SUPERKORAN, May 4th, 2008 | Category: artikel

http://superkoran.info/?p=1754

Rabu, 30 April 2008.

Setiap pagi dalam perjalanan ke kantor, biasanya saya minta Ridwan pengemudi
yang biasa menjemput saya, untuk membeli sarapan nasi gurih atau lontong
sayur di dua tempat favorit saya yang tidak jauh dari tempat kos saya di
Rawa Sakti, Peniti. Sarapan tersebut biasanya saya santap di kantor setelah
menulis tugas-tugas hari itu untuk asisten saya Ayu, dara manis 21 tahun
asal Bireun yang cerdas, kritis sekaligus impulsif, dara yang selalu
mengenakan busana muslim yang modis dan genah. Hari Rabu itu,  saya minta
Ridwan untuk liwat warung nasi gurih langganan saya. Setelah memberi uang
sepuluh ribu rupiah untuk membeli dua bungkus nasi gurih untuk dia dan saya,
saya ikut turun dan minta Ridwan memesankan kopi Aceh pakai susu kental
manis buat saya.

Kopi dihidangkan di gelas kecil tanpa diaduk, sehingga pembeli dapat
mengaduk sendiri sesuai dengan kemanisan dan kegurihan yang diinginkannya
seperti yang saya lakukan ketika itu. Kopi Aceh aromanya tidak luar bisa,
tetapi ketika kopi yang diproses secara khusus itu melewati tenggorokan,
kita merasakan kenikmatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Karena
hanya memerlukan separuh dari susu kental yang ada di dasar gelas, saya
menyuruh Ridwan untuk meminta pemilik warung mengisinya kembali dengan kopi,
yang sepertinya baru selesai diproses sehingga busanya terlihat jelas di
permukaan cairan. Setelah saya aduk rata dengan susu, dalam bilangan detik
saya kembali merasakan sensasi di kerongkongan saya. 

Kamis, 1 Mei 2008, lewat tengah hari di Bandara Iskandar Muda.

Langit berawan, udara panas di ujung utara pulau Sumatera itu tentu saja
tidak terasa di ruang tunggu keberangkatan yang ber-AC itu. Angin semilir
tidak mampu menggerakkan pepohonan di sekitar kawasan Bandara. Penumpang
pesawat Boeing 737-400 Garuda GA 143 penerbangan Banda Aceh-Jakarta lewat
Medan terlambat boarding sekitar 20 menit.

Dalam sebuah suratnya kepada saya, Elceem mengibaratkan kehidupan bagaikan
perjalanan panjang sebuah kereta api jarak jauh. Di setiap setasiun, ada
yang masih tetap bersama kita, dan ada yang tidak.

Saya boarding dengan "one way ticket". Artinya kopi Aceh yang saya teguk
kemarin pagi di warung nasi gurih langganan saya,  sangat mungkin merupakan
kopi Aceh terakhir yang saya nikmati sepanjang hidup di sebuah warung kopi
di Aceh, dan Aceh, tempat saya bekerja selama lebih sembilan bulan terakhir
ini, akan merupakan setasiun yang akan segera dilewati oleh kereta kehidupan
saya. Kecuali beberapa hal yang masih harus saya sempurnakan di Jakarta,
seluruh tugas-tugas saya di Aceh sudah tuntas.  Insya Allah, tanggal 1 Juni
nanti, sebuah tugas baru menunggu saya di Semarang. 

Sebagai seorang yang memilih dan menikmati kehidupan asketik, rumah dan
keluarga adalah tempat yang paling teduh dan damai bagi saya di muka bumi
ini. Pulang ke rumah untuk cuti atau selesai tugas seperti ini adalah
saat-saat yang saya tunggu, kadang kala dengan perasaan tidak sabar. 

Tetapi pada saat yang sama hari itu saya juga merasa sedih. Hal itu
merupakan pertanda saya mencintai Aceh yang mungkin akan saya tinggalkan
untuk selama-lamanya, perasaan yang  sudah ada ada pada saya, jauh sebelum
saya bertugas di sana, yang tercermin dari posting-posting saya sejak enam
tahun terakhir ini. Cinta yang  tidak berkurang walaupun idealisasi saya
mengenai peranan Islam di Aceh ada yang perlu saya revisi berdasarkan
realitas yang saya hadapi sehari-sehari pelaksanaan syariat Islam di
Provinsi ini yang diformalkan dengan undang-undang.  

Walaupun saya bukan orang Aceh, saya termasuk yang gundah terhadap masa
depan Aceh, terutama setelah para LSM internasional pergi, dan dana miliaran
dolar berhenti dikucurkan oleh para sponsor dan lembaga donor, sementara
kehidupan mayoritas warga Aceh tidak banyak mengalami perubahan. Hal itu
tampak dengan meningkatnya kriminalitas dan perusakan lingkungan akibat
pembalakan hutan secara liar dan penggalian pasir dari sungai secara tidak
semena-mena yang juga melibatkan masyarakat setempat, yang berakibat
menurunnya secara drastis kuantitas dan kualitas air baku PDAM-PDAM di sana,
terutama PDAM Tirta Daroy di Ibukota Provinsi Banda Aceh.

Aceh itu daerah yang kaya SDA, tetapi rakyatnya miskin. Pendapatan regional
perkapitanya di luar minyak bumi waktu hanya sekitar USD 600, atau kurang
separuh angka rata-rata Indonesia. 

Kecintaan saya kepada Aceh juga akan diikat oleh kenangan terhadap indahnya
suara azan yang dikumandangkan dari menara-menara mesjid yang juga rata-rata
agung dan indah, atau kidung salawat kepada Sang Junjungan yang dilantunkan
dengan aksen lokal dari Masjid belakang rumah yang memukau dan mengharukan,
atau suara wirid di sebuah Masjid yang saya dengar seakan-akan berasal dari
alam yang lain.

Kecintaan saya kepada Aceh tentunya juga tidak dapat dipisahkan dengan cinta
altruistik saya kepada Ayu, yang dengan kecerdasan dan sensitvitasnya, saya
percaya pada suatu saat akan menjadi salah seorang Cut Nyak Dien masa kini
yang  waktu ini sangat dibutuhkan Aceh

Tidak lama kemudian, saya merasakan pesawat mulai bergerak, tetapi berhenti
sekitar 10 menit, sebelum masuk landasan pacu. Hal serupa yang sering saya
alami sebelum ini di Bandara Sukarno-Hatta, sesuatu yang sangat mengherankan
saya. Kalau pesawat dianggap belum aman untuk take-off, mengapa tidak
disuruh menunggu di apron saja dulu. Entah berapa liter avtur yang disuling
dengan biaya mahal dari minyak bumi yang bersifat irreversible dan harganya
semakin melangit, yang terbuang sia-sia saat pesawat harus menunggu sebelum
masuk landasan pacu. Pesawat udara kan tidak sama dengan mikrolet, yang
mesinnya dapat dihidup dan dimatikan sang sopir sesuka hatinya.

Kita ini bangsa miskin, tetapi cabar.  

Saya memilih seat dekat jendela kiri beberapa baris dari belakang sehingga
dapat menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau kecil di Utara Banda Aceh,
yang mungkin untuk terakhir kalinya.

Sejak peristiwa terbakarnya bangunan Bandara Polonia beberapa bulan yang
lalu, penumpang transit Garuda selalu diminta tetap tinggal di pesawat
selama pesawat berhenti di sana. Tidak lama terdengar suara Pilot dari
cockpit, yang meminta agar semua penumpang kembali ke tempat duduk tanpa
memasang sabuk pengaman, karena pesawat akan mengisi avtur. Penumpang juga
diminta tidak ke kekamar kecil dulu. Tetapi yang terjadi di kabin adalah
"business as usual". Seorang penumpang bule justru bangun dari tempat
duduknya dan bergerak ke kamar kecil tidak lama setelah pemberitahuan yang
dikumandangkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris baru saja menghilang dari
pendengaran, dan awak kabin terlihat cuek saja melihat hal tersebut. Anomali
ini juga agaknya mencerminkan budaya dan perilaku manusia Indonesia
kotemporer. Sang Pemimpin merasa telah melakukan tugasnya apabila sudah
mengatakan atau memerintahkan sesuatu, dan para pejabat di tingkat bawah
akan melaksanakan suka-suka sesuai dengan kondisi dan "mood"nya. Semua baru
ribut dan saling menyalahkan jika penyimpangan-penyimpangan di lapangan
berakibat fatal. 

"Mana mama?" tanya saya kepada anak sulung kami Iben yang mengambil alih
troli berisi bagasi dari tangan saya begitu saya keluar dari ruang
kedatangan Bandara Sukarno-Hatta. 

"Menunggu di depan," jawab Iben singkat. 

Saya segera sadar, pada usianya yang mendekati 60 tahun serta mengidap
beberapa penyakit tua, Kur tidak mampu lagi berdiri lama-lama di depan kaca
pembatas seperti sedia kala. Saya berjalan dengan cepat mendahului Iben, dan
ketika melihat Kur, dengan setengah berlari saya mendekat dan mendekapnya
erat-erat untuk melepaskan rindu yang nyaris membuat dada saya hampir pecah,
serta mencium dengan gemas dan dalam pipi perempuan yang sudah hampir 42
tahun menjadi istri, teman dan kekasih saya, pipi yang sudah mulai berkerut
di makan usia dan digelayuti lemak. Tetapi cinta dan rasa sayang kepadanya
saat ini jauh lebih besar dari pada ketika saya baru menyuntingnya di
usianya yang baru 17 tahun, atau pada saat tahun-tahun ia berada puncak
kecantikan dan kematangannya sebagai wanita di usia antara 30 - 40 tahun. 

Dan pada saat itu sebuah setasiun, baru saja dilewati kereta kehidupan saya.


Wassalam, Darwin 

Depok, 4 Mei 2008    

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke