Ajo Sur, sebagai sebuah sketsa cepat, kolom Ajo Sur cukup menggugah. Namun 
adalah jelas bahwa diperlukan sebuah penelitian lanjutan untuk pendalaman latar 
belakang serta implikasinya.
Dalam sketsa ini sudah terlihat bahwa secara kultural para perantau Minang 
sudah mengembangkan subkultur tersendiri, walau masih tetap diikat oleh 
hubungan nostalgis dengan nagari masing-masing. 
Dalam hubungan ini sangat menarik pengamatan bp Ir Mulyadi Dt Marah Bangso, 
perantau Minang di Palembang, yg menengarai adanya gejala " tabu manih ka 
ujuang", yang artinya bahwa kecintaan kepada adat dan budaya Minang justru 
lebih kuat di kalangan perantau daripada masyarakat Minang yang ada di Sumatera 
Barat sendiri. Aneh memang. Izinkanlah saya mengelaborasi hal ini lebih lanjut. 
Demikianlah, misalnya, dua events kebudayaan  penting Minang kontemporer di 
Sumatera Barat, yaitu KKM/SKM GM 2010 dan Musyawarah Adat Solok 2012, justru  
sepenuhnya diprakarsai oleh para perantau, bukan oleh tokoh-tokoh masyarakat 
Minang di Sumatera Barat sendiri.
Sungguh menarik, bahwa KKM/SKM GM 2010 yang dipersiapkan secara terbuka selama 
satu tahun untuk membahas ABS SBK dan semula direncanakan diadakan di Bukit 
Tinggi , malah dihujat beramai-ramai oleh sekelompok 'budayawan' di Padang dan 
tokoh masyarakat lokal di Bukit Tinggi, tetapi justru didukung oleh seribu 
orang  utusan nagari  dan perantau. 
Hujatan thd KKM/SKM GM yang akan membahas ABS SBK terkesan lebih dahsyat 
daripada perlawanan terhadap arus pemurtadan serta kecanduan narkoba dan 
kemerosotan moral,  yang ditengarai berlangsung secara terus menerus di 
Sumatera Barat. Syukur bahwa semua hambatan tersebut dapat diatasi dengan baik 
pada momen-momen terakhir.
Syukurnya Musyawarah Adat Solok yang dipersiapkan selama sembilan tahun, secara 
'low profile'  dan tak langsung ke 'biliak gadang',  bisa berjalan mulus. 
Bagaimana cara kita menjelaskan hal ini ? Di bawah ini ada sebuah hipotesa 
saya, bersisian dengan berbagai kemungkinan hipotesa lainnya.
Bukan mustahil hal ini terjadi oleh karena perbedaan temperamen antara 
masyarakat di eks daerah Paderi yang dipilih pemrakarsa KKM/SKM GM 2010 sebagai 
lokasi, dengan masyarakat di luar eks daerah Paderi, yang menjadi lokasi 
Musyawarah Adat Solok. Secara teoretikal, besar kemungkinan KKM dahulu  juga 
akan berjalan mulus sekiranya diadakan di Solok.  
Seperti Ajo Sur tengarai, ada beda karakter antara 'urang Darek' dan ' urang 
Pasisia/Rantau', yang saya tambahkan kemungkinan adanya beda karakter antara 
masyarakat ' Darek Utara' yang Paderi, dengan 'Darek Selatan' yang non Paderi.
Saya tidak tahu sampai kapan gejala ini akan bertahan, oleh karena perobahan 
sosial terjadi dengan tidak dapat dihambat, baik di Rantau maupun di Ranah. 
Secara pribadi saya memang sangat khawatir menyaksikan betapa dahsyatnya 
perobahan sosial yang terjadi di Minangkabau dewasa ini, yang kelihatannya 
tanpa reaksi yang efektif dari jajaran kepemimpinan sosialnya. Memang jelas 
sekali adanya gejala " tabu manih ka ujuang ", bak kata pak Ir Mulyadi Dt Marah 
Bangso.
Ajo Sur, atau siapapun yang punya minat terhadap Minangkabau yang sedang 
berubah ini, perlu meneliti hal ini secara sungguh-sungguh.
Wassalam,
Saafroedin Bahar. Taqdir di tangan Allah swt, nasib di tangan kita.

-----Original Message-----
From: "Nofend St. Mudo" <nof...@gmail.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Wed, 28 Mar 2012 03:14:25 
To: RN - Palanta RantauNet<rantaunet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] PERANTAU MINANG

Harian Haluan : Rabu, 28 Maret 2012 01:20
http://bit.ly/Hj6Qpj

‘Makhluk’ ini ada di mana-mana. Bahkan ketika Neil Amstrong mendarat
di bulan, di sana didapatinya telah berdiri rumah makan Padang –
sebuah anekdot yang mereflek­sikan bahwa perantau Minang dapat
ditemukan di empat penjuru angin, yang jumlahnya konon sebanding
dengan jumlah saudara seetnis mereka yang tinggal di kam­pung. Mereka
berseliweran di sekitar kita, dan mungkin diri kita sendiri adalah
bagian dari mereka.

Tapi siapakah gerangan mereka sebenarnya? Tentu saja tidak mudah
mengi­dentifikasi sosok mereka secara lengkap dalam esai yang pendek
ini. Namun demi­kian, sejumlah perantau dan mereka yang tinggal di
Ranah Minang melalui fb-group Palanta R@tauNet mencoba mencungkil
beberapa ciri perantau Minang itu (yang agaknya refleksi terhadap diri
sendiri): para entrepreneur ulet tapi cenderung hanya jadi pemain di
kelas bawah, kata Arif Sulkifli dan Saafroedin Bahar; orang-orang yang
meninggalkan kampung kare­na tacemo (melanggar adat) atau karena harga
diri mere­ka terendahkan oleh berbagai keadaan (konflik sosial,
pe­rang, dll.) kata Arif lagi; mereka yang di rantau mem­praktekkan
budaya ‘galir’ dan kepintaran ‘bersilat lidah’, yang mengaku sebagai
‘orang Pa­dang’, malah sering menyem­bunyikan identitas
keminang­annya, tapi diam-diam me­nang­­gung rindu dendam tak sudah
kepada ranah bundo-nya (gejala Minang Complex) yang alam dan budayanya
diharap tetap lestari, kata Nelson Mq, Andiko Sutan Mancayo, Buya
Masoed Abi­din, dan Yulizal Yunus; indivi­dual state less yang pergi
merantau karena di kampung berguna belum, kata Zulkar­nain Kahar dan
Ali Cestar.

Apa pun ciri yang melekat pada perantau Minang, yang jelas mereka
adalah migran sebuah etnis yang secara sosio-psikologis berbeda dengan
migran-mig­ran dari ratusan etnis lainnya di Indonesia. Sosiolog
Mochtar Naim mengungkapkan sebagi­an identitas mereka dalam
di­sertasi­nya, Merantau: Mi­nang­kabau Voluntary Migra­tion
(Singapura: NUS, 1973). Me­nurutnya: mereka pergi dari kampungnya
secara sukarela (voluntary), tapi ada dorongan internal secara
kultural yang membuat para pancacak sam­pai profesional kerah putih
asal Minangkabau itu pergi meninggalkan ranah bundo mereka di bagian
tengah pulau Sumatra yang vulkanis de­ngan perbukitan dan dataran yang
hijau subur.

Jika ingin mengetahui siapa sebenarnya perantau Minang, dengarlah
kisah yang dilantunkan oleh para tukang rabab dan tukang saluang,
tiliklah isi pantun-pantun klasik Minangkabau (lihat: R.J. Chadwick,
Topics in Minang­kabau Vernacular Literature, disertasi, University of
Wes­tern Australia, 1986), bacalah karya-karya sastra Indonesia modern
sebelum kemerdekaan yang berlatar Minangkabau. Di dalamnya terekam
suara hati, kegelisahan jiwa, hara­pan-harapan, dan rindu den­dam
kultural mereka. Dan kini, sesuai dengan perkem­bangan zaman, isi
pikiran mereka, sampai batas terten­tu, dapat pula dilacak melalui
laman-laman mailing list dan forum-forum facebook-groups.

Perantau Minang–memin­jam kata-kata tukang rabab Pariaman, Amir
Hosen–adalah orang-orang yang ‘sadang indak lala daulu [sebab] tingga
di kampuang [hati] kurang sa­nang.’ Mereka lebih dari se­kedar para
pengembara fisik yang menuju negeri asing karena ‘di kampung berguna
belum’.

‘Sadang indak’ (lagi miskin) mungkin menjadi salah satu saja dari
berbagai faktor pendorong perantau Minang pergi menghadang ‘laut sakti
rantau bertuah’. Tetapi Ranah Minang yang begitu subur mestinya
membuat mereka tidak terus berada dalam kondisi ‘sadang indak’. Tapi
mengapa agaknya hati mereka jadi ‘kurang sanang’ berada di kampung?
Penyebabnya, seperti kata Mochtar Naim, dapat diiden­tifikasi dalam
struktur adat Minangkabau sendiri: posisi yang labil di rumah istri
dan di rumah keluarga matrilineal sendiri, terhalang menikah dengan
pujaan hati karena sesuku, perbenturan ideologi, perang saudara, dan
lain sebagainya. Kegelisahan kultu­ral itulah yang konon menjadi
energi utama yang telah ‘melem­parkan’ jutaan dagang Mi­nang­kabau ke
negeri-negeri lain.

Apa pun alasan keper­gian dari kampung, perantau Mi­nang terus
menga­lami tran­sformasi psikologis dan sosio­logis mengikuti
perubahan rantau yang mereka hinggapi dalam perjalanan hidup mere­ka
akibat globalisasi dan revolusi sarana komunikasi dan tran­spor­tasi.
Kompetisi yang semakin keras dengan migran dari berbagai etnis lainnya
menyebabkan pula okupasi kerja mereka di ran­tau makin bervariasi,
walau kebanyakan masih menghin­dari kerja sebagai petani di
perantauan.

Setidaknya ada dua tipe perantau Minang: 1) mereka yang berangkat dari
kampung halaman ke berbagai rantau, yang sebagian di antaranya telah
‘merantau pipit’ dan sebagian lagi telah ‘merantau Cina’; 2) generasi
yang dilahir­kan di rantau dari ayah dan ibu perantau Minang atau ibu
orang Minang dan ayah dari etnis lain. Keba­nyakan dari kelompok ini
telah berbeda antara bungkus dan isi: bungkus bermerek Minang, tapi
isi sudah seperti bubur kampiun, yang tak pas lagi dimasukkan ke dalam
‘kotak’ budaya Minang­kabau. Hubu­ngan kultural mereka dengan
Minangkabau cenderung gen­ting–untuk tidak mengatkaan putus. Mungkin
kebanyakan mereka adalah individual cultural less jika dilihat dari
sudut pandang budaya orang tuanya.

Sejak teknologi komunikasi dan transportasi mengalami revolusi pesat
di era 1980-an, sehingga memudahkan kores­pondensi dan mobilitas
ma­nusia, perantau Minang juga terkena dampaknya. Hu­bungan
tran­sportasi dan komunikasi antara rantau dan kampung, atau
sebaliknya, semakin lancar. Teknologi HP makin mengaktifkan budaya
lisan dan meminggirkan literacy. Ota lapau virtual di antara peran­tau
Minang melalui internet–lengkap dengan sindiran, cemooh, gurauan dan
juga carut bungkang–adalah hal yang lumrah sekarang. Idiom ‘surat dari
rantau’, sebagai­mana sering ditemukan dalam roman-roman generasi
Abdul Muis dan Marah Rusli, kini telah menjadi klasik dan arkais. Bagi
perantau yang berhasil ‘menaklukkan’ rantau yang bertuah itu, pulang
kampung bisa babaliak hari saja. Tapi bagi mereka yang keok ‘ditelan’
oleh ganasnya rantau, walau hanya meran­tau sejauh Kuok Bangkinang,
kampung terasa lebih jauh daripada Mekah. Prinsip mereka sudah jelas:
daripada malu pulang ke kampung dalam keadaan (tetap) miskin, lebih
baik rantau diperjauh.

Akan tetapi yang lebih menarik adalah mengamati apa yang disebut oleh
buda­yawan Edy Utama sebagai ‘merantau pikiran’. Jika ‘me­ran­tau
fisik’ adalah keper­gian seorang Minang dari kampung ke daerah-daerah
di luar Minangkabau, maka ‘meran­tau pikiran’ bisa saja terjadi di
kalangan orang Minang­kabau yang tubuh kasarnya berada di belakang
Istana Linduang Bulan, di samping tentunya juga bisa juga terjadi pada
diri ‘perantau fisik’.

Drastisnya perubahan kultural yang terjadi di Su­matra Barat sekarang
mem­beri indikasi kuat bahwa orang Minangkabau yang tinggal di kampung
halaman mereka sendiri telah mela­kukan ‘merantau pikiran’ yang jauh
dan terkesan lebih spora­dis. Sebaliknya, para ‘perantau fisik’,
khususnya dari tipe (1) di atas, tergagap melihat perubahan kultural
mencolok yang sedang terjadi di ranah bundo mereka. Nostalgia indah
mereka tentang kampung halaman yang ideal (dari segi budaya) runtuh
begitu mereka menjejakkan kaki di Bandara Minangkabau.

Pelbagai komentar yang muncul dalam berbagai mai­ling list dan fb
groups yang berlabel ‘Minangkabau’ di internet merefleksikan
distor­si-distorsi psikologis dan sosial yang hebat yang dialami oleh
para ‘perantau fisik’ dan para ‘perantau pikiran’ Minang­kabau, baik
mereka yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung, yang
mencerminkan semakin lebar­nya jarak antara yang ideal dan yang real:
ada yang mencaci maki budaya Mi­nang­kabau dan para pemangku adatnya;
ada yang membayangkan bahwa dalam persandingannya dengan Islam seperti
sekarang adat Minangkabau adalah ‘pakaian’ ideal masyarakatnya yang
dapat menyelamatkan mereka dari kecenderungan homoge­nisasi kultur dan
selera yang di-hondoh-kan oleh budaya global; ada yang melihat
perlunya gerakan puritanisme agama ke-2 di Minangkabau untuk
melan­jutkan Gerakan Paderi di abad ke-19 yang dianggap
‘terbengkalai’, dan ada pula yang secara radikal keluar dari agama
Islam.

Kini berbagai ideologi asing masuk ke Minangkabau tidak lagi lewat
diri para perantau fisik seperti yang terjadi di masa lalu (lihat:
Christine Dobbin 1983), tetapi melalui satelit yang masuk ke dalam
rumah-rumah keluar­ga Minangkabau tanpa mengetok pintu lebih dahulu,
dan segala yang berbentuk fisik tempat ideologi-ideologi asing itu
membonceng me­nyerbu Sumatra Barat lewat Teluk Bayur, Kelok Sembilan,
dan Gunung Medan.

Dalam dunia yang terus berubah, para perantau Mi­nang–fisik dan
pikiran, yang berada di rantau maupun yang tinggal di kampung–akan
terus mengembara menu­ju tepi di mana mereka tidak akan pernah bisa
kembali lagi. Mereka, yang sekali setahun terwakili sosoknya oleh
berita tentang ‘pulang basamo’, mungkin akan tetap abadi sebagai
jiwa-jiwa yang meng­alami Minang Com­plex, yang terus akan lala daulu
sebab badan [dan pikiran], walau di kampung sekalipun, sering merasa
kurang sanang.

SURYADI
(Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda)

Wassalam
Nofend | 35-L | Cikasel

Sent from Pinggiran JABODETABEK®

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke