http://indrapiliang.com/2012/11/04/iko-jaleh-piaman-5-/

Iko Jaleh Piaman (5) 
Minggu, 4 November 2012
Iko Jaleh Piaman (5) 

Oleh
Indra J Piliang * 

Saya
 pernah beberapa kali ke luar negeri. Kalau tidak benar-benar streg, 
saya tidak berangkat. Acap kali saya menolak pergi ke luar negeri, walau
 sudah diperintahkan kantor atau ditugaskan partai. Ada-ada saja alasan 
saya menolaknya. Bagi saya, Eropa, Amerika dan Australia tidak terlalu 
menarik, mengingat informasi yang ada di sana banyak hadir. Makanya, 
saya pergi ke China, Thailand atau Malaysia, negara yang masih memiliki 
kemampuan yang baik. 


Bahkan, saya pernah menolak beasiswa ke 
Amerika Serikat, setelah selesai kuliah S-1 di Universitas Indonesia. 
Alasannya sederhana, membalas budi orangtua saya yang memang serba 
berkekurangan, berikut adik-adik dan kakak-kakak saya yang tidak 
berpendidikan sarjana. Saya satu-satunya sarjana di keluarga saya, 
bahkan sudah magister. Makanya saya kurang begitu berminat melanjutkan 
ke program S-3, walau mampu secara ekonomi dan otak. Saya tidak ingin 
larut dalam ribuan buku, ketika keluarga besar saya terkadang sulit 
berkomunikasi dengan saya, lelaki yang berbahasa “akademis”. 


Walau begitu, tentu saya masih ingin sekolah empat atau lima tahun lagi, 
mengejar gelar doktoral. Tapi biarlah suatu hari, masa itu akan datang. 
Fahmi Idris menamatkan gelar doktoralnya setelah pensiun dari menteri 
dan sejumlah jabatan di perusahaannya. Tidak masalah benar. Dulu, waktu 
pertama kali bertemu warga di kampung, dalam masa pemilu legislatif 
2008, saya terpaksa belajar ulang. “Kami tidak mengerti bahasamu,” 
begitu kata tetua di kampung. Bagi saya, ketika warga tidak paham apa 
yang saya sampaikan, sulit membuat perubahan, sekecil apapun. 


Karena itu pula, saya selalu merasa berbahagia dalam hidup. Gairah saya kuat 
ketika menghadapi mahasiswa yang hendak kuliah atau mengejar ilmu 
pengetahuan. Biasanya, saya mendorong dan membantu semampunya. Indonesia memang 
masih kekurangan para sarjana. Kekurangan lapisan sarjana ini 
memicu kepada keterbatasan dalam memahami ilmu pengetahuan dan 
teknologi, termasuk di bidang politik. Skandal ijazah palsu menampar 
dunia politik, lebih karena gengsi yang dikandungnya. 


Tema 
kampanye saya selama pemilu legislatif 2008-2009 adalah membangun sebuah 
universitas di Sumbar II. Sumbar II meliputi Kota Pariaman, Kabupaten 
Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten 
Pasaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota. Meman, ada 
universitas di Bukittinggi, tetapi kalah menarik dari Universitas 
Andalas di Kota Padang, misalnya. Sebagai alumni universitas, saya 
merasakan bagaimana pendidikan mengubah banyak hal dalam pola pikir 
saya.

*** 


Pariaman memiliki kemampuan untuk dijadikan 
sebagai kota pendidikan. Syarat masyarakat kosmopolit dan rasional sudah 
terpenuhi, bahkan sebelum menjadi kota otonom. Dibandingkan dengan 
daerah-daerah lain, jarang kita menemukan rumah besar bak istana di kota 
Pariaman. Di bagian Indonesia yang lain, rumah besar itu sering ada, 
sekalipun di daerah itu sama sekali belum terdapat universitas. 
Kehadiran rumah besar bak istana adalah pertanda suburnya monarki dalam 
artian sempit. Syukurlah, Kota Pariaman tidak terkena dampak rumah bak 
kastil itu. Masih ada toleransi, bahkan bagi perantau yang memiliki 
kekayaan lebih. 


Ada beberapa lapau di Kota Pariaman dijadikan 
sebagai pangkal bagi segala isu politik dan pemerintahan. Saya 
membayangkan, lapau-lapau itulah yang dulu di Eropa menghasilkan 
Renainsance atau Aufklarung atau zaman pencerahan. Tinggal bagaimana 
lapau-lapau itu mengubah diri sebagai cafe-cafe yang nyaman, lalu secara rutin 
menggelar diskusi-dikusi rumit. Siapapun bisa datang, mulai dari 
filsuf dadakan, mahasiswa abadi, tuanku yang sedang jeda mengaji atau 
para guru dan dosen perguruan tinggi. 
Kemampuan masyarakat 
Pariaman untuk memperbincangkan segala sesuatu yang baru, unik dan aneh, memang 
luar biasa. Tidak terjebak dalam kultur yang jumud yang dibawa 
oleh para parewa dan pandeka yang kalah berkelahi. Kalau perlu, 
cafe-cafe khusus itu dibangun di enam pulau yang ada di pantai Pariaman, lantas 
setiap pekan atau bulan menggelar diskusi-diskusi khusus. Saya 
yakin, akan banyak manusia unik dari Indonesia atau luar negeri yang 
datang. Manusia-manusia yang sudah selesai hidupnya, akibat pengalaman 
panjang dalam mencerna kehidupan. 


Sambil memandang bintang di 
langit, diskusi apapun bisa terjadi. Bukan hanya tentang manusia dan 
alam, tetapi juga “alam” sesudah kematian atau apa yang ada di langit. 
Itu juga yang pernah saya tanyakan kepada seorang guru agama di SMA 2 
Pariaman, ketika membahas surat Az-Zumar yang saya lupa ayatnya. “Pak 
Guru, berarti di angkasa itu adalah mahkluk selain manusia?” Jawaban 
guru itu hadir di kepala saya, “Ada.” Diskusi seperti itu bisa menarik, 
apabila menghadap-hadapkan ahli-ahli agama dengan ahli-ahli luar 
angkasa. 

*** 


Perkembangan ekonomi di kawasan utara 
Sumatera Barat membawa anak-anak mudanya sekolah ke Padang, Pekanbaru, 
Medan dan luar Sumbar. Alangkah bijaknya kalau Kota Pariaman menyediakan diri 
sebagai salah satu shelter atau stasiun ilmu. Pembangunan sebuah 
universitas menjadi penting, di bidang yang disesuaikan dengan kebutuhan masa 
depan.  Memang, bukan pekerjaan yang mudah. Ada banyak tahapan 
rumit yang perlu dilalui, misalnya mempersiapkan masyarakat akan 
kehadiran ribuan mahasiswa dan keluarganya dengan segala macam 
kurenahnya. 


Namun saya yakin, batu demi batu bisa disusun, bagi 
menyambut kehadiran universitas itu. Pemerintah daerah bisa mengambil 
peran dengan terlebih dahulu mengedepankan kebijakan yang terkait dengan ilmu 
pengetahuan. Bukankah anggaran pendidikan nasional sudah mencapai 
20% dari APBN? Dana-dana seperti ini bisa dialirkan ke 
komunitas-komunitas ilmu pengetahuan di Kota Pariaman. Para perantau 
yang sudah dikenal kaya-raya juga tidak akan segan-segan memberikan 
sumbangan, sebagaimana dulu kelahiran universitas di Eropa, Amerika 
Serikat dan Jepang, termasuk nobel-nobel ilmu pengetahuan. 


Dalam 
diskusi menyambut serial tulisan “Iko Jaleh Piaman!” ini, ada beberapa 
email yang menurut saya paten. Ada yang bilang merindukan Yogyakarta 
yang memicu atraksi budaya lokalnya. Dalam pikiran saya, tidak sulit 
untuk membuat semacam Malioboro van Pariaman di salah satu jalanan. 
Sudut jalanan itu bisa didisain untuk menunjukkan kesenian daerah saban 
hari dan malam. Talempong, rabab, gandang tasa, indang, sampai KIM dan 
segala macam kesenian lokal bisa ditampilkan, berikut tari-tarian, 
kuliner dan kuda bendi sebagai satu-satunya kendaraan yang boleh masuk 
kawasan itu. 


Pariaman memiliki banyak kesenian daerah, 
sebagaimana Yogya memiliki. Pariaman juga punya pantai yang tak kalah 
dari Pantai Kuta di Bali. Kalau Bali punya Pecalang sebagai anggota 
masyarakat adat yang menjaga keamanan di tingkat desa adat, maka 
Pariaman bisa juga memberikan tempat kepada pandeka yang berpakaian 
khusus dan terlatih untuk itu. Dengan tumbuhnya masyarakat yang seperti 
itu, kehadiran sebuah universitas tinggal menunggu waktu. Pariaman tak 
lagi langang, melainkan rami, sekalipun bukan di hari Assyura.
Akankah kita punya komitmen tentang itu? 

*) Tidak pernah mimpi bisa kuliah di UI. 

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke