Cubo kito bandiangkan suku Minang jo suku Semendo di Bandar Lampung nan juo 
manganut paham Matrilineal dlm masalh pewarisan
Nofiardi RM 40+5
 
 
APRESIASI
  <http://www.lampungpost.com/img/bening.gif>   
  <http://www.lampungpost.com/img/bening.gif>   
  <http://www.lampungpost.com/img/bening.gif>   
Bingkai:'Tunggu Tubang', Masihkah Relevan? 
  <http://www.lampungpost.com/img/bening.gif> 

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, 
pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum 
muslimin.

Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya 
dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang 
sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam 
bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu 
rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. 
Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam 
permasalahan.

Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semendo, ada yang namanya tunggu 
tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk 
menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.

Ini disebabkan adat Semendo menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang 
disebut matrilineal.

Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis 
kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga

laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya 
kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini 
yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari 
anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, 
pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada 
perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan 
musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada 
titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semendo ini.

Umumnya orang Semendo mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di 
sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal 
bahwa orang Semendo itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara 
berseloroh, orang Semendo disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di 
kebon. Maksudnya, orang Semendo besar di kebun.

Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, 
dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, 
mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. 
Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada 
acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi 
benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, 
tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang 
membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah 
dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil 
menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib 
hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. 
Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan 
orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan 
yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan 
keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.

Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan 
yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu 
segera diselesaikan.

Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, 
sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat 
yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan 
memberikan beberapa di antaranya.

Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah 
mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku 
bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi 
kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab 
Allah atau Alquran.

Maka, kalau ada orang Semendo yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam 
dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya 
secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati.

Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga 
tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan 
orang Semendo tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja 
orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil 
menunjuk anak perempuan tertuanya.

Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang 
untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang 
bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. 
Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke 
negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah 
nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang 
lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk 
dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. 
Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu 
lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula 
dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta 
silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan 
orang Semendo ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat 
tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, 
sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa 
dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, 
jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk 
masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga 
punya tempat untuk berkumpul.

Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang 
besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan 
terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak 
atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali 
untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan 
saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua 
persoalan dalam rumah tangga.

Keempat, secara ekonomi, ada topangan. Dengan kewajiban untuk meneruskan kebun 
dan ladang yang ada, membawa pengaruh pada perekonomian keluarga besar. Memang 
bukan berarti keluarga yang menjadi tunggu tubang tidak bisa menikmati, dia 
tetap bisa menikmati, tetapi harus juga memikirkan masa depan pewarisnya.

Umumnya, dengan kebun kopi atau cengkih, bahkan kini cokelat, atau pula padi, 
secara ekonomi, keluarga tunggu tubang juga tidak kekurangan. Dengan berusaha, 
tentu dia akan berpikir untuk meneruskan harta dan tanah ini kepada anak 
perempuan berikutnya. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa adat ini juga 
"memaksa" orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup. Tentu bukan dalam 
artian berpikir pragmatis soal harta, melainkan lebih kepada tanggung jawab 
bahwa begitu dia mati, rumah dan tanah tetap hars ada demi kelanjutan ekonomi 
keluarga. Model ini juga membawa pengaruh yang positif bahwa harta yang ada 
benar-benar pas peruntukkannya. Tidak dipakai untuk sesuatu yang mubazir. Atau, 
dijual untuk keperluan pribadi. Adanya aset ini penulis kira merupakan langkah 
maju dari berpikirnya orang-orang Semendo. Bahwa dia harus memikirkan betapa 
esok hari atau di tahun yang akan datang kehidupan akan sulit. Jika tidak 
ditinggalkan harta dan tanah--tentunya juga termaktub pemahaman agama dan 
moralitas yang baik--anak-cucu akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan. 
Sebuah proses berpikir yang visioner dan sebaiknya memang harus terus 
dilakukan. Paling tidak dengan budaya tunggu tubang ini ada usaha agar ada yang 
ditinggalkan sepeninggal diri orang itu. Oleh sebab itu, dari sini saja, hemat 
penulis, tunggu tubang masih relevan untuk diteruskan. n

Sulmin Dulsari, warga Bandar Lampung bersuku Semendo  

  <http://www.lampungpost.com/img/bening.gif> 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca dan dipahami! Lihat 
di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tuliskan Nama, Umur dan Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG!!! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
- Anggota yg posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg 
bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen akan mengikuti peratiran yang 
berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahul
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke