Selamat pagi kanda ZulTan di Bogor, Wah pertanyaannya kelas berat semua, seperti sedang dalam kelas Teknik Editing atau Apresiasi Prosa :)
Cerpen "Boyon" ini pertama kali muncul di Koran Tempo Minggu, dengan editor (tamu) sastrawan Nirwan Dewanto. (Kalau tidak salah, sampai sekarang Nirwan masih di posisi ini). Syarat teknis cerpen koran yang maksimal 10.000 karakter membuat versi koran agak sedikit berbeda dengan cerpen asli yang hampir 15.000 karakter, atau 1,5 kali lebih panjang. Secara umum, cerpen tak ubahnya seperti Asinan Bogor atau Pecal. Di Cibubur ada Asinan Bogor Ibu Yenny yang terkenal (bukan Asinan Bogor Ibu "Non-Yenny"). Di Bukittinggi, ada Pical Si Kai. Kalau kedua kandungan makanan ini dianalisis ahli nutrisi atau ahli gizi secara cermat, mungkin tak ada lagi orang yang mau berkunjung makan. Tapi seringkali enaknya makanan bukanlah tergantung pada pengetahuan si pencecap tentang komposisi karbo, protein, dll. Horace mempostulasikan sifat ini dalam sastra sebagai "dolce et utile" (manis dan berguna). "Manis" adalah sebuah kondisi yang berbeda dengan "normal". Kadar "manis" pun berbeda bagi setiap orang. Begitu juga dengan "berguna". Apa yang menurut Horace "berguna" dari sebuah karya, mungkin kurang gunanya bagi pembaca lain. Tetapi, secara rata-rata, pembaca/pendengar/penonton paling awam bisa mengetahui mana karya sastra/film/musik yang "manis dan berguna". Karya-karya yang "benar" secara aturan gramatika, seringkali menjadi "klinis", kering, dan akibatnya, tak memenuhi kaidah "dolce et utile". Itu sebabnya sastra bisa menerima gaya penulisan "mubazir" yang disebut Pleonasme, bentuk majas yang "lebay" meminjam istilah anak muda sekarang. (Badu maju ke depan, contohnya. Masak sudah jelas "maju" masih perlu ditambah "ke depan" pula, menurut logika bahasa yang efektif. Tapi dalam konteks sebuah karya ini yang menjadi "manis"-nya karya itu). Ada contoh lucu tentang seseorang yang punya kebiasaan menakar pemakaian bahasa secara kritis, ketika orang ini berkunjung ke pasar. Dia mampir ke sebuah los penjual ikan yang memasang tulisan "DI SINI JUAL IKAN SEGAR" yang ditulis indah untuk menarik minat pembeli. Sang "kritikus" langsung bertanya, "Kemarin saya lihat belum ada tulisan itu, kapan dipasangnya? Dan apa gunanya?" "Memang baru dipasang Tuan," jawab penjual ikan. "Semoga semakin banyak pengunjung pasar ini yang membeli ikan saya setelah membaca tulisan itu." "Tetapi itu mubazir," jelas Sang Kritikus. "Semua pengunjung pasar ini tahu bapak menjualnya di sini, bukan di sana. Jadi mengapa harus ada tulisan DI SINI? Coba bapak pikirkan." Seperginya Sang Kritikus, penjual ikan memutuskan bahwa pendapat itu benar, sehingga dia memotong bagian kayu yang bertuliskan kata "DI SINI", sehingga yang tersisa hanya "JUAL IKAN SEGAR" Keesokan harinya Sang Kritikus datang lagi ke los ikan itu, melihat pada tulisan yang sudah lebih pendek dan bertanya kepada si penjual ikan, "Jadi selama ini bapak menjual ikan TIDAK segar ya?" Kagetlah si penjual ikan sampai berteriak, "Demi Allah dan RasulNya, tak pernah sekali pun saya menjual ikan busuk yang menipu pembeli." "Kalau begitu untuk apa ada kata SEGAR di sana?" tunjuk Sang Kritikus pada kalimat di atas kepalanya. Sepulangnya Sang Kritikus, penjual ikan yang merasakan ada benarnya pendapat itu, memotong tulisan SEGAR, sehingga kini yang tersisa hanya JUAL IKAN. Besok harinya, Sang Kritikus kembali ke pasar itu. Sambil melewati los ikan, dia berkata kepada sang penjual, "Saya tidak tahu kalau sebelum ini bapak selalu memberikan gratis ikan-ikan kepada orang lain." Bingunglah si penjual ikan dan bertanya, "Kenapa bapak berpikir begitu? Bukankah bapak tahu bahwa ini pasar, tempat jual beli." "Kalau begitu kenapa harus dijelaskan dengan kata JUAL," sambar Sang Kritikus. "Bukankah tanpa tulisan itu pun orang-orang tahu bahwa bapak menjual ikan, bukan membagi-bagikan dengan gratis?" Maka untuk ketiga kalinya si penjual ikan pun menghilangkan tulisan itu sehingga hanya tersisa kata "IKAN" saja. Selesai? Belum sama sekali. Keesokan harinya lagi Sang Kritikus yang lewat di depan los ikan memanggil seorang anak kecil yang ada di dekatnya, membuat si penjual ikan bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Zang Kritikus. Rupanya lelaki itu bertanya kepada sang bocah, "Nak, kau tahu hewan apa itu?" katanya sambil menunjuk pada tumpukan ikan si penjual. "Ikan," jawab si anak. "Nah, bapak lihat sendiri bukan," ujar Sang Kritikus kepada si penjual ikan, "bahkan anak kecil pun tak perlu dibantu dengan tulisan IKAN untuk tahu bahwa yang bapak jual adalah ikan. Kecuali bapak menjual hewan yang namanya tak diketahui pengunjung pasar, maka tak ada guna sama sekali tulisan IKAN itu masih bapak pampang selain menunjukkan kemubaziran saja." Akhirnya pada akhir hari yang malang itu, sembari membereskan los dagangan, si penjual ikan membuang kata terakhir IKAN di losnya ke dalam tong sampah bersama sisa-sisa kotoran ikan. Moral of the story: jangan berjualan ikan pada kritikus bahasa, juallah pada ibu-ibu rumah tangga yang membutuhkan, hehehe.... Selamat berakhir pekan bersama keluarga Kanda ZulTan. Salam, Akmal Nasery Basral Cibubur Sent from my iPad2 On Sep 1, 2012, at 5:12 PM, "ZulTan" <zul_...@yahoo.com> wrote: > > > Sanak Akmal YSH, > > Ambo yo salut dengan Sanak. Ndak sumbarang panulis bisa cerpennyo dimuek di > Kompas Minggu. Sanak Akmal lah mambuktikannyo. Iko cito-cito ambo sajak sari, > namun aluh panah kasampaian. Alun ciek juo cerpen ambo nan ambo kirim ka > Kompas karano memang alun panah manulis cerpen. Hampia tiok tahun ambo > mambali kumpulan Cerpen Pilihan Kompas terbitan Gramedia. "Bilolah kamasuak > namo ambo di situ?" > > Baa triknyo mambuek cerpen tu Sanak Akmal? > > Ambo suko cerpen Boyon ko karano ndak banyak kato-kato babungo sarupo: angin > semilir, bulan tersenyum di balik awan yang merekah, derik pintu menikam > keheningan malam, matahari bersinar lembut, dlsb. Bukannyo ambo alergi hanyo > kadang-kadang bakalabihan. > > Ambo bisa sajo bakomentar "mantap" taradok Si Boyon ko, tapi ambo ndak dapek > baraja dari siko. Dek ingin baraja itulah, makonyo ado babarapo partanyaan > satantang Si Boyon ko. > Satiok pertanyaan ambo dahului jo kutipan yang marupakan penggalan kalimat > dari Cerpen Boyon. > > Kutipan: > "... di desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya." > > Apakah nasinya atau masakannya yang terkenal lezat? Tentu kelezatan nasi > Kapaunya. > > Kutipan: > "... kontraksi perut ibu berlangsung lebih cepat tiga pekan dari perkiraan. > Malam harinya ibu melahirkan dengan bantuan bidan." > > Kapan Boyon lahir? Apakah sudah ada cara mendeteksi kelahiran pada masa itu? > > Belakangan saya dapat perkirakan si Boyon lahir antara tahun 1970-1971. Ini > saya duga dari saat dirilisnya film Catatan Si Boy tahun 1987, Si Boyon baru > masuk SMA, umur 16 tahun. > > Apa iya, tahun 1970, sudah dapat diperkirakan kapan seorang ibu hamil > melahirkan, yang tinggalnya jauh dari peradaban moderen? Apakah dihitung > sejak bulan tidak haid? Bisakah tahu tiga minggu lagi? > > Kutipan: > "... Tentu saja aku tak ingat kejadian itu kalau tidak diceritakan lagi oleh > ibu." > > Ada dua kata yang terasa kurang pas: ingat dan lagi. "Tidak ingat" berarti > sesuatu pernah diketahui pada masa lalu dan kini lupa. Tidakkah kata "tidak > tahu" lebih cocok di sini. > > Kata "lagi" dalam konteks itu, tentu "bercerita kembali". Apakah memang > demikian? > > Tidakkah kalimat di bawah ini lebih cocok untuk menggambarkan kalimat di atas. > > "... Tentu saja aku tidak tahu kejadian itu, jika ibu tidak pernah > menceritakannya." > > Kutipan: > '"Nama yang bagus, tapi ..." Ayah jelas tak setuju.' > > Kenapa kata "jelas" yang digunakan. Kata ini memberikan makna "kepastian", > padahal Ayah belum menyelesaikan kalimatnya. Entah apa yang akan dikatakannya > sesudah itu. Apakah kata "tampaknya", "seperti", atau "seakan" tidak lebih > sesuai. "Ayah tampaknya tidak setuju." > > Kutipan: > "Setelah beberapa detik gagal menemukan kata-kata yang pantas, sikap ayahku > yang gadang ota,..." > > Apa fakta yang telah diungkapkan sejauh ini, sehingga pembaca dapat menerima > kesimpulan si Boyon (si Penulis) bahwa Ayahnya "gadang ota"? > > Selain itu, saya melihat kata "gadang ota" terlalu dipaksakan hadir dalam > kisah ini. Setidaknya, kata ini diulang tiga kali. Bahkan, ada satu alinea > sampai mengulangnya dua kali. Jika perilaku ayah digambarkan dengan tepat, > sifat "gadang ota" ini tentu dengan sendirinya akan muncul dibenak pembaca. > Kepulangan Ayah ke tanah air karena takut polisi, bagi saya lebih cocok > disebut "gadang kalang" daripada "gadang ota". > > Kutipan: > "... ayah menjentikkan jarinya seperti mendapatkan ilham." > > Saya bertanya, apakah seseorang akan "menjentikkan" jarinya ketika mendapat > ilham? > > Apakah maksudnya menggesekkan ibu jari dan jari manis hingga mengeluarkan > bunyi? > "Menjentikkan" biasanya digunakan ketika mengusir lalat yang hinggap di bibir > gelas atau ketika guru menghukum murid. > > Kutipan: > "Pendidikan ayahku yang kandas setingkat kelas 4 Ibtidaiyah,..." > > Bukankah kata-kata "setingkat" dan "kelas" kedua-duanya bermakna serupa? > Tidakkah jadi "redundant" alias mubazir? > > Menurut saya dapat saja keduanya digunakan dalam satu kalimat dalam makna > yang berbeda jika kalimatnya seperti ini, "Pendidikan ayahku kandas di kelas > 4 Ibtidaiyah, setingkat Sekolah Dasar di kota-kota." > > Kutipan: > "SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, teman-teman memanggilku Boyon. Aku > merasa biasa saja, .." > > Ada dua kata yang ingin saya tanyakan. Satu, kata "SEWAKTU". Apakah sebelum > SD, Boyon tidak dipanggil "Boyon"? Kedua, "Aku merasa biasa saja, ..". Ucapan > ini membingungkan. Bukankah memang seharusnya dipanggil Boyon? Lain jika di > SD itu ia dipanggil "Bonyok", lalu bersikap "biasa saja" wajar adanya. > > Kutipan: > "Menjelang pucuk malam,... Sedangkan guru mengaji yang rajin berkhalwat > kepada Allah Ta'ala itu kuintip tengah mengerjakan shalat malam." > > Jam berapa "pucuk malam" itu? Saya menangkapnya pukul 00.00. Jika pengertian > "pucuk malam" seperti pemahaman saya, tentu guru mengaji ini melakukan amalan > yang tidak ada contohnya. Namun pertanyaan saya tentu tidak relevan jika > "pucuk malam" diganti dengan "selepas tengah malam" atau di "sisa malam". > > Kutip: > ".., wajahku terlihat lebih mirip Emon karena rambut ikalku serta postur > dengan berat 82 kilogram dan tinggi 164 sentimeter. Terlalu berat?" > > Apakah tepat menggambarkan wajah mirip karena rambut, berat dan tinggi badan? > Bukankah penggambaran wajah dengan elemen rambut dan bobot badan, lebih > menggambarkan postur "ketimbang" wajah. "Postur tubuhku lebih mirip Emon." > > Selain itu kata "terlalu berat" jarang kita dengar digunakan dalam > mencocokkan seseorang dengan orang lain. Biasanya digunakan kata-kata > "terlalu gemuk, terlalu besar, atau terlalu tinggi". > > Kutipan: > "... Jangan lupa aku berasal dari Kapau. Kalau baru menyantap sepiring nasi, > rasanya seperti baru makan sehelai roti. > > Jumlah kehadiranku di dalam kelas sebanding dengan jumlah ketidakhadiranku..." > > Apa yang saya lihat dari kutipan di atas? Ini adalah dua alinea yang tidak > berada dalam satu ide alur cerita. Ada loncatan berpikir/ide. Jika benar, > tidakkah seharusnya ada tanda bintang tiga (***) sebagai pemisahnya pada > baris tersendiri? Atau dapat pula menandakannya dengan kata pertama aliena > kedua tadi dengan huruf kapital. Dalam hal ini, "JUMLAH kehadiranku..." > > Kutipan: > "Saat pengumuman kelulusan SMA diumumkan, ...". > > Tidakkah pengulangan kata "umum" terkesan pemborosan dan dapat menyebabkan > pembaca bosan? > > Tidakkah lebih sederhana kalimat seperti ini, "Saat kelulusan SMA diumumkan, > ..." > > Kutipan: > '"Idih, jorok sekali sih namamu," teriak salah seorang. Aku jadi malu setelah > seseorang membisiki betapa mengerikannya ...' > > Hal serupa juga saya temukan pada dua kalimat ini. Mengulang kata "orang" > dalam kalimat-kalimat yang berdekatan. > Bagaimana jika diubah menjadi; '"Idih, jorok sekali sih namamu," teriak > seseorang. Aku jadi malu setelah ada yang membisikiku betapa mengerikannya > ...' > > Kutipan: > "... Jacky Chan..." > > Bolehkah mengganti nama tokoh nyata seperti Jakie Chan menjadi Jacky Chan? > Atau memang kesalahan ketika belaka. > > Kutipan: > > "Tinggi tubuhku terdongkrak 2 senti dari 164 menjadi 166 cm." > Perlukah memberikan kalimat matematis seperti ini? Tidakkah cukup mengatakan > "Tinggi tubuhku terdongkrak 2 senti menjadi 166 senti" tanpa menyebut ulang > angka 164? Saya pernah melihat iklan yang menggunakan seleb top tapi masih > menuliskan namanya pada iklan tersebut. Ini memberi kesan pemirsa/pembaca > itu "tidak pintar". > > Kali ini tanpa kutipan. > Ada fakta yang terlihat janggal. Di masa pertumbuhan, sejak usia masuk SMA > hingga kuliah si Boyon tidak bertambah tingginya, tetap 164. Ketika kuliah, > ia sampai memerlukan kursus ortopedi, padahal ini masih dalam usia > pertumbuhan (18-19 tahun). Demikian pula beratnya, tidak naik tidak turun > sejak itu; 82 kg sejak dulu. Apakah ini kealpaan si Penulis? > > Kutipan: > "Dia menulisnya sudah lama sekali. Pesannya tolong diberikan kepadamu jika > dia meninggal." > > Apakah penggunaan kata "lama sekali" sudah benar di sini? Kata lama sekali > memang relatif karena tergantung konteks. Surat almarhum Ayah ditulis dua > tahun menjelang wafat. Ini saya tahu dari tanggal surat menjelang Boyon lulus > SMA dan wafat saat di tingkat dua. Tampaknya kata "lama sekali" kurang tepat > untuk periode singkat tersebut. Namun, entahlah bagi orang tua di kampung. > > Tanpa kutipan. > Pertanyaan lain, apakah kata seperti "ayah" dan "ibu" di sini tidak sebaiknya > ditulis dengan huruf awal kapital (Ayah/Ibu) karena ditujukan kepada orangtua > Si Boyon, guna menggambarkan rasa hormat? > > Ada beberapa kata asing yang seharusnya dicetak miring, tapi di sini tidak. > Sumuk, keren, ngaji, nongkrong, modern, dan > bagal. Apakah ini memang lazim dalam penulisan cerpen? > > Demikian pula kata-kata seperti: sedang, maka, yang, dan tapi, apakah boleh > jadi awal kalimat? (Saya bisa maklum bila itu merupakan ucapan langsung, > tentu tidak mengapa.) > > Demikianlah pertanyaan-pertanyaan orang yang ingin belajar, Pak. Banyak maaf. > > Salam, > ZulTan, L, Bogor > > Action cures fear. > From: "akmal n. basral" <an...@yahoo.com> > Sender: rantaunet@googlegroups.com > Date: Thu, 30 Aug 2012 23:44:53 -0700 (PDT) > To: rantaunet@googlegroups.com<rantaunet@googlegroups.com> > ReplyTo: rantaunet@googlegroups.com > Subject: [R@ntau-Net] (OOT) Cerpen "Boyon" > > Sanak sapalanta nan budiman, > talampia adalah cerpen ambo "Boyon" (2006) nan ado dalam kumpulan cerpen "Ada > Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku", antologi nan masuak long list > Khatulistiwa Literary Award 2007. > > Iko bacaan ringan untuak akhia pakan. > > Mangingek ambo lahia dan gadang di Jakarta, mohon maaf jiko ado detail kisah > tentang kampuang nan indak sasuai.(Saluruah namo urang dan tampek dalam kisah > ko iyo hasil imajinasi ambo sajo). > > http://athinktokill.blogspot.com/2008/10/boyon.html > > Tapi ruponyo kisah ringan ambo ko dibedah serius oleh surang mahasiswi > Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, banamo Puji Pramesti dengan judul > "barek" manjadi "A Portrait of Human Culture Toward Nature: An Ecocritical > Analysis of The Short Stories by Akmal Nasery Basral" > > Pengantar > http://repository.upi.edu/abstrakview.php?no_abstrak=1009 > > Abstrak > http://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351__abstract.pdf > > Metodologi > http://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351_chapter3.pdf > > Kesimpulan > http://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351_chapter5.pdf > > > Salam, > > Akmal Nasery Basral > Cibubur > > * * * > > Cerpen > > BOYON > Akmal Nasery Basral > > > NAMAKU Boyon. Jems Boyon. Nama ini diberikan ayah setelah menonton film yang > dibintangi Sean Connery di bioskop lusuh Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera > Barat. Atau lebih tepatnya, setelah ayah dan ibuku yang hamil tua menonton > film itu. Mereka tidak tinggal di Bukittinggi melainkan sekitar 14 kilometer > ke arah Payakumbuh, di desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya. > Mungkin karena perjalanan yang cukup jauh, kontraksi perut ibu berlangsung > lebih cepat tiga pekan dari perkiraan. Malam harinya ibu melahirkan dengan > bantuan bidan. > > "Aku ingin namanya Hatta, agar sikapnya harum wangi seperti proklamator > kita," kata ibu sembari berulang kali menciumi pipiku. Tentu saja aku tak > ingat kejadian itu kalau tidak diceritakan lagi oleh ibu. > > "Nama yang bagus, tapi ..." Ayah jelas tak setuju. Setelah beberapa detik > gagal menemukan kata-kata yang pantas, sikap ayahku yang gadang ota, alias > omong besar, tak bisa disembunyikan lagi. "Pak Hatta hidupnya terlalu > sederhana. Aku tak mau anakku hidup menderita di jamannya." > > "Kalau begitu...Hamka?" > > "Itu lebih berat lagi. Nama ulama besar jangan sembarang diberikan. Kalau > tidak kuat, anak kita bisa gila." > -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/