Assalmualikum  WW.
Bp.Arnoldison.
Pagi ini Ambo betul2 terharu dan menangis samapi ahkir carito membaco kisah 
yang anda caritokan  "Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!. Ambo tabao arus 
caritonyo. arwah ambo taraso tabang jaueh ka kampuang halaman taringek ayah jo 
mande na lah tiado samajak 22 tahun nan lah barlalu, Semoga Arwah urang tuo2 
kito ditarimo disisi Allah dan dilapangkan  kuburannyo semoga kito berkumpul 
kelak di Sorga bersamo urang tu2 kito. Amiiiin
yarobulngalamiiiin.
Tapi rasonyo kato2 kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu
 masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak
 berarti lagi.

Sapangatahuan ambo Hanyo 3(tigo) hal yang kito bao mati nanti :
1. Amal jariah
2. Ilmu yang bermanfaat dibarikan ka urang lain.
3. Anak yang Sholeh nan salalu mando"akan kaduo urang Ibu / Bapaknyo.

Ambo mangartikannyo anak nan barbakti kapado Ibu /Bapak baiek samaso beliau 
hidup maupun setelah beliau meninggal dunia. Bukankah  do'a anak nan sholeh 
Allah manjajikan akan di kabulkan ???
Sabaieknyo kito mambacokan do'a Alloahummafirgli  waliawalidaina warhamhuma  
kamaarobbayani shoghiroah. Jadi ngak usah baputuih aso kito tidak bisa mambaleh 
jaso urang tu kito
Semoga bapak dan dunsanaka kasadonyo bisa maluruihkan, Mungkin Bapak Suheimi 
khsuheimi labieh tau. mahon Bp.Suheimi kalau lai bisa dipajaleh .

Wassalam WW.
Darius Nurdin.

From: "Arnoldison" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <RantauNet@googlegroups.com>
Sent: Thursday, June 07, 2007 10:19 PM
Subject: [EMAIL PROTECTED] Renungan : Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!


> 
> Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!
> 
> Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu
> mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk
> belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun
> lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5
> orang bergiliran menjenguknya.
> 
> Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di
> Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang
> lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya
> mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.
> 
> "Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu
> diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah
> mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta 
> diantar
> balik. Ada-ada saja alasannya.
> 
> Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan
> sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan
> bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta
> pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, 
> ayah.
> tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akan
> antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah
> ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah."
> katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah
> berkali-kali pulang naik bus sendirian.
> 
> "Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu
> masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak
> berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya
> tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang
> sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.
> 
> Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat
> mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap
> kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus
> membisu.
> 
> Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya
> penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,"
> katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin
> untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.
> 
> Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus
> berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap
> agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah.
> Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya
> kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara
> sepatah kata pun.
> 
> Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.!
> Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya
> Pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya
> memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke
> mobil.
> 
> Saat  melewati  halaman  stasiun,  saya melihat tumpukan kue pisang di
> atas  meja  dagangan  dekat  stasiun.  Langkah  saya lalu terhenti dan
> teringat  ayah  yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke
> kampung,  ia  selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak
> minta apa pun.
> 
> Saya  lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu.
> Ingat  pekerjaan  di  kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan,
> ingat  Istri  yang  berada  di  kantornya.  Malam itu sekali lagi saya
> mempertahankan  ego  saya  saat  istri  meminta  saya menelpon ayah di
> kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan
> bus.  Malam  berikutnya,  istri  bertanya  lagi apakah ayah sudah saya
> hubungi.  "Nggak  mungkin  belum  tiba," jawab saya sambil meninggikan
> suara.
> 
> Dini  hari  itu,  saya  menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan.
> "Ayah sudah tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit
> yang  lalu  setelah  mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu
> meminta  saya  agar  segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai
> dengan  gagang  telepon  masih di tangan. Istri lalu segera datang dan
> bertanya, "Ada apa, bang?"
> 
> Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata,
> 
> "Ayah sudah tiada!!"
> 
> Setibanya  di  kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat
> Itu  saya  sadar  betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue
> pisang,  kata-kata  saya  kepada  ayah,  sikapnya  sewaktu  di  rumah,
> kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.
> 
> Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu.
> Saya  sangat  merasa  kehilangan  ayah yang pernah menjadi tempat saya
> mencurahkan  perasaan,  seorang  teman yang sangat pengertian dan ayah
> yang  sangat  mengerti  akan  anak-anaknya.  Mengapa  saya tidak dapat
> merasakan  perasaan  seorang  tua yang merindukan belaian kasih sayang
> anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.
> 
> Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya
> bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak
> dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat
> akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan
> diri ini. 
> 
> Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu
> masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak
> berarti lagi.
> 
> Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
> Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.
> 
> 
> Unknown Author
> 
> 
> 
> 
> >
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke