Berikut ini Bahan Artikel yang disampaikan Opung Batara R yang saya ambil
dari bloh beliau di HYPERLINK
"http://batarahutagalung.blogspot.com/"http://batarahutagalung.blogspot.com/

Walau belum sempat meminta izin, tapi demi dan untuk menambah pengatahuan
kita semua, saya ambil dan kirimkan di Palanta ini.

 

Saya rasa beliau tidak keberatan.

Salam

=====


Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi 


Oleh Batara R Hutagalung
Disampaikan dalam Seminar “Perang Paderi, 1803 – 1838. Aspek Sosial Budaya,
Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik."
Di Arsip Nasional RI, Jakarta, 22 Januari 2008.

Pendahuluan
Sejak terbit pertama kali tahun 1964, buku karya Mangaraja Onggang
Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah
Batak. 1816 – 1833.’ telah menuai banyak kritik dan sanggahan. Sanggahan
tertulis pertama datang dari HAMKA dengan bukunya yang berjudul: Antara
Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Secara garis besar HAMKA menyebutkan, bahwa
isi buku MOP 80 % bohong dan 20 % meragukan.



Cetakan kedua buku MOP terbit pada bulan Juni 2007, dan buku yang langsung
memberikan sanggahan terhadap buku tersebut ditulis oleh Basyral Hamidy
Harahap, dengan judul ‘Greget Tuanku Rao.’



Selain kedua buku tersebut, berbagai silang pendapat dan kontroversi
mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi muncul dalam berbagai tulisan, baik di
media massa maupun di internet.
Mengenai sosok dan asal-usul Tuanku Rao sendiri terdapat beragam versi.
Namun kelihatannya tak satupun yang dapat mengklaim, bahwa pendapatnyalah
yang paling benar, karena semua versi hanya bedasarkan cerita rakyat atau
cerita keluarga yang tidak dapat melampirkan dokumen yang otentik, termasuk
yang dikemukakan oleh HAMKA. Dalam bukunya, HAMKA menyebut suatu sumber
Belanda, J.B. Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal
dari Padang Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang
Belanda, Residen T.J. Willer. (Hlm. 239)



Sumber lain yang disebut oleh HAMKA adalah Asrul Sani, yang juga menyebut
bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Namun tidak disebutkan, dari
mana sumber informasinya. (Hlm. 240)



Bahkan Sanusi Pane menganggap, bahwa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai adalah
orang yang satu itu juga. (Hlm. 242)
Selain mengenai sosok Tuanku Rao, HAMKA juga membantah keterangan mengenai
sejumlah tokoh yang ditulis oleh MOP dalam bukunya. Juga HAMKA membantah
segala bentuk kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan Batak.



Buku BHH ‘Greget Tuanku Rao’ membantah beberapa hal yang ditulis oleh MOP,
namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yang
dilakukan oleh tentara Paderi.
Bantah membantah mengenai suatu tulisan atau peristiwa adalah hal yang
biasa, juga dalam penulisan sejarah. Banyak kalangan dari etnis Jawa
membantah adanya Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Namun
kenyataannya, di kota-kota di Jawa Barat tidak ada nama jalan Gajah Mada,
Hayam Wuruk atau Majapahit, karena di masyarakat Sunda, berkembang cerita
sebagimana tertulis dalam Kidung Sunda.

Tuanku Rao Dalam Turi-Turian Batak



Di masyarakat Batak, baik Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas maupun
Toba, cerita rakyat dikenal sebagai turi-turian atau cerita yang dituturkan
oleh seorang Bayo Parturi. Turi-turian yang juga diceritakan turun temurun
oleh para orang tua kepada anak-cucunya dapat bersumber dari peristiwa yang
benar-benar terjadi, tetapi bisa juga legenda atau hikayat, yang hanya
merupakan produk fantasi dari nenek moyang. 



Walaupun etnis Batak memiliki aksara sendiri yang dinamakan ‘Surat Batak’,
namun sangat sedikit sastra Batak yang dituliskan dengan Surat Batak. Pada
umumnya, Surat Batak digunakan untuk menuliskan ilmu kedukunan dan
surat-menyurat, dan di beberapa daerah, antara lain di Karo, Angkola dan
Simalungun, Surat Batak digunakan untuk menuliskan syair. Hal ini yang
menyebabkan, banyak turi-turian tidak ditulis dalam Surat Batak, melainkan
hanya melalui penuturan secara lisan turun-temurun dari nenek moyang ke anak
cucu, atau dituturkan oleh Bayo Partuturi.



Mengenai asal-usul Tuanku Rao, terdapat beberapa versi. Versi yang paling
banyak berkembang adalah versi yang ditulis oleh Mangaraja Onggang
Palindungan (MOP) dalam bukunya ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ 



Dalam buku ini disebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah anak hasil hubungan gelap
dari Gana boru Sinambela, putri Singamangaraja IX dengan paman kandungnya
sendiri, Gindoporang Sinambela, adik dari Singamangaraja X. 



Ketika Gana Sinambela hamil akibat hubungan dengan pamannya, kehamilan ini
diketahui oleh ayahnya. Untuk menutup aib ini, Gindoporang dan Gana
diasingkan ke Singkil, Aceh, karena untuk hamil di luar nikah, apalagi hasil
hubungan dengan keluarga sendiri (incest), sanksinya adalah hukuman mati.
Di Singkil, Gindoporang masuk agama Islam dan mengambil nama Muhammad Zainal
Amirudin Sinambela. Gana sendiri tidak bersedia masuk Islam, dan tetap
menganut agama Batak, Parmalim. Ketika putra mereka lahir, Gindoporang
memberikan nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela. Oleh ibunya, dia diberi
nama Pongki Na Ngolngolan yang artinya adalah Fakih yang menunggu-nunggu,
karena Gana masih berharap, suatu hari akan dapat kembali ke Tanah Batak. 
Setelah Singamangaraja IX meninggal, dia diganti oleh putranya, yang menjadi
Singamangaraja X. Singamangaraja X memanggil kembali adiknya, Gana Sinambela
bersama putranya, Pongkinangolngolan.



Beberapa Datu (dukun) di Bakkara yang mengetahui mengenai asal-usul
Pongkinangolngolan meramalkan, bahwa suatu hari dia akan membunuh
Singamangaraja X. Oleh karena itu mereka mendesak, agar Pongkinagolngolan
dihukum mati.
Pongkinangolngolan dapat menyelamatkan diri dan mengembara sampai ke
Mandailing, di mana dia kemudian menjadi anak didik Tuanku Nan Renceh.
Setelah masuk Islam, namanya diganti menjadi Umar Katab. Nama Katab apabila
dibaca dari belakang menjadi Batak. Umar Katab ini kemudian bergelar Tuanku
Rao. Demikian asal-usul Tuanku Rao menurut versi MOP.
Versi lain menyebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah putra dari Nai Napatihan,
putri Singamangaraja X, yang menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga
keturunan Si Raja Lontung. Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat
lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh
Sisingamangaraja X ke Singkil, Aceh, agar tidak menjadi saingannya di
kemudian hari. Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama
Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin.



Juga ada versi yang menyebutkan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela
yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak.

Ada versi lain yang ditulis oleh seorang sarjana Batak dalam disertasinya di
UGM, yang menyatakan bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi
orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan
Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu. 
(lihat weblog: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html)



Dalam bukunya Antara Fakta Dan Khayal “TUANKU RAO”, HAMKA menulis, bahwa
Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. (Hlm. 240).
Imam Bonjol sendiri menulis dalam catatan hariannya, bahwa Tuanku Rao
berasal dari suatu desa di Mandailing (sebagaimana disampaikan oleh Dr.
Phil. Ichwan Azhary dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang
Paderi’ di Medan, 24 November 2007 dan di Pematang Siantar, 26 November
2007). Namun tidak diterangkan lebih lanjut mengenai asal-usul Tuanku Rao.
Mungkin Imam Bonjol hanya mengetahui, bahwa Tuanku Rao datang dari suatu
desa di Mandailing dan tidak mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usulnya
apakah memang asli dari daerah tersebut.

Agresi kaum Paderi ke Sumatra Utara



Mengenai agresi kaum Padri ke Tanah Batak yang dikenal di kalangan Batak
sebagai “Tingki Ni Pidari” atau “Zaman Padri”, dua sesepuh Batak, Drs Muara
Sitorus dan Edith Dumasi Nababan, SH, yang hadir dalam diskusi ‘Hikayat
Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ yang diselenggarakan di
Sekretariat Plot (Pusat Latihan Opera Batak) Siantar, pada Senin 26 November
2007, memberikan kesaksiannya: (Dikutip dari harian METRO SIANTAR edisi 27,
28 dan 29 November 2007). 



“... Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan sangat
senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang Paderi dan 'cerita
kelam' dalam keluarga Dinasti Singamangaraja, sebanyak empat seri. "Saya tak
menyangka, di zaman sekarang masih ada orang yang peduli dengan kisah
sejarah di masa lalu. Terima kasih METRO," kata tokoh masyarakat asal Porsea
yang merantau ke Siantar, mengawali ( terima kasih kembali, Pak, red).



Selanjutnya ia mengatakan, fakta sejarah yang ditulis Parlindungan dalam
buku Tuanku Rao, sudah lama didengarnya, jauh sebelum buku Tuanku Rao
terbit. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai Tingki ni Pidari. Itu
adalah kisah mengenai Pasukan Paderi menyerang Tanah Batak. Dari peristiwa
Tingki ni Pidari inilah, muncul istilah Monjo (mirip dengan bunyi Bonjol).
Monjo ini adalah sebutan orang Batak menyebut Pasukan Paderi," katanya. 



Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak "Monjo
datang...Monjo datang!" "Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi pertanda bagi
orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke hutan menyelamatkan
diri," katanya. Kisah ini didengarnya dari orang-orangtua, yang diceritakan
secara lisan. Karena itu, Drs Muara Sitorus senang dengan penerbitan buku
Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau kisah di dalamnya adalah fakta sejarah. 



Mendukung pernyataan Drs Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br Nababan, mantan
Hakim Agung yang hadir dalam diskusi di Sekretariat PLOt itu mengatakan,
Tingki Ni Pidari itu sungguh benar terjadi. "Saya sudah lama mendengar kisah
mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan seperti dikatakan Pak Sitorus, pasukan
Imam Bonjol itu disebut Monjo. Kalau Monjo datang, seluruh orang Batak
haruslah berlari menyelamatkan diri ke hutan," katanya.
Sayangnya, hanya anak-anak,wanita, dan pria yang tengah bekerja di sawah
yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di rumah,
umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun ulos/kain, tak
sempat kabur. 



Untuk memaksa orang-orang yang sembunyi di rumah agar keluar, Pasukan Paderi
pun membakar rumah-rumah. Semua perempuan yang bersembunyi dalam rumah
terpaksa keluar, daripada terpanggang hidup-hidup. "Itulah makanya,
rumah-rumah Batak habis di daerah Silindung. Hanya di Toba saja yang masih
tersisa sedikit," katanya ...

... Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar mati kelaparan. Hanya yang
kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang bertahan selamat. "Itulah sebabnya,
perempuan-perempuan Batak yang cantik baru ada sekarang ini. Itu karena yang
cantik-cantik sudah mati dipancung atau diperkosa oleh Monjo, atau kelaparan
di hutan. Hanya perempuan-perempuan kuat dan berbadan tegap, yang umumnya
tak begitu cantik yang berhasil bertahan hidup di hutan. Makanya
perempuan-perempuan Batak sampai waktu yang cukup lama, umumnya tak cantik.
Sekarang saja, baru ada perempuan Batak yang cantik," kata Ibu Edith Dumasi
Br Nababan, yang masih saudara kandung dengan Dr SAE Nababan, mantan Ephorus
HKBP. 
Selain membenarkan adanya kisah mengenai Tingki ni Pidari yang disebutnya
sebagai masa kelam di Tanah Batak --seperti diceritakan oleh Parlindungan
dalam buku Tuanku Rao-- Ibu Edith Nababan yang juga istri Ir Sahat Lumban
Tobing (alm) ini mengatakan, kisah mengenai Pongkinangolngolan Sinambela
alias Tuanku Rao, adalah benar merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X.
Tapi karena Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah
datu di Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya maka
dia terusir hingga ke Minang. 



"Mertua dari mertua saya masih keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan saya
ada mendengar keberadaan Pongkinangolngolan sebagai bere Singamangaraja X,
yang membunuh tulangnya (paman – red) itu," kata mantan Ketua Pengadilan
Tinggi di Lampung yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan
Tinggi di Jawa Baratdan di Kalbar ini. 
Caranya, Pongkinangolngolan yang sudah begelar Tuanku Rao, mengirim pesan ke
Tulang-nya, untuk menerima pisau sebagai hadiah. Namun saat Tulangnya datang
dari Bakkara, Pongkinangolngolan memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya
hingga tewas (versi MO Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger
Siregar). 
Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara, dan
menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik
tentara. "Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi dari
ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi, yang berhasil
melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon," kata ibu Edith Nababan
(yang selanjutnya diwawancarai METRO). 



Saat epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah Batak.
Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah Sosorpadang, dan
sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang yang Islam. "Sampai saat
ini mereka tidak pernah diganggu," kata ibu yang saat ini menjabat sebagai
Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga Usia Lanjut) cabang Medan. 
Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah MO
Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal
bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD, sementara
Sutan Martua Raja sudah tua. 



Menurut ibu yang sudah berambut putih ini, orang Batak tidak tersinggung dan
tidak perlu dendam membaca buku Tuanku Rao. "Sejarah kelam di Tanah Tapanuli
jangan sampai menumbuhkan dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun
atas nama agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima
fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan mari
kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan kekerasan.
Karena sejarah memang sangat mungkin berulang," kata ibu yang saat masih
gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan Dairi...’

Demikian juga buku yang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap (BHH),
memaparkan penyerbuan tentara Paderi ke Simanabun yang dipimpin oleh Tuanku
Tambusai. BHH menuliskan a.l.: (lihat Weblognya:
http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog)



‘… Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu
Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang
ketidak-berperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi
karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan
perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil
menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala
macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda
jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya
terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian
melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi
kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun tidak
akan bisa diterima manusia beradab !!!

Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada
akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat,
berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak
lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan
Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya dengan
nyawanya sendiri…

Bahkan BHH menganggap dasar yang digunakan oleh panitia yang mengusulkan
gelar Pahlawan Nasional untuk Tuanku Tambusai tersebut naif dan menjatuhkan
harkat dan martabat Datu Bange. BHH menulis (Hlm. 67):
“… Pada masa itu daerah-daerah dataran tinggi yang penduduknya masih parbegu
dan sering membuat kekacauan seperti merampok dan mengambil Budak yang
meresahkan penduduk. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri keadaan itu dengan
melakukan gerakan terhadap kelompok parbegu tadi dipimpin oleh Datu Bange,
Raja Siminabun yang bentengnya terletak di atas puncak bukit terjal di
tepian sungai Batang Pane…”

BHH menulis bahwa Datuk Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima
aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi
mereka sudah memeluk Islam. BHH menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok,
melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas raya
yang dicintai rakyatnya. BHH juga menonjolkan peranan ulama-ulama Sufi
Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi
datang. (Hlm. 68)
Memang Islam telah masuk ke Sumatera Utara sejak abad 8, dan kebanyakan
beraliran Syiah. Selama ratusan tahun Islam dan agama asli Batak, Parmalim,
serta penganut Hindu-Buddha dapat hidup berdampingan dengan damai. 



Banyak kalangan –termasuk HAMKA- menolak isu tentang adanya pemerkosaan
massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian pasukan Paderi. Cerita
tentang bagaimana anggota Paderi melampiaskan nafsu syahwatnya secara
terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan
Parlindungan belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja
dipasang Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data
ilmiah. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama asli
Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka. Sedangkan dalam
bukunya, MOP menyatakan, bahwa Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek
buyutnya.



Mengenai penculikan kaum perempuan di daerah yang telah ditaklukkan dan
kemudian dijual sebagai budak, juga pernah ditulis oleh Rosihan Anwar di
harian Kompas edisi Senin, 06 Februari 2006 dengan judul ’Perang Padri yang
Tak Anda Ketahui’ , di mana tertulis:
“… Yang menarik ialah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan,
kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri
melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala
lazim…”

Di zaman penjajahan Belanda, perbudakan adalah hal yang resmi dipraktekkan.
Bahkan ada undang-undang perbudakan, yang berlaku sejak tahun 1640 dan
secara resmi baru dihapus tahun 1863. Namun pada kenyataannya, praktek
perbudakan di wilayah jajahan Belanda masih berlangsung hingga akhir abad
19. Demikian juga dengan perkosaaan terhadap perempuan di daerah diserang
dan telah dikalahkan atau diduduki. Hal ini masih terus terjadi hingga
sekarang. 



Dalam bukunya ‘Antara Fakta dan Khayalan’ -entah disadari atau tidak- HAMKA
banyak membeberkan tindak kekerasan dalam penyebaran beberapa aliran Islam
di Timur-Tengah, terutama yang dilakukan untuk menyebarluaskan sesuatu
aliran atau mazhab. HAMKA juga menuliskan kekejaman Tuanku Nan Renceh yang
sangat fanatik kewahabiannya, yang memerintahkan untuk membunuh adik ibunya,
karena tidak mau mengikuti sembahyang. (Hlm. 238)

Mengenai pakaian putih yang dikenakan oleh para ulama di Minangkabau, HAMKA
menulis, bahwa warna putih yang dikenakan oleh para ulama merupakan warisan
dari agama Buddha. HAMKA menulis (Hlm. 303): 
“… Bahkan warna putih itu mungkin sudah ada sejak orang Minangkabau masih
memeluk Agama Budha. Biksu-biksu Budha berjalan dengan pakaian selendang
putih meminta bakal (mungkin yang dimaksud adalah bekal – pen.) makanan
kepada penduduk. Setelah datang Agama Islam pusaka secara Budha itu
diteruskan oleh santri-santri di Minangkabau yang dinamai ‘Orang Siak’.:
Mereka bersarung putih, berbaju dan celana putih meminta sedekah bekal
mengaji tiap-tiap hari Kamis ke runah-rumah penduduk…”

Memang sulit untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau hal-hal yang
terjadi di masa lalu, dengan ukuran kemanusiaan sekarang. Juga apabila tidak
ada atau kurangnya data, fakta dan dokumen yang dapat memperkuat cerita
rakyat atau penuturan mengenai suatu peristiwa sejarah.

Referensi:
- Mangaraja Onggang Parlindungan, ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ Cetakan kedua, Penerbit LkiS,
Yogyakarta, 2007
- HAMKA, Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, 1964 
- Basyral Hamidy Harahap, ‘Greget Tuanku Rao.’ Penerbit Komunitas Bambu,
Jakarta, 2007.
- Beberapa Situs dan Weblog internet.

 

   _____  

From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
Behalf Of auliah azza
Sent: 25 Januari 2008 8:38
To: RantauNet@googlegroups.com
Subject: [EMAIL PROTECTED] Fwd: [ppiindia] Re: Kesimpulan Diskusi PERANG PADERI,
1803 - 1838

Dari milist tetangga sebelah. Di milist [EMAIL PROTECTED] belum sampai ?




No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.11/1242 - Release Date: 24/01/2008
20:32
 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Selalu mematuhi Peraturan Palanta RantauNet lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-palanta-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount

-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke