________________________________
Sdr Taufiq, Pak Saf, dan kawan2 di dunia maya sadonyo,
Memperkaya tulisan yang diteruskan oleh Sdr Taufiq ttg "RUU Kesetaraan Gender,"
terlampir di bawah ambo kirimkan tulisan ambo mengenai kesetaraan gender ko
dengan judul:
"Berkaca ke Jepang dalam Menengarai Kesetaraan Gender."
Co lah pasakokkan pulo.
MN070412
=========================================================================
BERKACA KE JEPANG
DALAM MENENGARAI
KESETARAAN GENDER
Mochtar Naim
7 April 2012
H
ARI-HARI ini RUU “Kesetaraan dan Keadilan Gender” dibahas di DPR-RI. Dari
judulnya dan dari reaksi-reaksi yang kita ikuti di dunia maya internet,
sementara ini kita sudah bisa membayangkan sekali bahwa kelompok yang selama
ini berorientasi kepada dan mempertahankan nilai-nilai luhur keagamaan,
khususnya Islam, akan berhadapan dengan kelompok pengambil inisiatif yang
gandrung dengan kesetaraan gender seperti yang dipraktekkan di negara-negara
maju dan moderen serta sekuler di Barat.
Sebelum kita melihat terlalu jauh bagaimana praktek yang berlaku
selama ini di tengah-tengah masyarakat kita yang karenanya memerlukan UU yang
khusus mengatur tentang hubungan antar gender di Indonesia yang mayoritas
terbesarnya beragama Islam, ada baiknya sebagai perbandingan kita berkaca ke
Jepang sebentar yang dunia mengakui bahwa wanita Jepang termasuk yang paling
terpuji, berakhlak mulia dan berharkat tinggi.
Saya sendiri sempat melihatnya dari dekat dengan tiga kali pernah
berkunjung dan merantau di Jepang. Pertama kali berupa kunjungan singkat di
awal 1970an ke Nagoya dalam menghadiri sebuah Seminar internasional. Kedua
kali, 11 bulan di Kyoto, tahun 1987, sebagai research fellow di Institute of
Southeast Asian Studies, Kyoto University. Dan ketiga kali, 6 bulan, tahun
1988, juga sebagai research fellow, di Institute of International Economics,
Ministry of Foreign Affairs, di Tokyo. Waktu di Kyoto saya juga dengan isteri
dan dua anak perempuan yang waktu itu masih di sekolah menengah. Kedua mereka
kami masukkan ke Sekolah Menengah (Chu Gakko) Jepang. Dan kami tinggal di
tengah-tengah masyarakat Jepang kelas menengah.
Dengan kedua anak masuk sekolah Jepang, berbahasa Jepang, sendirinya
banyak hal-hal baru yang harus kami pelajari sebagai orang tua dari anak-anak.
Ternyata di Jepang itu, yang namanya PTA (Parents and Teachers Association) itu
seluruhnya didominasi oleh para ibu yang orang tua murid dan guru-guru. Dan
guru-guru inipun mayoritasnya adalah juga guru-guru wanita.
Sebagai anak yang belum tahu apa-apa tentang Jepang di samping bahasa
maupun kebudayaan Jepang, maka guru-guru itu seperti bergantian datang ke rumah
kami memberi petunjuk bagaimana menyesuaikan diri dan menguasai bahasa dan cara
belajar di Jepang. Dengan kedua anak kami telah menguasai Bahasa Inggris
sebelumnya, karena sempat sekolah di Singapura, kawan-kawan sekelas mereka
rupanya banyak pula yang tertarik untuk bergaul, bermain dan belajar bersama ke
rumah kami.
Di sekolah sendiri, melalui PTA kami sering diundang dan dengan itu
kami mengenal cukup banyak bagaimana sistem bersekolah di Jepang. Di kantor, di
lingkungan kampus, dan di tengah-tengah masyarakat sendiri, kami juga banyak
memperhatikan bagaimana orang Jepang menata masyarakatnya, khususnya yang
berkaitan dengan kedudukan wanita di tengah-tengah masyarakat. Disiplin ilmu
sosiologi yang saya pelajari selama ini ternyata juga cukup membantu memahami
bagaimana kedudukan gender di tengah-tengah masyarakat Jepang itu.
Seperti di Minang, rata-rata rumah tangga Jepang berada di bawah
kendali wanita. Mereka bukan matrilineal tetapi matriarkal dalam praktek
kenyataannya. Sang suami malah dimanja; dibukakan sepatunya, dimandikan, dan
dikeloni. Tahu kalau mereka seharian suntuk bekerja di luar rumah mencari
rezeki untuk keluarga.
Wanita seperti juga laki-laki, mendapat peluang yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang setara. Selesai berpendidikan, wanita juga cari
kerja. Dan kerja di mana-mana. Tapi, ini yang menarik. Tiba waktu berumah
tangga, begitu kelihatan tanda-tanda kehamilan, yang isteri minta cuti panjang.
Bukan hanya sampai melahirkan, tapi sampai anak terakhir yang direncanakan
sudah cukup besar untuk ditinggal-tinggal. Seperti dalam masyarakat maju
lainnya, rata-rata rumahtangga Jepang tidak punya pembantu. Semua dikerjakan
sendiri secara bersama dalam keluarga.
Tapi jangan dikira kalau mereka tidak punya inkam rumah tangga.
Rata-rata rumah tangga adalah juga industri rumah tangga. Semua atau sebagian
besar dari barang-barang kerajinan, origami, main-mainan anak-anak yang
dikerjakan dengan tangan, dan semua makanan yang dijual di department stores,
di manapun, biasanya di basement, dibikin di rumah tangga. Orang Jepang,
seperti juga orang Cina, orang Korea dan yang berbudaya Budha lainnya sangat
tidak menyukai tidak kerja, nganggur, atau pura-pura kerja. Bagi mereka hidup
itu adalah untuk bekerja. Keberhasilan yang didapatkan di dunia ini adalah juga
isyarat dari keberhasilan di akhirat nanti.
Karir wanita ditata setelah mereka menyelesaikan tugas pokok di rumah
tangga. Karena hamil, melahirkan dan mengasuh anak tidak bisa digantikan oleh
suami, maka masyarakat Jepang secara sadar sekali memberi penghormatan dan
penghargaan sepenuhnya kepada sang isteri untuk melakukan tugas suci itu,
sampai semua anak sudah bisa dilepas-lepas. Misalnya juga dengan memasukkan
mereka ke sekolah berpenitipan, kalau umurnya sudah cocok untuk itu.
Karir wanita tidak kurang menonjolnya selepas mereka menyelesaikan
tugas pokok di rumah tangga itu. Dengan pola keluarga kecil, rata-rata wanita
berumah tangga yang sudah berkepala tiga mulai kembali memasuki lapangan kerja,
baik yang ditinggalkan, maupun yang baru sama sekali. Dan tidak sedikit yang
meneruskan industri rumah tangga mereka. Di samping juga tidak sedikit yang
memegang jabatan karir profesional seperti laki-laki. Dengan sistem dan
kualitas pendidikan yang relatif bagus bagi kedua gender, hambatan karena
pendidikan tidak ditemukan di Jepang.
Yang jelas, di Jepang tidak ada yang jalan sendiri-sendiri. Semua
didisain secara bersama-sama dan menyeluruh. Orang Jepang melihat keretaapi itu
bukan hanya lokomotifnya saja, atau wagonnya saja, atau relnya saja, tapi
keseluruhan sistem dari apapun yang termasuk ke dalamnya, secara rinci dan
dengan penuh perhitungan. Dan secara berkala di tinjau ulang.
*
Kalau kita akan mengatur posisi wanita dan hubungan antar gender
dalam masyarakat kita juga, ke depan, kalau kita akan melihat keluar jendela
juga, selain yang baik-baik dari budaya dan agama kita, pantaslah kalau kita
juga meniru yang baik-baik dari masyarakat manapun di dunia ini yang ternyata
berhasil dalam menata kehidupan antar-gender itu. Sebaliknya kita tidak usah
ragu-ragu dalam mengkritik dan memperbaiki praktek pengamalan agama dan budaya
kita yang menyimpang dari ajaran yang benar. Biasanya bukan ajarannya tapi
praktek pengamalannya yang banyak menyimpang dari garis ajaran itu. ***
========================================================================
From: "taufiqras...@rantaunet.org" <taufiqras...@rantaunet.org>
To: rantaunet@googlegroups.com
Sent: Friday, April 6, 2012 9:00 AM
Subject: [R@ntau-Net] RUU Kesetaraan Gender. Bagaimana Orang Minang
Menyikapinya ?
Mungkin pak Saaf, pak MN dan lain pakar dapat menyatakan pendapatnya dalam hal
ini
Disisi lain ada pendapat dari suatu Organisasi Islam seperti dibawah ini :
Setelah menelaah dan memahami RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (Naskah Draf
RUU KKG/Timja/24/agustus/2011,) yang sedang dibahas di DPR saat ini, maka kami
menyatakan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Kesalahan paling mendasar RUU KKG ini adalah dalam mendefinisikan poin-poin
yang tercantum dalam “Ketentuan Umum”, seperti definisi tentang “gender”,
“kesetaraan gender”, “keadilan gender”, “diskriminasi”, “pengarusutamaan
gender”, “analisis gender”, dan “anggaran responsif gender”. Definisi-definisi
yang diuraikan cenderung mengesampingkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek
biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang
radikal dan sekular.
RUU ini secara jelas menghapus keberagaman definisi “gender” yang masih menjadi
isu kontroversial di kalangan akademisi dan menjadikannya sebagai definisi
tunggal dan mengikat. Pada akhirnya, istilah “gender” tidak lagi bersifat
netral, namun ia lebih digunakan untuk kepentingan elit perempuan tertentu.
Kecenderungan RUU KKG lebih didasari pada karakteristiknya yang terlalu
memaksakan ideologi jenis kelamin sebagai landasan hidup bagi semua warga
negara RI.Konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) yang didukung dengan Focal Point
PUG, Pokja PUG dan Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah bentuk pemaksaan
secara sistemik kepada setiap warga negara untuk menerima gender sebagai “asas
tunggal” pembangunan. Semangat pemaksaan dan anti kebhinekaan dalam RUU ini
terlihat jelas melalui unsur-unsur berikut di bawah ini:
a) Adanya sanki administratif tindakan disiplin bagi pejabat instansi dan
lembaga-lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak
melaksanakan PUG yang menjadi tanggung jawabnya,. (lihat Bab IV, pasal 19).
Demikian juga dengan adanya pasal-pasal 67-72 yang mengatur larangan dan
ketentuan pidana. Larangan-larangan dan hukuman pidana yang tercantum dalam
pasal-pasal 67-72 tidak saja bermasalah dengan tidak adanya batasan yang jelas,
tapi juga menggerus norma-norma ikatan pernikahan, konsep keluarga dan ajaran
agama yang ada. Selain itu, jugamemaksakan wacana akademik ke ranah hukum.
Sebab nantinya dengan ketentuan pasal 69 dan 72 akan mengaburkan batasan antara
kritik akademik dan tindak kriminalisasi.
b) Pemaksaan berbasis gender secara jelas diatur dalam Bab III, Pasal 4
ayat (2) yang mengkhususkan hakperempuanmemperoleh tindakan khusus sementara
paling sedikit 30% (tigapuluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif,
eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non kementerian,
lembaga politik dan lembaga non pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat
daerah, nasional, regional dan internasional. Selain diskriminatif, ayat juga
merusak nilai-nilai demokrasi. Penyantuman angka minimal 30% untuk keterwakilan
perempuan semakin menunjukkan ketakutan kaum feminis bersaing secara terbuka di
alam demokrasi danmerendahkan kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah dan
minta belas kasihan. Ayat ini juga akan membuka tuntutan porsi keterwakilan
kaum waria, homoseksual dan golongan yang aneh-aneh lainnya.
c) Memaksakan pemahaman empiris-marxist dalam merumuskan makna istilah
“kesetaraan” dan “keadilan” dengan “kesamaan” dan “persamaan”. Sehingga segala
bentuk “ketidaksamaan” bisa disebut sebagai “diskriminasi”, utamanya terhadap
perempuan.
4. RUUKKG ini sarat dengan muatan feminis radikal yang sekular dan
menghapus nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi dan sosial, khususnya dalam
masalah perkawinan, perwalian, waris (sebagaimana diatur dalam RUU ini pasal
12), dan adanya kewajiban setiap warga negara untuk menanamkan nilai-nilai
kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga
(pasal 15, huruf d).
5. RUU ini terlalu memaksakan nilai-nilai lokal peradaban Barat yang
sekular, liberal, dan materialistik, tentang konsep dan kedudukan
perempuan, menjadi nilai-nilai universal yang harus dipeluk oleh semua bangsa
di dunia. Padahal, berbagai bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Bangsa
Indonesia yang telah mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa, dalam pembukaan
konstitusinya, seharusnya tidak mudah terseret arus globalisasi dan
westernisasi yang terbukti telah menjerumuskan umat manusia ke jurang kehampaan
dan ketidakpatian nilai, sehingga menjauhkan mereka dari kehidupan yang bahagia.
6. RUU ini menempatkan perempuan sebagai makhluk individual dan pada
posisi yang antagonis dengan laki-laki, dimana seolah-olah semua perempuan
sedang berada dalam kondisi tertindas dan terampas hak-haknya, laiknya ideologi
Marxisme yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas. Pemikiran, konsep,
dan peraturan perundang-perundangan yang dirumuskan dengan semangat
pertentangan dan permusuhan semacam ini tidak akan membawa kepada kemaslahatan
yang dicita-citakan bersama.
7. RUU ini bertentangan fitrah manusia yang telah dikaruniakan Allah Yang
Maha Kuasa, dimana laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi
masing-masing untuk saling melengkapi dan bekerjasama dalam berbagai aspek
kehidupan. Allah Yang Maha Kuasa telah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin
dan penganggung jawab keluarga yang wajib berlaku adil, beradab, dan
penuh kasih sayang, dalam berinteraksidengan perempuan. Namun, perempuan
juga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkiprah dalam berbagai bidang
kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan tanggung jawabnya sebagai perempuan
serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakatnya.
8. RUU ini mengabaikan beberapa hal pokok yang menjadi hajat hidup setiap
perempuan, misalnya di bidang ketenagakerjaan, tidak ada pembahasan tentang
waktu kerja yang lebih fleksibel bagi wanita yang berkeluarga atau memiliki
anak balita, pemberlakuan masa cuti bergaji minimal setahun bagi wanita
hamil/bersalin, hak menggunakan jilbab di tempat kerja, dan lain-lain.
9. RUU ini telah menafikan dan mengecilkan arti dan peran perempuan
sebagai Ibu Rumah Tangga, sebagai pendamping suami dan pendidik anak-anaknya.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan hanya diukur berdasarkan keaktifannya
di ruang publik. Sangat ironis, jika pandangan semacam ini diterapkan hanya
untuk mengejar peringkat Human Development Index. Padahal, konsep dan cara
pandang seperti ini akan memunculkan ketidakharmonisan dan bahkan penderitaan
bagi perempuan itu sendiri, karena peran yang dijalankannya didapat melalui
belas kasih dan pemaksaan porsi gender dan bukan karena kapabilitas dan
kehormatan pribadinya.
10. Karena RUU ini mengandung kekeliruan pemikiran dan konsep yang sangat
mendasar – yang bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab – maka kami menyatakan menolak RUU ini, sebab
RUU ini sejatinya bukanlah membela kaum perempuan tetapi sebaliknya justru
merugikan kaum perempuan.
11. Kami mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk menyusun RUU Keserasian
Gender sebagai alternatif dari RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Sebab,
“kesetaraan” dalam RUU tersebut dipahami dengan kesamaan kuantitatif yang
menuntut perempuan berperan seperti laki-laki terutama di ranah publik.
12. Kami mengajak semua pihak yang berkeinginan dan bercita-cita dengan tulus
untuk kemajuan dan kebahagiaan kaum perempuan dan seluruh masyarakat Indonesia,
agar tidak mudah menafikan ajaran-ajaran Allah Yang Maha Kuasa demi godaan
berbagai tawaran finansial dari pihak-pihak asing yang justru menimbulkan
pertentangan dan ketidakharmonisan antar kaum perempuan dan antara kaum
perempuan dan laki-laki.
Demikian pernyataan ini kami sampaikan, mudah-mudahan dapat dipahami dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/