Indang yang Nyaris Terbenam

OLEH Nasrul Azwar
Mentari  baru  saja  menyurukkan wajahnya. Tak lama berselang, temaram
cahaya membungkus nagari yang di tengahnya tampak dari jejauhan sebuah
surau  berdiri tegap yang usianya mungkin sama dengan usia nagari itu.
Orang-orang  mengalir  seolah  tertumpah ke sana. Suara bilal melantun
dari pengeras suara yang kurang terawat. Magrib pun masuk.

Malam  itu,  beberapa  waktu lalu, masyarakat Nagari Padang Bintungan,
Kecamatan  Nan  Sabaris,  Kabapaten  Padangpariaman,  Provinsi Sumatra
Barat sekitar 60 km dari Kota Padang sejak Magrib telah memadati surau
yang tidak demikian besar itu. Masyarakat dari kampung yang berdekatan
juga  sudah  tampak  berdatangan:  Ada  yang  sengaja singgah di lapau
(kedai)  dan ada pula yang langsung menuju surau. Laki laki-perempuan,
tua-muda, dan anak-anak, semua satu tujuan: melihat kesenian baindang.

Nagari  Padang  Bintungan  memang  sedang berhelat. Mereka menyebutnya
Alek  Nagari.  Malam itu akan tampil seni indang. Ada indang tigo sagi
(tiga  segi) yang akan bermain indang, yaitu indang Sikabu dari Nagari
Lubuak  Aluang,  Toboh  Parupuak  dari Nagari Toboh Gadang, dan indang
Bayua dari Nagari Pauh Kamba. Semuanya dari Kapupaten Padangpariaman.

Malam  terus  bergerak,  tak  lama terdengar dari pengeras suara surau
tadi dendang pemain indang: Piaman tadanga langang, baindang mangkonyo
rami,  tuan  kanduang  tadanga  sanang,  bao  tompanglah  badan  kami.
(Pariaman   terdengan   lengang,   berindang  makanya  ramai,  saudara
terdengar senang, bawa jua badan kami).

Demikianlah  masyarakat  kecil  merayakan  sekaligus  merawat seni dan
budayanya  dengan  cara  mereka  sendiri.  Tak  ada seremonial seperti
festival-festival seni yang digelar di kota-kota. Tak ada pejabat yang
berpidato dengan janji melestarikan budaya dan seni. Mareka menghidupi
seni  dan budaya itu berangkat dari ketulusan hati dan ikhlas. Tak ada
tendensi  material.  Walau  eksistensi  seni  tradisi itu berada dalam
ancaman  organ tunggal, tapi ia tetap kokoh. Karena masyarakat sebagai
pemiliknya, menjaga dan menumpahkan perhatian.

 Seni  indang  ini  akan  tetap  hidup  di  tengah  masyarakat,  walau
pemerintah  kurang  menyokongnya.  Indang  berfungsi memberikan ajaran
agama  Islam,  sopan  santun,  dan nilai-nilai adat. Anak nagari terus
bermain  di  surau-surau  dan  menjaganya agat seni mereka tak punah, 
kata  H  Umar  Datuak  Alaiyah  Cumano,  salah  tetua indang dan tokoh
masyarakat Nagari Padang Bintungan.

Secara  historis  disebutkan bahwa kehadiran kesenian indang merupakan
manifestasi pendidikan surau dan pengaruh budaya Islam di Minangkabau.
Selain  indang, seni tradisi lainnya, seperti zikir, barzanji, tabuik,
salawaik, dan dabuih, juga tak lepas dari pengaruh Islam.

Kesenian  indang  merupakan  hasil   perkawinan  kultural  Minangkabau
dengan  peradaban Islam sekitar abad-14. Peradaban Islam diperkenalkan
oleh  pedagang-pedagang  Islam  yang  masuk  dari Aceh melalui pesisir
barat Pulau Sumatra dan selanjutnya membiak di Ulakan-Pariaman. Proses
perkawinan  kultural  yang  damai  itu  tampak  pada  nyanyian indang,
seperti  maqam,  iqa at, avaz, dan musik-musik gambus. Maqam merupakan
ciri yang dapat menggambarkan tangga nada, struktur interval, ambitus,
dan  sebagainya.  Iqa at adalah ide tentang modus-modus atau pola-pola
ritme  pada  musik  Islam,  seperti pola-pola ritme yang terdapat pada
musik  gambus.  Avaz  adalah  ciri musik yang dipergunakan dalam musik
Islam  dalam  bentuk  melodi  yang bergerak secara bebas tanpa birama.
Kemudian  modus-modus  itu  berpadu  dengan  budaya  musik Minangkabau
(Ediwar Chaniago, 2003).

Pada  awal  perkembangannya,  seni  musik indang merupakan salah salah
instrumen  pengembangan  ajaran  Islam di tengah masyarakat. Isian dan
muatan dalam musik indang juga terasa pada cara-cara berzikir, mengaji
sifat  Tuhan,  riwayat  Nabi,  dan lain sebagianya. Pengajian biasanya
dinyanyikan  sembari  duduk bersila dan mengoyangkan badan ke kiri, ke
kanan,  ke  depan,  dan  ke  belakang.  Pengajian  yang  dilagukan itu
diiringi  dengan instrumen rapa i (rebana ukuran kecil). Pada awalnya,
seni  indang  mengunakan rapa i ukuran besar, tapi karena perkembangan
seni  ini  terus  berubah, guru-guru di surau menukarnya dengan ukuran
kecil. Tujuannya agar anak indang lebih lincah dan cepat dalam menari,

Pertunjukan    kesenian    indang   dibagi   atas   kelompok-kelompok.
Masing-masing  kelompok  terdiri  dari  7  orang  pemain yang semuanya
laki-laki.  Pemain  duduk  secara  bersyaf  bersila yang sangat rapat,
sambil  memegang  satu  buah  rapa i,  berpakaian  rapi dan mengenakan
sarung.  Tujuh  orang  ini  disebut  anak indang. Anak indang dipimpin
seorang guru yang disebut tukang zikir (tukang dikie).

Dalam  alek nagari yang digelar di Nagari Padang Bintungan itu, tampil
tiga  kelompok  kesenian  indang dari nagari yang berbeda. Mereka akan
bertanding  selama  dua malam. Sebelum memulai, masing-masing kelompok
mengambil posisinya dengan membentuk segi tiga. Masing-masing kelompok
duduk  bersila dan berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada
paha  kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya-jawab atau
sindir-menyindir  berbagai  persoalan  yang  terjadi  saat pertunjukan
berlangsung.  Satu  kali penampilan indang ketiga kelompok ini disebut
sapanaiak.

Jumlah  pemain  indang setiap kelompok sekitar 8 hingga 22 orang. Satu
orang tukang zikir dan lainnya yang berjumlah ganjil duduk berderet di
depan  tukang  zikir itu. Dalam seni indang mereka ini disebut, tukang
aliah,  tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang. Selain itu, ada
pula  tuo  indang.  Tuo  indang  bertugas  menjaga keselamatan anggota
pemain  secara  keseluruhan  baik lahir maupun batin. Setiap penyajian
indang  selalu  dimulai  dengan  basmalah berdoa untuk menyatukan diri
menghadap  Allah  SWT. Maka dengan itu pula, pemain indang harus mampu
memaparkan dan sekaligus menjalankan ajaran Islam dengan benar.

Banyak yang berpedapat bergesernya keberadaan kesenian indang di surau
di  Minangkabau disebabkan masuknya sistem pendidikan sekuler di ranah
Minang.  Surau  tidak  lagi satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk
mengecap   pendidikan.  Hadirnya  madrasah  dan  sekolah-sekolah  yang
mengadopsi  kurikulum  Barat,  secara  drastis menggeser fungsi surau.
Selanjutnya menekan keberadaan kesenian indang dan juga seni lainnya.

Kesenian indang yang semula sarat dengan sajian yang bernapaskan syiar
Islam,  kisah  Nabi, dan juga pujian pada Allah SWT, mencoba menggeser
muatannya  pada  masalah  adat  istiadat,  sosial,  politik,  dan juga
ekonomi.   Seni   indang  menyesuaikan  dirinya  dengan  kondisi  yang
berkembang.  Namun,  akibat  penyesuaian  itu  muncul  dua  kubu: kubu
pertama  tetap  mempertahankan  indang  sesuai  dengan napas Islam dan
pertunjukannya   di   surau-surau,   sedangkan  yang  kedua  melakukan
pertunjukan  di  luar surau dan kerap bermuatan hal-hal yang berkaitan
dengan keduniawiaan.

Munculnya  dua  pola  indang  itu tidak serta merta menjadi dikotomik,
malah    memperkaya   seni   di   wilayah   yang   membesarkannya   di
Padangpariaman.  Dan kesenian indang akhirnya menuju perkembangan yang
signifikans. Hal ini dapat dilihat banyaknya kelompok indang di nagari
yang  tumbuh.  Alek  nagari  yang  digelar  masyarakat  nagari  Padang
Bintungan   diikuti   12  kelompok  indang  dari  berbagai  nagari  di
Padangpariaman.

Tampaknya,  kesenian  indang  bukan  jenis  kesenian yang kaku. Semula
indang  bergerak  di  surau-surau kini telah masuk ruang-ruang publik,
dan  sudah  melintas  ke daerah-daerah sekitar, seperti Provinsi Riau,
Sumatra Utara, dan lain sebagainya.

Kini,  indang yang terus bergerak di nagari-nagari Padangpariaman, dan
masyarakat terus merawatnya dengan baik, dapat dimaknai sebagai sebuah
perjalanan  kultural yang  berhasil . Akan tetapi, soal akan jadi lain
ketika  pemerintah  daerah (terutama Dinas Pariwisata) memaknai indang
sebagai  kekayaan  tradisi  yang  harus  dijual  ke  hotel-hotel untuk
konsumsi  wisatawan  lokal  atau  mancanegara. Kecenderungan kebijakan
dinas-dinas  pariwisata di seluruh Indonesia, tampaknya memang seperti
itu.

Kesenian  indang,  dan  juga  seni tradisi lainnya yang ada di seluruh
pelosok  Tanah Air, bisa mengalami nasib  sial  dan hidup dalam negeri
yang  serakah  mengisap  darah  seni  tradisi  itu. Fenomena yang kian
berkembang  di  Provinsi  Sumatra Barat, terutama di tingkat kaputaten
dan  kotanya,  seni  tradisi  dibina, diberi bantuan untuk kepentingan
kepariwisataan.  Termasuk seni tradisi indang. Kesenian indang dikemas
untuk  selera  penikmatnya  yang  baru, pertunjukan disesuaikan dengan
selera  wisatawan  itu,  dan ini terbukti, misalnya, ketika Pemerintah
Provinsi  Sumatra  Barat  menggelar Pekan Budaya Sumatra Barat pada 27
November  3 Desember 2006.

Pada  Pekan  Budaya  itu,  semua  kabupaten  dan kota di Sumatra Barat
mengirimkan  kontingen  kesenian  mereka.  Dengan pemikiran yang biasa
merasuki  para  birokrat  kebudayaan,  kesenian  tradisi dihadirkan ke
tengah-tengah  khalayak  yang dinilai sebagai wisatawan, dengan kurang
memahami  konsep  dan  estetika kesenian tradisi itu sendiri. Padahal,
kesenian  tradisi  memiliki  konsepsi  estetika dan kosmos tersendiri,
yang  dibutuhkan  dalam  kehidupan  keseniannya.  Perbedaan  ini  akan
terlihat  secara  nyata  bila kita melihat kesenian tradisi yang hidup
dan  ditampilkan di daerah dan masyarakat pendukungnya dengan kesenian
tradisi  yang  ditampilkan  dalam  helat  di  hotel-hotel  atau  ruang
lainnya.

Jalan  tengahnya  tentu saja tetap ada. Helat seni tradisi tetap dapat
dibawa  dan  masuk  dalam  ruang  di  luarnya,  namun  ini membutuhkan
penanganan  dan  kearifan  pada  seni  tradisi  itu  sendiri. Birokrat
kebudayaan,  dan  pemerintah secara umum, mesti memahami realitas ini.
Konsepsi  kebudayaan  dan pariwisata dalam sebuah relasi yang harmonis
harus dibangun dengan tanpa menghancurkan salah satunya. Hal ini sudah
menjadi  kekhawatiran  banyak  pihak, namun yang sering terjadi adalah
pengabaian  terhadap  kekhawatiran  ini. Kalau sudah begini, ya tunggu
saja  kehancuran  budaya  dan identitas kita. Dan ucapan H Umar Datuak
Alaiyah  Cumano, salah tetua indang dan tokoh masyarakat Nagari Padang
Bintungan,  menemukan  pembenarannya.   Indang  kami  yang menghidupi,
bukan orang lain. ***




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: 
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Jika anda, kirim email kosong ke >>: 
berhenti >> [EMAIL PROTECTED] 
Cuti: >> [EMAIL PROTECTED] 
digest: >> [EMAIL PROTECTED] 
terima email individu lagi: >> [EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke