Sanak Akmal NB, Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu
Saya makin paham atas penjelasan tadi bahwa cerpen itu tidak harus kaku. Mungkin selama ini saya terlalu baku sehingga sulit merangkai sebuah kisah agar layak dihadirkan. Namun, bagi saya sebuah cerita yang melibat satu saja fakta nyata haruslah konsisten dengan fakta-fakta nyata berikutnya sampai kisah diakhiri. Sebuah cerita haruslah benar-benar hidup, melibatkan emosi, masuk akal, hingga terkesan seperti kisah nyata. Bacalah cerpen Dawam Rahardjo,"Si Gila dari Dusun nCuni" yang dimuat di KOMPAS Minggu, mencerminkan apa yang saya maksud. Cerita yang baik haruslah dapat dijadikan sebagai hadiah yang setimpal bagi pembaca yang telah meluangkan waktu untuk membacanya dan mungkin juga telah membelinya. Saya sangat jarang membaca cerpen, novel, atau pun Kho Ping Hoo, termasuk Cerpen Minggu di Kompas karena enggan meluangkan waktu untuk itu. Namun, saya terbantu ketika membaca Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tanpa khawatir akan kehilangan waktu karena cerpen yang ada hasil seleksi yang cukup ketat. Walau saya mengatakan jarang tidak berarti tidak pernah. Sekali waktu, saya sempat membaca karya IYUT FITRA yang ditulis di Payakumbuh tahun 2005 dan dimuat pada edisi KOMPAS Minggu, 30 Oktober, dengan tajuk "Langit Malam". Saya beruntung karena saya menyukainya. Cerpen itu saya ketik ulang dan tersimpan di komputer saya hingga entah kapan. Bagi saya, sekali lagi, bagi saya, cerpen yang baik haruslah mendorong lahirnya komentar pembaca seperti, "kok bisa ya! Kok kepikiran ya bikin cerita gini!" Atau "luar biasa..." dan ia pun berkeinginan berbagi kisah ini dengan orang lain. Jika tidak, berarti itu cerpen "hambalala"1). Sanak Akmal YSH, Jujur, saya baru pertama kali mendengar kisah Kritikus dan Tukang Ikan tadi. Cerita yang bagus. Pesan moralnya adalah "Don't believe everything you hear." Ini, tentulah bukan cerita "hau-hau"2). Saya teramat penasaran dan ingin tahu siapa Kritikus "lebay" ini sebenarnya. Setelah tanya sana-sini akhirnya saya tahu Kritikus Sastra Senior yang berasal dari Jawa Tengah ini suatu ketika pernah di karantina di sebuah rumah sakit jiwa karena kritik-kritik yang dilontarkannya terlalu pedas dan tajam, keluar dari norma-norma kepatutan, etika dan tata krama, tanpa mengindahkan perasaan si penulis. Menurutnya "triangle" ilmu sastra meliputi kritik sastra, teori sastra dan sejarah, bila dapat berjalan normal, fungsional dan optimal, maka kemajuan ilmu sastra dapat tercapai. Idealis memang. Namun demikian, beberapa rekannya menganggap Kritikus ini rada ”sedeng”. Hasil pemeriksaan psikater menyarankan supaya memberikan buku-buku untuk membantu percepatan penyembuhannya selama masa karantina. Setiap tiga hari kitikus "gaek" ini dikirimi berbagai buku, terutama yang berkaitan dengan sastra. Beliau mampu melahap 2-3 buku hanya dalam tiga empat hari saja, lalu mengkritiknya. Empat lima buku dikirim, seminggu selesai lalu dikritik. Demikian seterusnya. Tak ada yang luput dari kritikannya. Aneh, ”sakit”-nya tambah menjadi-jadi. Teman-teman dan keluarga kewalahan buku apalagi yang sebaiknya dikirim. Akhirnya diputuskan untuk memberikan sebuah buku yang agak tebal agar dibaca lebih lama. Setelah tiga hari tidak ada kabar darinya meminta buku baru seperti biasa. Selang dua minggu kemudian demikian pula; tak ada permintaan. Temannya jadi penasaran dan membezoeknya didampingi teman lain. Setelah menanyakan keadaan si Kritikus, teman itu bertanya, ”Bagaimana dengan buku yang dikirim dua minggu lalu, Pak?” ”Saya masih membacanya!” ”Kenapa sekarang Bapak membaca lebih lama dan tidak seperti biasanya?” tanyanya lagi. ”Buku ini unik. Terlalu banyak tokoh yang terlibat. Pola hubungan antara satu tokoh dengan tokoh lain tidak dijelaskan. Alur ceritanya melompat-lompat. Peran masing-masing tokoh sangat samar. Tak ada karakter yang menonjol. Si apa ayah, siapa ibu, mana anak? Siapa yang lebih muda, lebih tua, dll, sulit ditebak. Mungkin harus dibaca berulang baru bisa dipahami,” katanya antusias. ”Satu-satunya hal yang paling jelas adalah domisili masing-masing tokohnya,” lanjutnya. ”Baik Pak,” katanya sambil mengangguk-angguk. ”Silakan Bapak lanjutkan membacanya dan kami mohon pamit.” Setelah di luar ruangan, si pendamping yang sejak tadi diam bertanya penasaran, ”Buku apa sih yang diberikan?” ”Buku telepon,” kata temannya tak acuh! Salam, ZulTan, L, Bogor Bahasa Minang: 1. "Hambalala": tak ada rasa apa-apa 2. "Hau-hau": asal-asalan, sembarangan Action cures fear. -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/