Da Akmal

dgn tgl 9 malam sampai tgl 11 November 2012 manjago stand kito ko ado babarapo 
mahasiswa dan umum ntuak mancaliak novel ko dan sekedar mambaconyo, ado bbrp 
komentar2 ntuk novel ko
patamo, ba'a judul novel ko pakai politik2 sagalo ? jadi urang sagan mambaco 
e...tp satalah dibaco ado komentar lain ......uni...novel ko ancak dibuek 
film...ambo jawel ala 2 sutradara novel ko dikirim tp alun ado yg nanggapi 
lai...

ba'a manuruik uda...uda kan banyak kenal jo sutradara...cubolah dibawok buku ka 
baliau2 tu


 
Renny.Bintara



________________________________
 From: Akmal N. Basral <an...@yahoo.com>
To: Milis M-RantauNet G <RantauNet@googlegroups.com> 
Sent: Monday, November 12, 2012 10:32 AM
Subject: [R@ntau-Net] Membaca Novel "Anak Manusia Korban Politik" karya Mak 
Sutan Lembang Alam
 
Salah satu oleh-oleh yang saya dapat dari mengunjungi Sumbar Expo pada hari 
Sabtu adalah novel politik "Anak Manusia Korban Politik" (2010) karya Muhammad 
Dafiq Saib Sutan Lembang Alam. ( Saya baca di salah satu posting Rensy 
memanggil dengan sebutan "Mak Dave", jadi akan saya gunakan panggilan yang 
lebih singkat ini untuk mengacu pada penulis yang tahun ini berusia 61).

1/

Minggu pagi saya mulai membaca AMKP, diawali justru dari halaman terakhir, 209: 
halaman "Tentang Penulis". Maklum, saya belum banyak tahu Mak Dave meski pernah 
bertemu sekali pada HBH Palanta RN di Rumah Bundo Nismah, September lalu, dan 
berbincang sebentar dengan beliau. Dari informasi singkat Tentang Penulis, Mak 
Dave alumnus Teknik Geologi ITB, pensiunan dari Total EP Indonesie, 
meninggalkan kampung halaman sejak berusia 16 tahun (1967) dan tak pernah 
menetapkan lagi di Ranah Minang setelah itu. Lalu saya masuk ke Bab 1, yang tak 
tuntas terbaca, tersebab kesibukan di Minggu pagi yang menderas dari satu hal 
ke hal lain. 

Baru pada malam harinya, sekitar pukul 22.30 WIB usai rapat pengurus musholla 
di komplek rumah tempat saya tinggal, baru saya bisa melanjutkan kembali 
membaca novel Mak Dave. Sempat terinterupsi lagi oleh aktivitas saling bertukar 
kabar (via SMS) dengan sastrawan Gus tf Sakai dan dua tayangan acara TV yang 
sangat menggoda untuk ditonton (profil stand-up comedian Muslim pertama di 
Afrika Selatan, Riaad Moosa yang profesi resminya seorang dokter, di segmen 
"African Voices" kanal CNN, serta menyimak wawancara Menteri Luar Pakistan yang 
cantik, Hina Rabbani, di kanal Aljazeera), akhirnya AMKP yang terdiri dari 24 
bab baru selesai saya baca sekitar jam 03.00 dini hari. Berarti, waktu yang 
saya butuhkan sekitar 4,5 jam untuk menuntaskan novel yang "page turner" ini. 
Mengalir lancar dari halaman ke halaman.

2/

AMKP diawali pertemuan dua kawan lama, Safri dan Marwan, di sebuah toko buku di 
kawasan Pasar Senen, Jakarta, yang ternyata milik Marwan. Keduanya adalah teman 
satu SMP di Bukit Tinggi. Safri yang datang berbelanja buku dengan istrinya, 
"Aku" dalam novel ini, adalah lulusan ITB dan baru pensiun dari perusahaan 
perminyakan asing (hal. 5). Dua informasi awal ini mau tak mau membawa saya 
kepada info dalam Tentang Penulis. Tentang Mak Dave sendiri. Apakah ini sebuah 
novel otobiografis, seperti karya-karya Nh. Dini, meski di sampul AMKP 
ditambahkan keterangan pendek "Sebuah cerita fiktif berlatar belakang 
percaturan politik sejak tahun 1958 sampai tahun 1980-an di Indonesia"? 

(November tahun lalu, Komite Sastra Taman Ismail Marzuki menunjuk saya dan Dr. 
Ibnu Wahyudi dari FIB UI sebagai pembahas karya-karya Nh Dini, 76 tahun, 
sehingga saya yang awalnya hanya membaca beberapa karya besar Nh Dini, mau tak 
mau harus membaca hampir semua karyanya, dan mendapatkan manfaat praktis dalam 
menyigi cepat bentuk novel otobiografis seperti dilakukan Nh. Dini yang pola 
besarnya juga diterapkan Mak Dave).

Usai pertemuan dengan obrolan singkat di toko buku Marwan yang mengungkap 
sejumlah kenangan di SMP -- terutama saat-saat ber-"pomle" dengan sejumlah 
kawan wanita mereka, baik yang dilakukan Safri maupun Marwan (Saya menduga 
"pomle" adalah padanan istilah "pedekate" yang digunakan ABG sekarang. 
Flirting. Betul, Mak Dave?) -- Marwan dan istri (kedua)nya Kokom datang 
berkunjung ke rumah Safri dan Desi, untuk makan siang dan saling bertukar 
kenangan lebih jauh. Pada pertemuan inilah, Marwan akhirnya menceritakan bagian 
hidupnya yang tak pernah diketahui Safri: bahwa sesungguhnya dia memang anak 
seorang anggota PKI seperti sempat tersiar saat mereka bersekolah di Bukit 
Tinggi. (Marwan menceritakan ini setelah memulangkan Kokom dulu, dan balik lagi 
ke rumah Safri, untuk menunjukkan bahkan istrinya pun tak tahu masa lalu yang 
disimpannya rapat-rapat itu).

Motif ayah Marwan, yang bernama Syamsuddin Sutan Marajo, masuk PKI adalah 
karena saudara kembarnya Burhanuddin yang mantan Tentara PRRI, tewas dibunuh 
sesama Tentara PRRI pula. Peristiwa ini digunakan Datuk Rajo Bamegomego, 
pentolan PKI di kampung mereka, untuk merekrut Syamsuddin dengan mengobarkan 
kebencian terhadap PRRI dan Masyumi. Syamsuddin termakan agitasi Datuk dan 
bergabung dengan PKI. Sebagai anggota, Syamsuddin bukan hanya menerima 
gemblengan tentang ideologi partai, melainkan juga "saran" untuk menceraikan 
istrinya yang anggota Masyumi. Datuk meminta Syamsuddin untuk mencari istri 
baru yang sehaluan dengan ideologi perjuangan. Syamsuddin tak pernah melakukan 
saran itu. Pembangkangan pertama yang dilakukannya.

Pembangkangan kedua yang dilakukan Syamsuddin adalah dengan tetap melakukan 
shalat, meski sembunyi-sembunyi, dalam setiap rapat PKI. Puncaknya adalah saat 
rapat di Padang, saat para Kamerad partai menjatuhkan hukuman fisik kepada 
Syamsuddin karena dianggap sebagai kader yang lembek karena tetap "menyembah 
sesuatu yang tidak ada" dengan melakukan "tunggang tunggik yang tak ada 
gunanya".

Pulang ke Bukit Tinggi, Syamsuddin memutuskan keluar dari partai, sebuah 
keputusan yang mengundang kemarahan Datuk Rajo Bamegomego. Sejak itulah rumah 
Syamsuddin selalu mendapat teror misterius, mulai dari dapur yang mendadak 
terbakar di malam hari, sampai eskalasi kekerasan yang dialami warga lain yang 
tak setuju dengan PKI. Hanya rumah Datuk Rajo dan kaumnya saja yang tak pernah 
mengalami teror. Masalahnya, warga yang sudah meningkatkan aktivitas jaga malam 
tetap tak berhasil menangkap pelaku teror yang selicin belut, tak pernah 
tertangkap tangan. Sampai akhirnya G30S meletus di Jakarta, dan berimbas juga 
ke kampung mereka. Datuk Rajo Bamegomego memutuskan meninggalkan kampung, pergi 
ke Medan, untuk menyelamatkan diri. Sebuah tindakan yang justru berakibat fatal 
karena kemarahan masyarakat yang sedang bergairah melakukan balas dendam dengan 
membunuhi aktivis komunis, dan membuang mayat mereka ke sungai yang bermuara ke 
Selat Malaka. 

Kejadian tragis tahun 60-an itu rupanya masih berimbas belasan tahun kemudian, 
ketika Marwan anak Syamsuddin Sutan Marajo bekerja di Pertamina. Satu hari dia 
bertemu dengan Indra, karyawan lebih muda yang berasal dari kampungnya juga. 
Indra adalah cucu kaum, bukan cucu kandung, Datuk Rajo Bamegomego. Indra 
menjelaskan kepada Marwan bahwa kaumnya belum melupakan ketidakadilan yang 
diterima Datuk mereka dan ayah Marwan akibat gilasan roda revolusi. Indra 
mengatakan bahwa semua keturunan Syamsuddin harusnya menerima takdir yang sama 
pahitnya dengan yang dialami Datuk Rajo Bamegomego, yakni dengan Marwan mundur 
dari Pertamina, atau latar belakangnya "yang tidak bersih lingkungan" akan 
diungkapkan. 

Marwan menerima tantangan Indra yang ternyata memang melakukannya, sehingga 
Marwan harus dipecat dengan tidak hormat karena telah melakukan pembohongan 
informasi saat mendaftar ke Pertamina. Alasan pemecatan adalah karena 
berdasarkan sejarah, terlihat bahwa motor pemberontakan 1965 adalah anak-anak 
dari pelaku pemberontakan 1948 di Madiun. Sehingga pola itu diyakini berulang, 
bahwa anak-anak pelaku pemberontakan 1965 akan memotori lagi pemberontakan 
berikutnya. Pertamina mengabaikan fakta bahwa ayah Marwan sudah keluar dari PKI 
saat dia masih hidup dulu, meski sudah ada surat pernyataan yang ditandatangani 
empat ninik mamak dari kampung. Marwan adalah "anak manusia korban politik" 
yang menjadi inti novel.

Cerita masih dilanjutkan Mak Dave dengan mengembangkan subplot kisah percintaan 
Marwan dengan istri pertamanya Rosita, sesama mantan aktivis HMI. Lika-liku 
pernikahan Marwan-Rosita yang tak menghasilkan keturunan itu akhirnya kandas, 
dan Marwan menikahi Kokom, gadis kecil anak pemilik rumah kontrakan tempat 
Marwan-Rosita pernah bernaung di awal pernikahan. Belakangan, setelah Rosita 
menikah lagi untuk kedua kalinya dan mendapatkan anak dari suami barunya, 
kebahagiaannya juga tak lama karena sang suami meninggal dunia lebih dulu. 
Sementara Marwan sendiri dari pernikahannya dengan Kokom juga mendapatkan 
keturunan. 

Ending cerita dikunci Mak Dave dengan pengakuan Marwan bahwa dia sudah bertemu 
lagi dengan Rosita, karena "harus menyantuni anak-anak yatim". Bahkan, "Kokom 
juga menyarankan saya menikah lagi dengan Rosita".

3/

Usai membaca AMKP ini, dengan mengenyampingkan  sementara (1) subplot hubungan 
Rosita-Marwan-Kokom dan (2) kesalahan penempatan halaman yang cukup banyak pada 
novel yang saya miliki, muatan politik di dalam novel ini menurut saya sangat 
potensial untuk digali lebih dalam dan dihidangkan lebih matang lagi -- dua hal 
yang tampaknya luput dilakukan Mak Dave, mungkin karena kurang mendapat arahan 
penyunting novel -- sehingga berhasil menjadi karya yang setara, kalau tidak 
melebihi, trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari yang legendaris itu.

Kisah dua pemuda kembar Burhanuddin (Tentara PRRI) dan Syamsuddin (Anggota PKI) 
adalah sebuah bulevar masuk yang sangat jenial, meski sayangnya kurang diolah 
optimal. Opening pertemuan Marwan-Safri dijelaskan Mak Dave terlalu panjang 
sebelum masuk ke kisah utama yang menjadi nyawa novel ini: bagaimana ideologi 
politik bisa meruntuhkan tatanan tradisional sebuah masyarakat dan berakibat 
panjang setelah itu. 

Tentu ketidakpasan plotting ini tak bisa dinisbatkan sepenuhnya kepada Mak Dave 
sebagai penulis. Dan setiap penulis tak luput dari kecenderungan selalu ingin 
bercerita "banyak hal". Adalah tugas editor untuk menjahit ulang sebuah cerita 
sehingga menjadi lebih kompak, lebih solid, sekaligus lebih terstruktur. Karena 
di situlah adagium "every writer needs an editor" yang diyakini Stephen King 
menemukan makna esensialnya. 

Repotnya, di Indonesia masih cukup kuat pendapat bahwa tugas editor adalah 
sekadar urusan "merapikan titik, koma". Sebuah pemahaman yang kacau balau namun 
terus dipegang teguh dari zaman ke zaman. Editor haruslah berfungsi sebagai 
pengasah berlian, yang menggunakan berbagai "peralatan khusus" dalam 
mengeluarkan kilau terindah dari sebuah berlian mentah. 

Mak Dave, orang teknik yang menghabiskan waktu profesionalnya di dunia 
perminyakan, ternyata menyimpan eksplositas menulis yang luar biasa. Sebuah ide 
dinamit yang bukan saja bisa menyejajari karya Tohari, tapi bahkan bisa "head 
to head" dengan tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Saya yakin itu. Sebab, seluruh 
elemen inti sebuah kisah, yang tak dimiliki semua penulis, sudah ada dalam 
genggaman Mak Dave.

Informasi pendek di akhir kisah bahwa AMKP ditulis dalam 22 hari di tahun 2008, 
sudah sangat menjelaskan bahwa berlian ini masih belum cukup matang untuk 
dihidangkan. Salah satu kilau yang tak muncul dari novel ini adalah pembaca tak 
disuguhkan deskripsi lebih rinci tentang gambaran geografis zaman itu, 
lingkungan alam dengan paparan vegetasi dan fauna yang ada, struktur masyarakat 
atau paruh masyarakat (moiety), corak busana yang digunakan, jenis-jenis 
makanan yang dikudap (pembicaraan Datuk Rajo Bamegomego banyak terjadi di 
lapau, namun deskripsi tentang lapau sangat minim), dsb. Ringkasnya deskripsi 
yang membuat pembaca bisa "masuk ke dalam ruang dan waktu" awal 60-an di sebuah 
dusun di Minang menjelang meletusnya G30S PKI. Banyak dialog disajikan Mak 
Dave, tapi kurang sekali deskripsi yang menjadi pemandu pembaca dalam tamasya 
imajinasi kembali ke masa silam itu. Sekali lagi, seharusnya ini menjadi tugas 
sang penyunting, si pengasah berlian, untuk
 memoles, memotong, menakar karat, memastikan kejernihan, dari berlian mentah 
(bagaimana pun mentahnya sebuah berlian tetaplah sebuah berlian, bukan?) yang 
ada di benak Mak Dave.

Bagaimana pun, sebagai sebuah novel (pertama?) Mak Dave, saya ingin mengucapkan 
tahniah dan menjura hormat untuk novel yang ide dasarnya sangat berbobot ini. 
(Sembari menyesali siapa pun editor novel, dia sudah menyia-nyiakan sebuah 
berlian yang seharusnya bisa jauh lebih berkilau lagi, sekaligus menempatkan 
Mak Dave sebagai novelis "baru" namun dengan bobot tak main-main dalam 
menautkan dua fase turbulensi paling traumatik pada lini masa sejarah Minang 
dan Indonesia, yakni PRRI dan PKI). 

4/

Usai membaca AMKP, saya sahur untuk puasa Sunnah sambil membayangkan Syamsuddin 
Sutan Marajo yang sempat meringkuk di penjara karena pernah bergabung dengan 
PKI, namun dengan cepat dilepaskan oleh aparat karena di dalam penjara pun 
Syamsuddin tetap tak meninggalkan ibadah, shalat dan puasa Senin-Kamis, hal-hal 
yang kelak menjadi pertimbangan Indra dan kaumnya (sebagai penerus Datuk Rajo 
Bamegomego) untuk mengangkat sumpah membalaskan "ketidakadilan" tangan Sang 
Nasib dalam menentukan akhir hidup sang Datuk dan  bekas "confidante"-nya 
Syamsuddin Sutan Marajo.

Mak Dave, saya bersyukur Mak Dave sudah mau bekerja keras meluangkan waktu, 
menyisihkan tenaga, dalam menetaskan bakat yang sudah dititipkan Ilahi. Mak 
Dave jelas sangat berbakat sebagai novelis. 

Sebagai penutup, saya ingin sampaikan pesan Prof. Dr. Budi Darma, yang pernah 
disampaikannya langsung kepada saya saat kami mengunyah gulai tunjang di sebuah 
restoran Minang di daerah Depok, pada satu malam di tahun 2006, ketika petir 
silih berganti menggelegar menyobek langit Depok, memuntahkan ratusan ton air 
yang tercurah dari langit. "Kenapa seorang penulis selalu menulis lagi, Akmal?" 
ujar Budi Darma sembari menjawab pertanyaannya sendiri. "Karena begitu karyanya 
jadi, dia tahu bahwa karya banyak kekurangan, sehingga ingin memperbaiki di 
karya berikutnya, yang juga tak akan pernah sempurna, sehingga dia menulis lagi 
untuk karya berikutnya, dan berikutnya ..."

Saya tunggu novel-(novel) Mak Dave berikutnya.

Salam,

Akmal N. Basral
Cibubur, 12.11.12, 
10.20 WIB 
(ditulis sekali jalan dari jam 08.30. Maaf jika ada typo, karena tak sempat 
dibaca ulang)


-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke