Assalmualikum WW. Carito pak Mantari Sutan mengingekan ambo jo maso ketek ambo, paralu juo awak bacarito meningek - ingek maso lalu awak.
Ujuang carito dibawah "Mano pulo ka heran bana bule jo kincia ko, basi se lai bisa dibueknyo tabang". Itulah kelengahan tando kelemahan di pemerintahaan awak, nan murah sabananyo bahan bakunyo. dulu dibuek dari kayu, tapi kini dibuek dari basi. ambo bapikie nan maha sabananyo hak Ciptonyo. sahinggo urang lain bisa memoderenisassi, meng afgret, meng Copy hap cipta urang lain . jadi ngak salah kalau urang asiang takagum meliek karajo jo karajinan urang awak . karano dengan maliek Idea urang awak nyo bisa dikembangkan labieh canggih. Mustinyo kalau Di Ombilin mambuek Pambangkik tanago Kincie atau Turbin. Mustinyo pemerintah wakatu mambuek Pambangkik tanago Turbin di Ombilin mambari namo : Pembangkik Listrik tanago Air Pak Sulan. Atau tanago Listrik Amo Amo. Jadi anak Cucu nanti bapikie Baa kok namonyo Tanago Listrik Pak Sulan. Dipajang lo disitu patuang Pak Sulan Kalau di Pemerintahan Orde baru ado namonyo Bukik Suharto, kemudian Rumah sajik Attiin di Taman Mini, nah di Taman Pramuka Cibubur dipasang Patuang Ibu Tiiiin. Tin Tin Tin lai tadanga diawak pai lah caliek sakali - sali kasitu. Sekian Komentar. Wassalam WW. Darius Nurdin ----- Original Message ----- From: Mantari Sutan To: RantauNet@googlegroups.com Sent: Tuesday, June 05, 2007 4:04 PM Subject: [EMAIL PROTECTED] Pak Sulan, Profesor Kincir Kami ===(Bagian dari tulisan Jejak Seorang Kampung nan Lagi Kampungan: UBGB)=== Beliau adalah warga nagari sebelah. Nama nagarinya, Guguak. Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Sebagian nagari guguk ini dilewati ruas jalan Tanjung Ampalu-Lintau-Payakumbuh. Koto nagari ini terletak agak di dalam, sekitar 2 kilometer dari ruas jalan raya ini. Guguak adalah sebuah nagari yang cukup sederhana. Jika keberhasilan perantau dan jumlah PNS, dan tingkat pendidikan formal dijadikan indikator keberhasilan sebuah nagari. Nagari Guguk bisa dibilang agak tertinggal. Tapi, keberhasilan dan pencapaian lebih dari sekadar itu semua. Lagian indikator keberhasilan kawasan yang ada saat ini, lebih dilihat dari kacamata kaum kapitalis. Nathan Setiabudi, seorang rohaniawan kristen malah pernah menggugat definisi SDM yang berkembang saat ini. Seseorang hanya dinilai berdasar potensi kapital yang bisa diraih. Kembali ke sosok Pak Sulan. Ia adalah generasi terakhir kehidupan serba bisa, sebelum era spesifikasi dimulai. Pak Sulan bisa membuat rumah pondok, membuat jaring atau jala ikan, membuat perahu juga bisa, memperbaiki kincir, sepeda rusak pun ia tak akan membawanya ke bengkel. Memasak pun saya rasa, Pak Sulan bisa. Sebuah pondok di tengah ladang di pinggir sawah adalah tempat pak Sulan tinggal. Aku ingat betul di tahun 1994, ketika aku SMA aku pernah kesana. Berdua dengan mamakku berjalan kaki empat kilometer, menyampaikan pesan kakek meminta Pak Sulan datang ke rumah. Pak Sulan adalah tipe orang yang kemana-mana masih memakai sendal jepit, kopiah beludru hitam lusuh kekuningan, baju berwarna gradasi hitam sampai warna celana parmuka dengan celana bahan berwarna sama. Rokok Pak Sulan adalah cerminan dari isi kantongnya. Mulai dari Gudang Garam Surya sampai pada rokok daun nipah. Ketika itu aku menyampaikan pesan kakek, meminta waktu beliau untuk datang ke kampungku. Minggu depan ada pekerjaan kincir yang rada ribet. Memasang amo-amo. Ia tak banyak bicara pada kami. Hanya mengangguk saja sambil terus menggulung daun nipah bakal dijadikan rokok. Terkesan seperti seorang dukun. Seminggu setelah itu ia datang ke kampung kami. Berjalan kaki saja. Zaman itu memang belum banyak sepeda motor ataupun ojek. Ia datang sore hari, dan sudah komplit membawa perlengkapan pertukangan beliau beserta pakaian ganti. Rencananya ia akan menginap dua malam di rumah kami. Beliau masih berkesan angker dan sombong. Ia hanya mau bercerita banyak dengan kakekku ia panggil angku. Kakekku dan Pak Sulan, sibuk bercerita apa saja. Kebanyakan mengenai persoalan ternak dan kehidupan keagamaan. Mungkin memang ini topik yang bisa menyatukan kakekku dan Pak Sulan. Besok paginya, kami semua bergerak ke kincir di Sawah Taruko. Sulan sudah ambil posisi menilik-menilik perumahan kincir kami. Ia juga mulai menginspeksi amo-amo, kayu tempat tatakan amo-amo, sama sumbu baru buat kincir kami. Lagaknya seperti seorang kepala teknik sebuah pabrik melihat anak buahnya bekerja. Aku dan mamakku berbisik-bisik, lihat Pak Profesor Kincir lagi melihat kerja para anak buahnya. Lalu Pak Sulan mulai melakukan pekerjaan, kakekku memposisikan diri sebagai asisten merangkap mandor. Sesuai perintah Pak Sulan, kami disuruh di posisinya masing-masing. Aku kebagian tugas memegang pancang utama kincir bertiga dengan mamak-mamakku yang lain. Jam makan siang, seluruh amo-amo sudah terpasang di batang besar tatakannya. Hanya ujung-ujungnya belum diikatkan. Lingkaran kincir belum sempurna terbentuk. Dan kami pun mulai makan siang. Makan siang di pinggir kali adalah sebuah kenikmatan. Penuh canda tawa dan obrolan sok tau khas orang minang. Dan, inilah kali pertama aku melihat Pak Sulan ikut nimbrung bicara dengan kami yang muda-muda ini. Dari percakapan makan siang, aku melihat betapa Pak Sulan sangat menghargai keahliannya sebagai ahli kincir air. Malah sedikit berlebihan. Ia menganggap kincir air adalah penemuan hebat orisinal urang minang. Orang bule pun katanya pernah berdecak kagum melihat kincir buatannya beroperasi. Katanya dulu ada serombongan bule dan orang Jakarta mamudiak batang ombilin dan sinama. Asumsi saya sih, orang yang lagi survei geologi. Sempat berhenti di Kincir Pak Sulan, dan katanya bule itu terkagum-kagum melihat cara kerjanya. Terutama ketika Pak Sulan mengerjakan pekerjaan mengganti, batang sumbu kincir. Tanpa menurunkan kincirnya terlebih dahulu. Selesai Pak Sulan bercerita, mamak saya ngoceh pelan. "Mano pulo ka heran bana bule jo kincia ko, basi se lai bisa dibueknyo tabang". Tapi apapun itu, Pak Sulan adalah orang yang sangat mencintai dan bangga dengan profesinya. Walaupun itu hanya sebatas kincir air. UBGB :::: Model Kincir Air Sinamar & Ombilin Air ini, sudah dibuat versi bajanya oleh PT Freeport Indonesia di Mile 21, Timika, Papua. Konon katanya, engineernya berkunjung ke Sumbar untuk mempelajari bentuk kincirnya. -------------------------------------------------------------------------------- Finding fabulous fares is fun. Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel bargains. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan email yang terdaftar di mailing list ini. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---