Cukup bijaksana uraian Mamanda St. Lembang, namun ada beberapa hal yang perlu 
saya luruskan :
  Tidak ada keharusan bagi urang sumando untuk bekerja di ulayat kaum istrinya, 
bila dia telah memiliki modal untuk memulai kehidupan. Hikmah adat dalam hal 
ini adalah : bila pasangan itu memang belum berkemampuan, alah ado ganggam nak 
bauntuak, hiduik nak bapangadok.
  Di atas tanah pusako/pangkatuo, urang sumando bekerja secara "profesional", 
sesuai dengan jerih upaya yang dilakukannya. Sebagian dapat disisakan untuk 
kaum, itupun kalau bersisa. Hasil usaha itu dapat menjadi kekayaan dan dapat 
jatuh hukum zakat dan faraidl, namun tanah pangkatuo tentunya tidak. Kerbau 
tidak termasuk pusako tinggi, dan bisa menjadi kekayaan. Urang sumando tetap 
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
  Pertanyaannya : dimanakah aturan syarak yang dilanggar ?
   
  Dari dulu sampai sekarang saya kurang sepaham dengan istilah "pusako rendah", 
sehingga tidak pernah menggunakan istilah itu dalam praktek hukum adat, dan 
terbukti telah menimbulkan banyak kerancuan.
   
  Sertifikat tanah ulayat karenanya harus dilaksanakan oleh KAN, dan 
diatasnamakan pada penghulu andiko masing-masing. Pemecahan sertifikat karena 
pangkatuo dapat dilakukan untuk kelompok kaum di bawah penghulu andiko 
tersebut. Jadi salah bila langsung diatasnamakan pribadi-pribadi. Penyerahan 
pangkatuo biasanya dan seharusnya dilakukan melalui upacara adat, sehingga 
dapat disaksikan banyak orang secara bakarilahan.
   
  Kewajiban urang sumando mendirikan rumah di tanah pangkatuo semata-mata untuk 
kepentingan anak-anaknya, yang nantinya akan menjadi mamak dan bundo kanduang 
di tanah tersebut. Biasanya rumah ini tidak perlu dibuat "bermegah-megah" yang 
dapat melambangkan kekayaan dan kejayaan. Pada umumnya urang sumando cenderung 
membangun atau merenovasi rumah "ibu kandungnya" dulu sebelum "mengembangkan" 
rumah anak-anaknya.
   
  Bilamana hal seperti ini mamanda anggap sebagai matrilineal, sungguh jauh 
panggang dari api. Mohon maaf sebelumnya. Wassalam.


Muhammad Dafiq Saib <[EMAIL PROTECTED]> wrote:    Assalaamu'alaikum wa 
rahmatullaahi wa barakaatuhu
   
  Menurut cerita dan data yang kita terima, beberapa generasi yang lalu, mamak 
laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap pengurusan ekonomi rumah gadang. 
Mamak yang mengurus sawah sampai padi terbawa pulang untuk dimakan oleh 
kemenakan. Sesampai padi di rumah, mamak tidak lagi berkuasa, pengurusan dan 
penguasaan padi hasil sawah di pegang oleh nek tuo. Mamak mendapat uang untuk 
pembeli rokok dari nek tuo. Ketika dia pergi ke rumah istrinya, disana dia 
tidak punya tanggung jawab apa-apa yang menyangkut urusan ekonomi. Karena di 
tempat istrinya, ada pula mamak rumah yang mengurus segala-galanya itu. 
Kelemahan dari tata cara seperti ini secara Islam adalah minim atau tidak 
adanya tanggung jawab materil ayah kepada anak-anak. Seorang laki-laki yang 
adalah mamak itu pada dasarnya tidak mempunyai harta, selama dia bekerja 
mengurus sawah ladang saja. Kerbaupun termasuk harta inventaris dari sistim 
adat berpusaka tinggi. Maka ketika dia meninggal, dia tidak meninggalkan harta
 waris apapun untuk anak-anaknya yang seharusnya diturunkannya secara syarak. 
Maka semua harta turunlah secara melereng, melaui aturan turunnya harta pusaka 
tinggi.
   
  Hanya saja ketika anak gadis akan dikawinkan, karena menurut aturan Islam 
wali nikah adalah ayah kandung, orang Minang mematuhinya. Ayahlah yang jadi 
wali nikah, bukan mamak yang menikahkan kemenakan. Sesudah berlangsung 
pernikahan, orang sumando, yang juga mamak di rumah dunsanak perempuannya, 
melanjutkan kesibukan di rumah dunsanaknya itu.
   
  Lalu sedikit demi sedikit berubah kesibukan laki-laki Minang. Mulai mereka 
menggalas. Mulai mereka jadi pegawai. Mulai mereka melihat ke kiri dan ke kanan 
dimana orang lain hidup berkeluarga dengan istri dan anak-anaknya. bertanggung 
jawab mengurus rumah tangganya itu, bukan lagi mengurus sawah di rumah dunsanak 
perempuannya. Ketika mereka mula-mula pergi merantau sendiri, pergi babelok, 
pulang sekali setahun, menurut cerita pula, masih belum seratus persen mereka 
mengurus anak dan istri. Masih banyak yang terlibat dalam mengurus urusan adik 
perempuan. Menebuskan sawah pusako. memperbaiki rumah gadang yang ketirisan,  
tapi tanggung jawab kepada istri mulai pula timbul pelan-pelan. Balik pula ke 
rantau, terlihat lagi orang lain hidup berkeluarga dengan anak dan istri, 
akhirnya timbul pula keinginan untuk membawa istri ke rantau, boleh 'sama pula 
kita dengan orang lain'. Kalau demikian halnya, tanggung jawab kepada istri 
tentu tidak bisa main-main lagi. Mulai dibangun rumah
 tangga. Mula-mula mungkin menyewa rumah dulu. Lama-lama timbul pula keinginan 
untuk memiliki rumah sendiri.
   
  Pengaturan harta pusaka menjadi pusaka tinggi dan pusaka rendah semakin jelas 
jadinya. Pusaka rendah adalah harta pencarian (bukan harta dari hasil sawah) 
apakah itu harta yang didapat dari hasil berdagang ataupun dari gaji sebagai 
pegawai. Tanggung jawab lebih terarah kepada anak kandung. Anak sekarang 
dipangku digedangkan. Diuruskan urusannya dari a sampai z. Tanggung jawab tidak 
lagi sekedar menjadi wali nikah ketika mengawinkan anak perempuan, tapi 
termasuk membiayai 'alek' anak gadis tersebut. 
   
  Namun kemenakan tentulah di ingat juga. Kemenakan dibimbing, ditunjuk - 
diajari. Diuruskan dimana perlu. Betul bahwa orang sumando, atau ipar kita juga 
sudah mengambil alih tanggung jawab pula mengurusi kemenakan. Namun hubungan 
kekeluargaan dengan adik dan kemenakan tentu harus tetap terpelihara. Tetap 
santun menyantuni.
   
  Karena laki-laki sekarang berharta, sebab dia berhasil dengan perdagangannya, 
atau berhasil dengan pekerjaannya, maka ada yang akan diwariskan. Pewarisan ini 
dilakukan dengan cara 'pusako randah', sesuai dengan syarak. Harta itu 
diturunkan kepada anak, bukan kepada kemenakan. Begitu sekarang. Jadi sudah 
berubah dari cara-cara lama, ketika laki-laki tidak berharta, ke cara sekarang 
dimana laki-laki berpunya. Orang laki-laki seperti ini sekarang tidak 
mengusik-usik lagi harta tua di rumah dunsanak perempuannya.
   
  Tapi ada lagi kendala baru, yang sedang agak marak saat ini di kampung, yang 
perlu pula dipikirkan penanganannya agar jelas. Pertama, seperti dibawah thread 
lain, mulai populernya sekarang orang perempuan mensertifikatkan harta tua 
pusako tinggi yaitu sawah, tanah perumahan berikut parak. Ketika 
disertifikatkannya tanah ini, sepertinya makin kuat cengkeraman 
'pribadi-pribadi', makin longgar cengkeraman 'adat'. Setelah itu nanti 
bagaimana dia akan diwariskan?
   
  Bertanbah rancu sedikit lagi, ketika orang sumando membuatkan rumah di tanah 
pusako anak-anaknya (yang adalah kemenakan-kemenakan awak). Tegaknya di tanah 
pusako, rumahnya biaya rang sumando. Bagaimana kepemilikannya nanti, ketika 
rumah itu akan diwariskan oleh urang sumando? Tentu tidak akan mungkin sebagai 
harta pusaka rendah, karena tegaknya di tanah adat, pusako tinggi.
   
  Dari uraian di atas, mudah-mudah-an terlihat bahwa dulu sistim matrilineal 
itu sangat kental, ketika tanggung jawab ekonomi di pikul sepenuhnya oleh 
mamak. Dia hanya tidak cukup pekat sehingga masih menyisakan ruang bagi ayah 
untuk menjadi wali nikah anak gadisnya. Namun dengan perkembangan zaman 
sekarang ini, rasanya hampir mustahil menemukan mamak yang masih memegang pola 
lama dalam mengurus harta sawah ladang dunsanak perempuan seperti dulu itu. 
Sekarang ayahlah yang bertanggung jawab penuh dalam hal kepentingan urusan 
keluarga. Artinya sistim matrilineal itu sudah bergeser ke arah sistim 
patrilineal, khusus dalam urusan mengurus keluarga.
   
  Dalam sistim kekerabatan, dimana ayah mempunyai suku dalam tatanan 
keminangkabauannya, yang tidak sama dengan anak dan istrinya tetap bertahan. 
Seorang mamak tetap masih diangkat dan diperlukan untuk jadi kapalo warih atau 
penghulu adat, sebagai seorang yang adalah 'pergi tempat bertanya - pulang 
tempat berberita' bagi kemenakan. Dia harus menjalankan kehidupannya sebagai 
seorang laki-laki yang memangku anak dan membimbing kemenakan.
   
  Wallahu a'lam
   
  Wassalamu'alaikum

Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
    Saya juga ingin menanggapi sedikit, hanya pertanyaan saja:
  - Apakah hal-hal yang menurut "Islam/AlQuran/Arab" itu dapat disebut sebagai 
patrilineal?
  - Apakah sistem yang berlaku di Minangkabau itu dapat disebut matrilineal?
   
  Terima kasih.



    St. Lembang Alam
  http://lembangalam.multiply.com
  http://360.yahoo.com/stlembang_alam

  

       
---------------------------------
Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke