Assalammualaikum wr wb,,

Dunsanaks sadonyo,

berita ringan kuliner kampuang bantuak lain...

wassalam
Sri Yansen/lk/42/tanjuang/asa Painan


http://travel.kompas.com/read/2014/01/29/0825198/.Tambuah.Ciek.Haik. 

"Tambuah Ciek, Haik"
Rabu, 29 Januari 2014 | 08:25 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOMenyiapkan menu ayam pop roll, Kamis (23/1/2014).
Baca juga
   
   - Mengawal Malam di 
Angkringan<http://travel.kompas.com/read/2014/01/27/0815523/Mengawal.Malam.di.Angkringan>

7
            
11
            
<https://twitter.com/intent/tweet?url=http://kom.ps/AFe3fl&text=%22Tambuah%20Ciek,%20Haik%22&via=kompascom>
0
<http://travel.kompas.com/read/2014/01/29/0825198/.Tambuah.Ciek.Haik.#komentar>
*SUNTIANG* bukan restoran Minang biasa. Tidak ada mangkuk berisi air 
kobokan, tidak pula ada pelanggan yang berteriak, "tambuah ciek lai!" Yang 
tersedia di meja adalah sumpit dan aneka masakan Minang yang disajikan ala 
sushi. Begitulah, restoran ini menyodorkan pengalaman makan nasi padang 
dengan gaya Jepang.

Piring-piring berisi aneka makanan cantik itu berkeliling bersama ban 
berjalan di sushi bar Restoran Suntiang di Pondok Indah Mall 2, Jakarta 
Selatan. Ada sepiring ”sushi” dengan seiris daging putih dan setitik saus 
berwarna oranye. Kami meraih satu piring menu yang kami kira sushi tuna. 
Namun, begitu kami santap, menu itu ternyata nasi-ayam pop lengkap dengan 
sambal yang gurih.

Di piring lain, terhidang nasi pulen lengket digulung nori—lembaran rumput 
laut hijau—dengan sejumput daging di atasnya dan beberapa butir wijen. Kami 
mengira menu itu sushi unagi yang dimasak matang. Ketika sampai di lidah, 
ternyata menu itu adalah nasi-rendang. Ada pula sushi dengan topping yang 
kami kira telur ikan. Setelah dimakan ternyata menu itu tidak lain nasi 
pulen berbalut nori, ber-topping teri balado.

Begitulah, gambaran sushi yang terbentuk lewat pandangan mata seketika 
terhapus ketika lidah justru menemukan cita rasa Minang. Hasilnya adalah 
sebuah kejutan yang menyenangkan. ”Rupo Japang, raso tetap Minang,” bisik 
seorang tamu yang baru pertama kali ke Restoran Suntiang, pekan lalu.

Sebaliknya, Suntiang juga menyajikan masakan Jepang dengan selera Minang. 
Cobalah semangkuk ramen dengan kuah oranye mengilap dan menggugah selera. 
Begitu kuahnya sampai di lidah, kita langsung menemukan cita rasa gulai 
yang gurih. Ada pula ramen yang kuah misonya dibubuhi cabai hijau. Di luar 
itu, ada sederet menu Jepang yang dimasak ala Minang seperti edamame 
balado, tempura otak, dan kepala salmon kuah gulai.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOSuasana Restoran Suntiang di Pondok Indah Mall 2, 
Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2014).
Makan di Suntiang, kita seperti diajak untuk mencicipi suasana yang berasal 
dari dua tradisi berbeda. Pengelola Suntiang cukup serius menghadirkan 
nuansa Minang sekaligus Jepang. Nama Suntiang yang terdengar sangat Minang 
ditulis dengan huruf bernuansa Jepang. Pramusaji mengenakan atasan 
bernuansa Jepang dengan bawahan bercorak songket minang. Meja makan ditata 
seperti di restoran Jepang dengan piring-piring berwarna polos, 
sendok-garpu, dan sumpit. Dengan sumpit itulah kami makan sushi-ayam pop.

*Tetap Minang*

Untuk lidah yang ”maniak” dengan cita rasa Minang, hidangan ala Suntiang 
masih bisa diterima meski disajikan seperti makanan Jepang. ”Cita rasa 
Minang tetap kita pertahankan dan terasa dominan. Masakannya tetap kaya 
bumbu dan rempah seperti masakan Minang umumnya,” ujar Maulana dari Humas 
Suntiang.

Mari kita lihat bahan-bahan makanan yang digunakan Suntiang. Bahan seperti 
daging yang merupakan bahan utama alam kuliner Minang untuk menu seperti 
rendang dan dendeng balado masih merupakan bahan yang terbanyak digunakan. 
Begitu pula dengan daging ayam untuk menu ayam pop, ayam gulai, dan ayam 
bakar. Bumbu-bumbu yang paling banyak sama seperti restoran Minang lainnya 
adalah bumbu gulai dan cabai merah keriting.

Meski begitu, bukan berarti menu makanan di restoran ini bebas dari bahan 
dan bumbu yang biasa dipakai restoran Jepang. Asisten Chef Suntiang Delly 
Adhiguna mengatakan, cita rasa Jepang hadir lewat nori, mayonnaise, dan 
nasi sushi yang lengket, bukan nasi aur atau pera yang biasa digunakan di 
restoran Minang.

”Nah, semua itu dipadukan menjadi sushi. Kalau di menu sushi Jepang, nasi 
dipadu dengan daging ikan segar, di sini kami padu dengan lauk khas 
Minang,” kata Delly.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOAyam Pop Roll
Bumbu pendamping yang biasa terdapat di meja-meja restoran Jepang seperti 
wasabi dan acar jahe merah tak ada di atas meja Suntiang. Meski begitu, 
pramusaji Suntiang akan menyodorkan wasabi jika pelanggan meminta. ”Kami 
sengaja tidak menyediakan wasabi di meja karena rasa wasabi sangat 
menantang, sementara masakan Minang sendiri sudah kaya bumbu,” sambung 
Maulana.

Untuk mendapatkan rasa masakan Minang yang otentik, kepala koki dan asisten 
kepala koki berguru selama satu bulan lamanya di dapur sebuah restoran 
Minang milik salah satu pendiri Suntiang. Kebetulan satu dari tiga pemilik 
Suntiang berasal dari Solok, Sumatera Barat. Para koki yang berdarah Jawa 
Timur serta Madura lantas mengamati rasa, warna, dan tekstur makanan Minang.

”Kami belajar langsung di kampung dengan resep keluarga. Kami mengaduk 
rendang berjam-jam, tidak berhenti. Berat sekali membuat masakan Minang,” 
ujar Delly.

Dari hasil berguru, para koki yang tidak ada satu pun berdarah Minang itu, 
kemudian berkreasi dan mengembangkan menu, memadukan unsur tradisi kuliner 
Minang dengan masakan Jepang.

Menurut Maulana dan Delly, masakan Minang dan Jepang memiliki satu 
persamaan, yakni mudah diterima beragam lidah. Rumah makan Minang mudah 
ditemui di berbagai pelosok di Indonesia dan di luar negeri. Sebaliknya, 
kuliner Jepang sudah lama hadir di kota-kota besar di Indonesia. Kedua 
masakan itu memiliki banyak penggemar.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTOMenu Minang dihidangkan dengan ban berjalan 
mengelilingi meja pengunjung.
Restoran Suntiang pun hadir di sebuah mal besar di selatan Jakarta, tempat 
beragam budaya dan cita rasa berkumpul. Suntiang bersanding dengan deretan 
restoran tetangga yang bercita rasa ragam negara, mulai dari Italia, 
Amerika, Korea, hingga Jepang.

”Para pendiri restoran ini berpikir, jika mendirikan restoran Minang, sudah 
banyak pesaingnya. Jadi, mereka membuat pasar baru dengan menggabungkan 
masakan Minang dengan masakan Jepang,” kata Maulana.

Begitulah, di Restoran Suntiang, tradisi kuliner Minang seperti 
mempersunting tradisi kuliner Jepang. Tambuah ciek? Haik! *(Indira 
Permanasari dan Budi Suwarna)*

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke