Ya, ini adalah contoh "kemajuan" Jawa yang menurut Pak Meneg BUMN akan
dilewati Sumatra, jika pembangunan jalan tol Bandar Lampung - Banda Aceh
(+Padang-Pekanbaru) sudah selesai  kelak. 

Tapi berapa PDRB per kapita provinsi Banten yang dipenuhi dengan industri
petrodollar dan berbagai megaproyek petrokimia, baja, dan manufaktur + jalan
tol Jakarta-Merak itu ? 

Menurut data 2008, Banten  hanya Rp12.757.000 atau USD1.662 pada kurs
Rp9.000 per USD1,0, lebih rendah daripada Sumatra Barat di tahun yang sama
sebesar  Rp14.955.000 atau USD1.662. So what?

Jalan tol "just a tool", atau meminjam Angku Epy Buchari, bukan "tongkat
ajaib" atawa "panacea" obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Karena itu Pak Gubernur Irwan Prayitno perlu meneruskan program beliau
"pertumbuhan berkeadilan" yang bertumpu pada pertanian dan UKM, sehingga
dengan atau tanpa MP3EI, dengan atau tanpa Jalan Tol Padang - Pekanbaru,
perekonomian Sumatra Barat ke depan Insya Allah bisa lebih baik daripada
hari ini. 

Tapi siapa pula lah awak ini

Wassalam, HDB St Bandaro Kayo (L, 68+), asal Padangpanjang, tinggal di Depok
Alam Takambang Jadi Guru   

======

Masuk Sungai, ke Sekolah Nyaris Roboh

Senin 20, Februari 2012

(foto)

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2012/02/20/4628883p.jpg

KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Murid-murid dari Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu,
Kabupaten Pandeglang, Banten, harus mengarungi Sungai Cipatujah dengan
ketinggian hingga sepinggang untuk menuju ke sekolah mereka, Jumat (17/2).

C Anto Saptowalyono

Setiap hari mereka harus menyeberangi Sungai Cipatujah selebar 32 meter,
meniti jalan setapak di tengah rimbun belukar sejauh hampir 4 kilometer,
sebelum tiba di sekolah yang nyaris roboh.

Itulah rutinitas harian anak-anak Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung,
Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Belasan anak usia SD dan SMP berkerumun di tepian Sungai Cipatujah, Jumat
(17/2). Para siswa itu mencari-cari bagian sungai yang tidak terlalu dalam
untuk diseberangi menuju sekolah mereka di Kampung Cicadas, Batuhideung.

Anak-anak perempuan kemudian melepaskan rok seragam pramuka yang mereka
kenakan dan lekas-lekas membelitkan kain sebagai penggantinya. Mereka lalu
memanggul rok seragam berikut tas sekolah dan sepatu di atas bahu agar tidak
basah oleh air sungai.

Perlahan mereka berjalan beriringan sambil menjejakkan kaki mencari pijakan
batu di dasar sungai. Mereka harus perlahan meniti karena dasar sungai tidak
terlihat. Meski sudah memilih jalur, tetap saja air sungai membasahi
sebagian tubuh para murid itu. Ada yang basah sampai sepinggang, ada juga
yang hingga dada bagi siswa-siswi berpostur mungil.

"Kalau air sungai sedang naik, kami terpaksa libur. Takut menyeberanginya,"
kata Een, seorang siswi yang ditemui sesampainya di seberang sungai.

Sejenak para siswi berhenti di bawah pohon tangkil (melinjo) untuk
menyampirkan kain di ranting dan mengenakan lagi rok seragam mereka. Kain
itu mereka tinggalkan tersampir di ranting untuk mereka pakai lagi siang
nanti saat menyeberangi sungai sepulang sekolah menuju rumah.

Sejurus kemudian mereka kembali berjalan beriringan menyusuri jalan setapak
selebar 1 meter dan mendaki tebing yang ditumbuhi pepohonan dan semak
belukar. Kerap kali mereka sampai di bagian terjal. Ditambah kondisi licin
karena lumpur yang menempel di batu padas sehabis hujan semalam, makin
lengkaplah kesusahan mereka.

Jaka, seorang siswa SMP, terlihat membantu Kaci, teman perempuannya, menaiki
tebing. Belum ada setengah perjalanan menuju sekolah, para siswa itu sudah
bercucuran keringat dengan napas tersengal-sengal.

Setelah melewati sekian tanjakan licin, menyusuri jalan tanah dengan kondisi
berkubang di sana-sini yang menembus Kampung Pematang Kalong dan Kampung
Cicadas di seberang Sungai Cipatujah, sampailah mereka ke sekolah.

Bagi anak-anak SDN Batuhideung 04, perjalanan pagi mereka itu pun berakhir
di sebuah gedung sekolah tua yang empat ruangannya reyot. Atap ruang kelas
I-IV di sekolah itu tersusun dari berbagai bahan, mulai dari asbes usang,
seng berkarat, hingga anyaman dedaunan yang sudah menghitam warnanya.

Tidak ada eternit di ruang-ruang kelas tempat mereka belajar. Jendela yang
berjajar di tembok pun tidak semuanya berlapis kaca. Bahkan banyak yang
tinggal ambang belaka, tanpa daun jendela. Beberapa di antaranya ditutup
bilah-bilah bambu dan keping kayu lapuk, mirip jeruji kandang ayam.

Sejak dibangun tahun 1982, empat ruang kelas yang dihuni 116 siswa itu sama
sekali belum tersentuh perbaikan. Sekitar setahun lalu atap ruang kelas
disangga batang kayu mahoni agar tidak runtuh. "Tiap ada angin kencang, saya
suruh anak-anak keluar. Takut atapnya roboh," kata Abili, guru kelas I.

Wanto, Wakil Kepala Sekolah SDN Batuhideung 04, mengatakan, sejak tahun
2010, pihaknya sudah mengajukan perbaikan ruangan kelas, tetapi hingga kini
mereka belum mendapatkan kabar kapan rehabilitasi ruang kelas itu akan
berjalan.

Kepedulian publik

Beruntung di tengah kondisi mengenaskan yang dihadapi warga pelosok
Batuhideung, muncul berbagai gerakan yang digagas para donatur dan relawan
untuk membangun jembatan di atas Sungai Cipatujah. "Sampai saat ini sudah
terkumpul Rp 29,15 juta, dari total perkiraan Rp 60-an juta," kata Arif
Kirdiat, seorang relawan.

Arif menuturkan, dukungan untuk membangun jembatan itu berasal dari berbagai
sumbangan, seperti dari seorang ibu asal Yogyakarta, serta sokongan dana
dari jaringan teman-teman dan relasi, termasuk yang berada di sejumlah
negara, antara lain Qatar, Singapura, Malaysia, dan Jepang.

Saat ini warga mulai bergotong royong menggali lubang fondasi jembatan di
kedua sisi sungai, sembari berharap terus ada sumbangan dari donatur untuk
menutup kekurangan. Besar harapan warga agar jembatan Cipatujah segera
terbangun. Ketiadaan jembatan dan buruknya akses jalan di pelosok juga
mengakibatkan rendahnya harga jual hasil bumi warga.

"Di sini satu tandan pisang isi 6-7 sisir hanya dihargai Rp 4.000 oleh
pengumpul, padahal kalau di pasar harganya bisa sampai empat kali lipat,"
kata Kasan, Ketua RT 01 Kadu Handap.

Sebutir kelapa dihargai Rp 400, sesampainya di Pasar Cibaliung menjadi Rp
800 per butir. Jatuhnya harga ini disebabkan mereka harus membayar ongkos
pikul dan biaya angkut kelapa dari kampung-kampung hingga pasar sebesar Rp
400 per butir.

Akibat tidak tersedianya usaha menjanjikan di desa, tak ayal banyak anak
Batuhideung yang selepas SMP bekerja sebagai pembantu dan pekerja serabutan
di kota. Mirisnya, buah itu mereka nikmati justru setelah bertahun-tahun
menimba pengetahuan melalui perjuangan yang tidak ringan.

Ironisnya lagi, Banten adalah provinsi yang dipenuhi dengan industri
petrodollar. Miris rasanya jika provinsi dengan berbagai megaproyek
petrokimia, baja, dan manufaktur ini ternyata masih menyisakan cerita soal
kegetiran bagi warganya.

http://cetak.kompas.com/read/2012/02/20/0353077/masuk.sungai.ke.sekolah.nyar
is.roboh....

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke