Novel menarik disaat Komnas Ham mangaluakan laporan tentang dampak 
peristiwa 65 ko. Kalau nio lanjut, paralu disambuang terkait status 
tanah-tanah yang dituduah ko yang dikuasai begitu sajo oleh pihak ketiga.

Ambo mambali Novel mak Lembang ko di Gramedia Cijantuang tahun lalu kalau 
indak salah

Salam

andiko sutan mancayo

Pada Senin, 12 November 2012 10:32:41 UTC+7, Akmal N. Basral menulis:
>
> Salah satu oleh-oleh yang saya dapat dari mengunjungi Sumbar Expo pada 
> hari Sabtu adalah novel politik "Anak Manusia Korban Politik" (2010) karya 
> Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam. ( Saya baca di salah satu posting 
> Rensy memanggil dengan sebutan "Mak Dave", jadi akan saya gunakan panggilan 
> yang lebih singkat ini untuk mengacu pada penulis yang tahun ini berusia 
> 61). 
>
> 1/ 
>
> Minggu pagi saya mulai membaca AMKP, diawali justru dari halaman terakhir, 
> 209: halaman "Tentang Penulis". Maklum, saya belum banyak tahu Mak Dave 
> meski pernah bertemu sekali pada HBH Palanta RN di Rumah Bundo Nismah, 
> September lalu, dan berbincang sebentar dengan beliau. Dari informasi 
> singkat Tentang Penulis, Mak Dave alumnus Teknik Geologi ITB, pensiunan 
> dari Total EP Indonesie, meninggalkan kampung halaman sejak berusia 16 
> tahun (1967) dan tak pernah menetapkan lagi di Ranah Minang setelah itu. 
> Lalu saya masuk ke Bab 1, yang tak tuntas terbaca, tersebab kesibukan di 
> Minggu pagi yang menderas dari satu hal ke hal lain. 
>
> Baru pada malam harinya, sekitar pukul 22.30 WIB usai rapat pengurus 
> musholla di komplek rumah tempat saya tinggal, baru saya bisa melanjutkan 
> kembali membaca novel Mak Dave. Sempat terinterupsi lagi oleh aktivitas 
> saling bertukar kabar (via SMS) dengan sastrawan Gus tf Sakai dan dua 
> tayangan acara TV yang sangat menggoda untuk ditonton (profil stand-up 
> comedian Muslim pertama di Afrika Selatan, Riaad Moosa yang profesi 
> resminya seorang dokter, di segmen "African Voices" kanal CNN, serta 
> menyimak wawancara Menteri Luar Pakistan yang cantik, Hina Rabbani, di 
> kanal Aljazeera), akhirnya AMKP yang terdiri dari 24 bab baru selesai saya 
> baca sekitar jam 03.00 dini hari. Berarti, waktu yang saya butuhkan sekitar 
> 4,5 jam untuk menuntaskan novel yang "page turner" ini. Mengalir lancar 
> dari halaman ke halaman. 
>
> 2/ 
>
> AMKP diawali pertemuan dua kawan lama, Safri dan Marwan, di sebuah toko 
> buku di kawasan Pasar Senen, Jakarta, yang ternyata milik Marwan. Keduanya 
> adalah teman satu SMP di Bukit Tinggi. Safri yang datang berbelanja buku 
> dengan istrinya, "Aku" dalam novel ini, adalah lulusan ITB dan baru pensiun 
> dari perusahaan perminyakan asing (hal. 5). Dua informasi awal ini mau tak 
> mau membawa saya kepada info dalam Tentang Penulis. Tentang Mak Dave 
> sendiri. Apakah ini sebuah novel otobiografis, seperti karya-karya Nh. 
> Dini, meski di sampul AMKP ditambahkan keterangan pendek "Sebuah cerita 
> fiktif berlatar belakang percaturan politik sejak tahun 1958 sampai tahun 
> 1980-an di Indonesia"? 
>
> (November tahun lalu, Komite Sastra Taman Ismail Marzuki menunjuk saya dan 
> Dr. Ibnu Wahyudi dari FIB UI sebagai pembahas karya-karya Nh Dini, 76 
> tahun, sehingga saya yang awalnya hanya membaca beberapa karya besar Nh 
> Dini, mau tak mau harus membaca hampir semua karyanya, dan mendapatkan 
> manfaat praktis dalam menyigi cepat bentuk novel otobiografis seperti 
> dilakukan Nh. Dini yang pola besarnya juga diterapkan Mak Dave). 
>
> Usai pertemuan dengan obrolan singkat di toko buku Marwan yang mengungkap 
> sejumlah kenangan di SMP -- terutama saat-saat ber-"pomle" dengan sejumlah 
> kawan wanita mereka, baik yang dilakukan Safri maupun Marwan (Saya menduga 
> "pomle" adalah padanan istilah "pedekate" yang digunakan ABG sekarang. 
> Flirting. Betul, Mak Dave?) -- Marwan dan istri (kedua)nya Kokom datang 
> berkunjung ke rumah Safri dan Desi, untuk makan siang dan saling bertukar 
> kenangan lebih jauh. Pada pertemuan inilah, Marwan akhirnya menceritakan 
> bagian hidupnya yang tak pernah diketahui Safri: bahwa sesungguhnya dia 
> memang anak seorang anggota PKI seperti sempat tersiar saat mereka 
> bersekolah di Bukit Tinggi. (Marwan menceritakan ini setelah memulangkan 
> Kokom dulu, dan balik lagi ke rumah Safri, untuk menunjukkan bahkan 
> istrinya pun tak tahu masa lalu yang disimpannya rapat-rapat itu). 
>
> Motif ayah Marwan, yang bernama Syamsuddin Sutan Marajo, masuk PKI adalah 
> karena saudara kembarnya Burhanuddin yang mantan Tentara PRRI, tewas 
> dibunuh sesama Tentara PRRI pula. Peristiwa ini digunakan Datuk Rajo 
> Bamegomego, pentolan PKI di kampung mereka, untuk merekrut Syamsuddin 
> dengan mengobarkan kebencian terhadap PRRI dan Masyumi. Syamsuddin termakan 
> agitasi Datuk dan bergabung dengan PKI. Sebagai anggota, Syamsuddin bukan 
> hanya menerima gemblengan tentang ideologi partai, melainkan juga "saran" 
> untuk menceraikan istrinya yang anggota Masyumi. Datuk meminta Syamsuddin 
> untuk mencari istri baru yang sehaluan dengan ideologi perjuangan. 
> Syamsuddin tak pernah melakukan saran itu. Pembangkangan pertama yang 
> dilakukannya. 
>
> Pembangkangan kedua yang dilakukan Syamsuddin adalah dengan tetap 
> melakukan shalat, meski sembunyi-sembunyi, dalam setiap rapat PKI. 
> Puncaknya adalah saat rapat di Padang, saat para Kamerad partai menjatuhkan 
> hukuman fisik kepada Syamsuddin karena dianggap sebagai kader yang lembek 
> karena tetap "menyembah sesuatu yang tidak ada" dengan melakukan "tunggang 
> tunggik yang tak ada gunanya". 
>
> Pulang ke Bukit Tinggi, Syamsuddin memutuskan keluar dari partai, sebuah 
> keputusan yang mengundang kemarahan Datuk Rajo Bamegomego. Sejak itulah 
> rumah Syamsuddin selalu mendapat teror misterius, mulai dari dapur yang 
> mendadak terbakar di malam hari, sampai eskalasi kekerasan yang dialami 
> warga lain yang tak setuju dengan PKI. Hanya rumah Datuk Rajo dan kaumnya 
> saja yang tak pernah mengalami teror. Masalahnya, warga yang sudah 
> meningkatkan aktivitas jaga malam tetap tak berhasil menangkap pelaku teror 
> yang selicin belut, tak pernah tertangkap tangan. Sampai akhirnya G30S 
> meletus di Jakarta, dan berimbas juga ke kampung mereka. Datuk Rajo 
> Bamegomego memutuskan meninggalkan kampung, pergi ke Medan, untuk 
> menyelamatkan diri. Sebuah tindakan yang justru berakibat fatal karena 
> kemarahan masyarakat yang sedang bergairah melakukan balas dendam dengan 
> membunuhi aktivis komunis, dan membuang mayat mereka ke sungai yang 
> bermuara ke Selat Malaka. 
>
> Kejadian tragis tahun 60-an itu rupanya masih berimbas belasan tahun 
> kemudian, ketika Marwan anak Syamsuddin Sutan Marajo bekerja di Pertamina. 
> Satu hari dia bertemu dengan Indra, karyawan lebih muda yang berasal dari 
> kampungnya juga. Indra adalah cucu kaum, bukan cucu kandung, Datuk Rajo 
> Bamegomego. Indra menjelaskan kepada Marwan bahwa kaumnya belum melupakan 
> ketidakadilan yang diterima Datuk mereka dan ayah Marwan akibat gilasan 
> roda revolusi. Indra mengatakan bahwa semua keturunan Syamsuddin harusnya 
> menerima takdir yang sama pahitnya dengan yang dialami Datuk Rajo 
> Bamegomego, yakni dengan Marwan mundur dari Pertamina, atau latar 
> belakangnya "yang tidak bersih lingkungan" akan diungkapkan. 
>
> Marwan menerima tantangan Indra yang ternyata memang melakukannya, 
> sehingga Marwan harus dipecat dengan tidak hormat karena telah melakukan 
> pembohongan informasi saat mendaftar ke Pertamina. Alasan pemecatan adalah 
> karena berdasarkan sejarah, terlihat bahwa motor pemberontakan 1965 adalah 
> anak-anak dari pelaku pemberontakan 1948 di Madiun. Sehingga pola itu 
> diyakini berulang, bahwa anak-anak pelaku pemberontakan 1965 akan memotori 
> lagi pemberontakan berikutnya. Pertamina mengabaikan fakta bahwa ayah 
> Marwan sudah keluar dari PKI saat dia masih hidup dulu, meski sudah ada 
> surat pernyataan yang ditandatangani empat ninik mamak dari kampung. Marwan 
> adalah "anak manusia korban politik" yang menjadi inti novel. 
>
> Cerita masih dilanjutkan Mak Dave dengan mengembangkan subplot kisah 
> percintaan Marwan dengan istri pertamanya Rosita, sesama mantan aktivis 
> HMI. Lika-liku pernikahan Marwan-Rosita yang tak menghasilkan keturunan itu 
> akhirnya kandas, dan Marwan menikahi Kokom, gadis kecil anak pemilik rumah 
> kontrakan tempat Marwan-Rosita pernah bernaung di awal pernikahan. 
> Belakangan, setelah Rosita menikah lagi untuk kedua kalinya dan mendapatkan 
> anak dari suami barunya, kebahagiaannya juga tak lama karena sang suami 
> meninggal dunia lebih dulu. Sementara Marwan sendiri dari pernikahannya 
> dengan Kokom juga mendapatkan keturunan. 
>
> Ending cerita dikunci Mak Dave dengan pengakuan Marwan bahwa dia sudah 
> bertemu lagi dengan Rosita, karena "harus menyantuni anak-anak yatim". 
> Bahkan, "Kokom juga menyarankan saya menikah lagi dengan Rosita". 
>
> 3/ 
>
> Usai membaca AMKP ini, dengan mengenyampingkan  sementara (1) subplot 
> hubungan Rosita-Marwan-Kokom dan (2) kesalahan penempatan halaman yang 
> cukup banyak pada novel yang saya miliki, muatan politik di dalam novel ini 
> menurut saya sangat potensial untuk digali lebih dalam dan dihidangkan 
> lebih matang lagi -- dua hal yang tampaknya luput dilakukan Mak Dave, 
> mungkin karena kurang mendapat arahan penyunting novel -- sehingga berhasil 
> menjadi karya yang setara, kalau tidak melebihi, trilogi "Ronggeng Dukuh 
> Paruk" karya Ahmad Tohari yang legendaris itu. 
>
> Kisah dua pemuda kembar Burhanuddin (Tentara PRRI) dan Syamsuddin (Anggota 
> PKI) adalah sebuah bulevar masuk yang sangat jenial, meski sayangnya kurang 
> diolah optimal. Opening pertemuan Marwan-Safri dijelaskan Mak Dave terlalu 
> panjang sebelum masuk ke kisah utama yang menjadi nyawa novel ini: 
> bagaimana ideologi politik bisa meruntuhkan tatanan tradisional sebuah 
> masyarakat dan berakibat panjang setelah itu. 
>
> Tentu ketidakpasan plotting ini tak bisa dinisbatkan sepenuhnya kepada Mak 
> Dave sebagai penulis. Dan setiap penulis tak luput dari kecenderungan 
> selalu ingin bercerita "banyak hal". Adalah tugas editor untuk menjahit 
> ulang sebuah cerita sehingga menjadi lebih kompak, lebih solid, sekaligus 
> lebih terstruktur. Karena di situlah adagium "every writer needs an editor" 
> yang diyakini Stephen King menemukan makna esensialnya. 
>
> Repotnya, di Indonesia masih cukup kuat pendapat bahwa tugas editor adalah 
> sekadar urusan "merapikan titik, koma". Sebuah pemahaman yang kacau balau 
> namun terus dipegang teguh dari zaman ke zaman. Editor haruslah berfungsi 
> sebagai pengasah berlian, yang menggunakan berbagai "peralatan khusus" 
> dalam mengeluarkan kilau terindah dari sebuah berlian mentah. 
>
> Mak Dave, orang teknik yang menghabiskan waktu profesionalnya di dunia 
> perminyakan, ternyata menyimpan eksplositas menulis yang luar biasa. Sebuah 
> ide dinamit yang bukan saja bisa menyejajari karya Tohari, tapi bahkan bisa 
> "head to head" dengan tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Saya yakin itu. 
> Sebab, seluruh elemen inti sebuah kisah, yang tak dimiliki semua penulis, 
> sudah ada dalam genggaman Mak Dave. 
>
> Informasi pendek di akhir kisah bahwa AMKP ditulis dalam 22 hari di tahun 
> 2008, sudah sangat menjelaskan bahwa berlian ini masih belum cukup matang 
> untuk dihidangkan. Salah satu kilau yang tak muncul dari novel ini adalah 
> pembaca tak disuguhkan deskripsi lebih rinci tentang gambaran geografis 
> zaman itu, lingkungan alam dengan paparan vegetasi dan fauna yang ada, 
> struktur masyarakat atau paruh masyarakat (moiety), corak busana yang 
> digunakan, jenis-jenis makanan yang dikudap (pembicaraan Datuk Rajo 
> Bamegomego banyak terjadi di lapau, namun deskripsi tentang lapau sangat 
> minim), dsb. Ringkasnya deskripsi yang membuat pembaca bisa "masuk ke dalam 
> ruang dan waktu" awal 60-an di sebuah dusun di Minang menjelang meletusnya 
> G30S PKI. Banyak dialog disajikan Mak Dave, tapi kurang sekali deskripsi 
> yang menjadi pemandu pembaca dalam tamasya imajinasi kembali ke masa silam 
> itu. Sekali lagi, seharusnya ini menjadi tugas sang penyunting, si pengasah 
> berlian, untuk memoles, memotong, menakar karat, memastikan kejernihan, 
> dari berlian mentah (bagaimana pun mentahnya sebuah berlian tetaplah sebuah 
> berlian, bukan?) yang ada di benak Mak Dave. 
>
> Bagaimana pun, sebagai sebuah novel (pertama?) Mak Dave, saya ingin 
> mengucapkan tahniah dan menjura hormat untuk novel yang ide dasarnya sangat 
> berbobot ini. (Sembari menyesali siapa pun editor novel, dia sudah 
> menyia-nyiakan sebuah berlian yang seharusnya bisa jauh lebih berkilau 
> lagi, sekaligus menempatkan Mak Dave sebagai novelis "baru" namun dengan 
> bobot tak main-main dalam menautkan dua fase turbulensi paling traumatik 
> pada lini masa sejarah Minang dan Indonesia, yakni PRRI dan PKI). 
>
> 4/ 
>
> Usai membaca AMKP, saya sahur untuk puasa Sunnah sambil membayangkan 
> Syamsuddin Sutan Marajo yang sempat meringkuk di penjara karena pernah 
> bergabung dengan PKI, namun dengan cepat dilepaskan oleh aparat karena di 
> dalam penjara pun Syamsuddin tetap tak meninggalkan ibadah, shalat dan 
> puasa Senin-Kamis, hal-hal yang kelak menjadi pertimbangan Indra dan 
> kaumnya (sebagai penerus Datuk Rajo Bamegomego) untuk mengangkat sumpah 
> membalaskan "ketidakadilan" tangan Sang Nasib dalam menentukan akhir hidup 
> sang Datuk dan  bekas "confidante"-nya Syamsuddin Sutan Marajo. 
>
> Mak Dave, saya bersyukur Mak Dave sudah mau bekerja keras meluangkan 
> waktu, menyisihkan tenaga, dalam menetaskan bakat yang sudah dititipkan 
> Ilahi. Mak Dave jelas sangat berbakat sebagai novelis. 
>
> Sebagai penutup, saya ingin sampaikan pesan Prof. Dr. Budi Darma, yang 
> pernah disampaikannya langsung kepada saya saat kami mengunyah gulai 
> tunjang di sebuah restoran Minang di daerah Depok, pada satu malam di tahun 
> 2006, ketika petir silih berganti menggelegar menyobek langit Depok, 
> memuntahkan ratusan ton air yang tercurah dari langit. "Kenapa seorang 
> penulis selalu menulis lagi, Akmal?" ujar Budi Darma sembari menjawab 
> pertanyaannya sendiri. "Karena begitu karyanya jadi, dia tahu bahwa karya 
> banyak kekurangan, sehingga ingin memperbaiki di karya berikutnya, yang 
> juga tak akan pernah sempurna, sehingga dia menulis lagi untuk karya 
> berikutnya, dan berikutnya ..." 
>
> Saya tunggu novel-(novel) Mak Dave berikutnya. 
>
> Salam, 
>
> Akmal N. Basral 
> Cibubur, 12.11.12, 
> 10.20 WIB 
> (ditulis sekali jalan dari jam 08.30. Maaf jika ada typo, karena tak 
> sempat dibaca ulang) 
>
>
>

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke