih.


 


Kembali ke sosok Pak Sulan.  Ia
adalah generasi terakhir kehidupan serba bisa, sebelum era spesifikasi
dimulai.  Pak Sulan bisa membuat rumah
pondok, membuat jaring atau jala ikan, membuat perahu juga bisa, memperbaiki
kincir, sepeda rusak pun ia tak akan membawanya ke bengkel.  Memasak pun saya 
rasa, Pak Sulan bisa.  Sebuah pondok di tengah ladang di pinggir
sawah adalah tempat pak Sulan tinggal. 
Aku ingat betul di tahun 1994, ketika aku SMA  aku pernah kesana.  Berdua 
dengan mamakku berjalan kaki empat
kilometer, menyampaikan pesan kakek meminta Pak Sulan datang ke rumah.


 


Pak Sulan adalah tipe orang yang kemana-mana masih memakai sendal jepit, kopiah
beludru hitam lusuh kekuningan, baju berwarna gradasi hitam sampai warna celana
parmuka dengan celana bahan berwarna sama. 
Rokok Pak Sulan adalah cerminan dari isi kantongnya.  Mulai dari Gudang Garam 
Surya sampai pada
rokok daun nipah.


 


Ketika itu aku menyampaikan pesan kakek, meminta waktu beliau untuk datang
ke kampungku.  Minggu depan ada pekerjaan
kincir yang rada ribet.  Memasang
amo-amo.  Ia tak banyak bicara pada
kami.  Hanya mengangguk saja sambil terus
menggulung daun nipah bakal dijadikan rokok. 
Terkesan seperti seorang dukun.


 


Seminggu setelah itu ia datang ke kampung kami.  Berjalan kaki saja.  Zaman itu 
memang belum banyak sepeda motor
ataupun ojek.  Ia datang sore hari, dan
sudah komplit membawa perlengkapan pertukangan beliau beserta pakaian
ganti.  Rencananya ia akan menginap dua
malam di rumah kami.  Beliau masih
berkesan angker dan sombong.  Ia hanya
mau bercerita banyak dengan kakekku ia panggil angku.  Kakekku dan Pak Sulan, 
sibuk bercerita apa
saja.  Kebanyakan mengenai persoalan
ternak dan kehidupan keagamaan.  Mungkin
memang ini topik yang bisa menyatukan kakekku dan Pak Sulan.


 


Besok paginya, kami semua bergerak ke kincir di Sawah Taruko.  Sulan sudah 
ambil posisi menilik-menilik
perumahan kincir kami.  Ia juga mulai
menginspeksi amo-amo, kayu tempat tatakan amo-amo, sama sumbu baru buat kincir
kami.  Lagaknya seperti seorang kepala
teknik sebuah pabrik melihat anak buahnya bekerja.  Aku dan mamakku 
berbisik-bisik, lihat Pak
Profesor Kincir lagi melihat kerja para anak buahnya.  Lalu Pak Sulan mulai 
melakukan pekerjaan, kakekku
memposisikan diri sebagai asisten merangkap mandor.  Sesuai perintah Pak Sulan, 
kami disuruh di
posisinya masing-masing.  Aku kebagian
tugas memegang pancang utama kincir bertiga dengan mamak-mamakku yang lain.


 


Jam makan siang, seluruh amo-amo sudah terpasang di batang besar
tatakannya.  Hanya ujung-ujungnya belum
diikatkan.  Lingkaran kincir belum
sempurna terbentuk.  Dan kami pun mulai
makan siang.  Makan siang di pinggir kali
adalah sebuah kenikmatan.  Penuh canda
tawa dan obrolan sok tau khas orang minang. 
Dan, inilah kali pertama aku melihat Pak Sulan ikut nimbrung bicara
dengan kami yang muda-muda ini.


 


Dari percakapan makan siang, aku melihat betapa Pak Sulan sangat menghargai
keahliannya sebagai ahli kincir air. 
Malah sedikit berlebihan.  Ia
menganggap kincir air adalah penemuan hebat orisinal urang minang.  Orang bule 
pun katanya pernah berdecak kagum
melihat kincir buatannya beroperasi. 
Katanya dulu ada serombongan bule dan orang Jakarta mamudiak batang ombilin dan
sinama.  Asumsi saya sih, orang yang lagi
survei geologi.  Sempat berhenti di
Kincir Pak Sulan, dan katanya bule itu terkagum-kagum melihat cara
kerjanya.  Terutama ketika Pak Sulan
mengerjakan pekerjaan mengganti, batang sumbu kincir.  Tanpa menurunkan 
kincirnya terlebih dahulu.


 


Selesai Pak Sulan bercerita, mamak saya ngoceh pelan.  "Mano pulo ka heran bana 
bule jo kincia ko,
basi se lai bisa dibueknyo tabang".


 


Tapi apapun itu, Pak Sulan adalah orang yang sangat mencintai dan bangga
dengan profesinya.  Walaupun itu hanya
sebatas kincir air.


 


UBGB


 


::::


Model Kincir Air Sinamar & Ombilin Air ini, sudah dibuat versi bajanya
oleh PT Freeport Indonesia di Mile 21, Timika, Papua.  Konon katanya, 
engineernya berkunjung ke
Sumbar untuk mempelajari bentuk kincirnya.





      
____________________________________________________________________________________
Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles. Visit the 
Yahoo! Auto Green Center.
http://autos.yahoo.com/green_center/ 
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke