ANALISIS EKONOMI
Mengapa Indonesia Ikut Terkena?

MIRZA ADITYASWARA

Minggu lalu indeks bursa saham Amerika Serikat anjlok. Akibatnya terasa di
seluruh dunia. Kurs rupiah melemah dari Rp 9.000 ke Rp 9.300, imbal hasil
(yield) surat utang negara melejit 30 basis poin ke 9,3 persen, imbal hasil
surat utang negara (dollar) naik 24 basis poin ke 6,8 persen dan indeks
bursa saham Jakarta jatuh.

Gejolak itu disebabkan oleh jatuhnya pasar surat utang subprime mortgage di
Amerika Serikat. Untuk memudahkan penjelasan, subprime mortgage securities
adalah surat utang yang ditopang jaminan kredit kepemilikan rumah (KPR) yang
profil debitornya memiliki kemampuan membayar yang rendah.

Melemahnya ekonomi Amerika Serikat menyebabkan meningkatnya persentase gagal
bayar debitor KPR segmen tersebut. Akibatnya, harga surat utang subprime
mortgage jatuh. Kejatuhan harga surat utang subprime mortgage membawa
kerugian bagi bank dan perusahaan pengelola dana (fund management) yang
membeli surat utang tersebut. Akibatnya, harga saham perbankan di Amerika
Serikat tergerus.

Pertanyaan diajukan seorang teman, mengapa kesalahan yang dilakukan investor
di Amerika Serikat, tetapi pasar keuangan Indonesia terkena dampaknya. Sudah
sering kita alami gejolak pasar keuangan di negara sedang berkembang hampir
selalu berdampak negatif ke Indonesia, tetapi kali ini gejolak di pasar
keuangan negara maju juga berdampak negatif ke Indonesia. Teman tadi
bertanya, mengapa nasib kita tersandera oleh pasar keuangan internasional?

Inilah dampak dari globalisasi pasar keuangan. Ternyata yang memiliki surat
utang subprime mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tetapi ada
juga perbankan di Australia, Singapura, Taiwan, China, atau di India.
Perbankan di benua lain pasti juga memiliki eksposur ke surat utang subprime
mortgage'. Akibatnya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh.
Berhubung psikologi pasar selalu cenderung ekstrem, banyak pelaku pasar
percaya bahwa meruginya perbankan besar akan berdampak kepada pelambatan
laju pertumbuhan kredit, pelambatan kegiatan ekonomi, dan seterusnya.
Akibatnya, harga saham nonperbankan di seluruh dunia pun jatuh.

Menjawab pertanyaan penulis, beberapa bank di Indonesia mengatakan,
peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang
berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang
subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara
tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan
di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi
harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor
pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun,
imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan
minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Selain fluktuasi harga minyak, dalam enam bulan ke depan ada sumber
ketidakstabilan baru, yaitu naiknya inflasi di China. Selama ini
barang-barang China yang murah membawa turun inflasi dunia. Tahun lalu
inflasi China di bawah 2 persen, tetapi bulan lalu sudah naik ke 4 persen.
Ada kekhawatiran bahwa inflasi di China bisa meningkat terus ke 6-8 persen
(terutama didorong inflasi sektor makanan) sehingga akan membawa naik
inflasi dan suku bunga dunia.

Investor di pasar keuangan dunia saat ini harus lebih berhati-hati karena
tampaknya gubernur bank sentral Amerika Serikat, Ben Bernanke, tidak mudah
bermurah hati melakukan intervensi menstabilkan pasar keuangan. Selama
gejolak pasar minggu lalu, Bernanke diam saja, tidak berkomentar. Tampaknya
Bernanke percaya betul pada paham bahwa investor harus bertanggung jawab
terhadap keputusan investasi yang diambilnya sehingga bank sentral tidak
perlu tergesa-gesa bertindak sebagai katup pengaman sistem keuangan (lender
of the last resort).

*Investor domestik*

Apakah Indonesia bisa terbebas dari gejolak pasar keuangan internasional?
Tidak bisa, karena investor asing adalah investor utama di pasar saham,
pasar obligasi, dan pasar valuta asing. Apakah kita memerlukan investor
asing di pasar modal? Tentu saja sangat perlu karena institusi domestik dan
pemodal ritel belum cukup kuat untuk membeli semua surat utang negara yang
diterbitkan negara, surat utang yang diterbitkan korporasi, dan melakukan
injeksi modal saham perusahaan domestik. Yang harus kita lakukan adalah
membangun kekuatan investor domestik, seperti asuransi, dana pensiun, dan
reksa dana. Harus ada keberpihakan, misalnya dengan insentif pajak.

Membangun investor institusi domestik tidak bisa dalam waktu singkat karena
ini menyangkut tingkat pendapatan dan pengetahuan masyarakat. Membuat semua
orang sadar atas manfaat asuransi membutuhkan waktu yang panjang.

Bagaimana dengan pasar valuta asing, apakah bisa dibuat lebih stabil? Suplai
valuta asing harus ditambah dan permintaannya harus dikurangi. Ekspor harus
terus ditingkatkan. Eksportir harus diberi insentif agar selalu melakukan
konversi hasil ekspornya ke rupiah. Modal asing dalam bentuk penanaman modal
langsung (PMA) harus terus digalakkan. Arus masuk PMA adalah hal yang sudah
lama tak kita dengar di Indonesia.

Kita sebaiknya mengenakan disinsentif terhadap pembelian SBI oleh investor
portofolio asing karena SBI adalah instrumen moneter, bukan instrumen
investasi. Arahkan investor portofolio asing untuk membeli surat utang
negara bukan SBI. Suku bunga SBI harus berada di bawah suku bunga penjaminan
deposito.

Inflasi harus diturunkan di bawah 5 persen sehingga investor asing yang
masuk ke Indonesia bukanlah investor jangka pendek, yang mencari selisih
bunga, tetapi investor jangka panjang yang percaya kepada pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Inflasi yang rendah akan memupuk kepercayaan penabung
domestik terhadap daya beli mata uang rupiah sehingga jumlah tabungan dollar
akan menurun. Inflasi yang rendah akan menurunkan suku bunga sehingga
debitor Indonesia akan mengurangi pinjaman dollar dari luar negeri
(pembayaran utang luar negeri adalah sumber fluktuasi kurs rupiah).

Impor harus dikurangi, artinya Indonesia harus bisa memproduksi barang yang
selama ini diimpor, terutama barang konsumsi, produk pertanian, dan produk
manufaktur. Ini berarti, efisiensi di dalam negeri harus ditingkatkan,
termasuk produktivitas buruh dan penghilangan ongkos yang tidak perlu. Angka
makroekonomi seperti rasio utang luar negeri, rasio defisit anggaran
pemerintah, perbankan yang sehat harus terus dijaga. Dan terakhir, yang
terpenting, stabilitas politik dan keamanan sebagai faktor utama untuk
tercapainya stabilitas pasar keuangan.

*Mirza Adityaswara* *Analis Perbankan dan Pasar Modal *

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, bulan Juni 2008.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mengikuti Tata Tertib.
- Email attachment, tidak dianjurkan! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim 
melalui jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
==
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Reply via email to