Tarimo kasih caritonyo pak, sangat mengugah hati, semoga kebekuan hati dan 
kebencian bisa luntur setelah mambaco carito pendek iko.

nanang, jkt

Sent from my iPad

> On 25 Jun 2014, at 10.34, "Ali Unan Hasan" <unan1...@gmail.com> wrote:
> 
> Cerpen FAHD PAHDEPIE"Cilaka, Kyai! Cilaka!" Aku baru saja tiba di Pondok Kyai 
> Husain. Setelah mencium tangannya, aku tak bisa membendung rasa kesalku yang 
> telah kutahan cukup lama. Kegelisahanku tiba-tiba membrudal di hadapan wajah 
> teduh Kyai Husain yang selama ini selalu mendengarkan keluh kesahku.
> "Cilaka apanya, Nak?" Tanya Kyai Husain.
> "Pilpres!" Aku tak punya jawaban lain yang lebih panjang lagi. Aku yakin Kyai 
> Husain akan mengerti.
> Kyai Husain terkekeh. "Ndak usah dipikir!" Katanya, "Nanti juga reda sendiri. 
> Ndak usah dipikir!" Kyai Husain kemudian mulai melinting tembakaunya.
> "Tapi ini sudah menyangkut keselamatan ummat, Kyai. Ini sudah genting! Jika 
> calon yang didukung para pengusaha hitam dan musuh-musuh Islam yang menang, 
> bisa habis ummat Islam di negeri ini. Negeri ini akan hancur dan mendapatkan 
> azab dari Gusti Allah!"
> Kyai Husain mengangguk-angguk. Wajahnya tampak prihatin."Kamu sudah shalat?" 
> Tanyanya.
> Aku menggelengkan kepala.
> "Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih dahulu. Waktu ashar hampir 
> habis." Kata Kyai Husain.
> Pelan-pelan keresahanku ciut. Aku malu pada diriku sendiri. Betapa bebalnya 
> imanku, aku berteriak-teriak mengkhawatirkan nasib ummat tetapi aku sendiri 
> lupa menjalankan kewajibanku.
> Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau. Kyai Husain mengangguk perlahan. 
> Beliau sedang asyik dengan tembakaunya.
> Selang delapan atau sepuluh menit, aku sudah menghadapkan wajahku lagi pada 
> Kyai Husain. 
> "Bagaimana shalatmu?" Tanya Kyai Husain tiba-tiba.
> Aku terkejut ditanya demikian. 
> Bagaimana shalatku?"Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah saya sudah 
> shalat sekarang." Aku menjawab pertanyaan itu dengan terbata-bata.
> "Apa yang kau pikirkan dalam shalatmu?" Kyai Husain bertanya lagi.
> Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya-tanya begini. Apa urusan Kyai Husain 
> tentang shalatku? Bukankah itu urusanku dengan Gusti Allah? Untuk apa Kyai 
> Husain tanya-tanya segala? Tapi, karena aku sangat menghormati Kyai Husain, 
> mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mengakatan kepadanya bahwa aku 
> tersinggung. Aku juga tak mungkin menjawab, 
> Bukan urusan Anda, Kyai!  Bisa-bisa nanti beliau yang tersinggung. Jika 
> begitu, celakalah aku. Bisa kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang dulu 
> mengajari aku shalat. Dari alif-ba-ta Al-Fatihah sampai rukuk-sujud gerakan 
> shalat dia ajarkan kepadaku dengan penuh kesabaran.
> "Eh... Anu, begini, Kyai... Soal shalat, biarlah itu menjadi komunikasi batin 
> antara saya dan Gusti Allah." 
> Astagfirullah. 
> Mengapakata-kata itu juga yang keluar dari mulutku? 
> Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak terbatuk. "Ya sudah...Soal agama, biarlah 
> itu juga jadi urusan pribadi-pribadi dengan Tuhannya," katanya, lalu beliau 
> menghisap tembakaunya. "Tapi, dalam shalatmu, kamu 
> mikirin copras-capres atau tidak?" Sambung Kyai Husain, kemudian tertawa 
> lebar.
> Aku jadi kikuk. Aku tersenyum-senyum malu.
> "Iya, Kyai." Aku memang tak khusuk dalam shalatku tadi. Kepalaku dipenuhi 
> kekhawatiran-kekhawatiran dan semacam kebencian. Khawatir karena 
> elektabilitas capres yang kubenci, yang begitu membahayakan bagi umat Islam, 
> terus saja tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa 
> sih ummat Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar biasa dalam shalatku.  
> "Coba kamu ingat-ingat lagi," kata Kyai Husain, "Capres mana yang paling 
> membuatmu gelisah dalam shalat?"
> "Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas dia yang dikendalikan cukong-cukong 
> asing! Jelas dia yang tidak pro kebijakan syariah! Jelas sekali dia yang 
> diharamkan para ulama untuk dipilih!" Aku menjawab pertanyaan Kyai Husain 
> dengan berapi-api.
> Kyai Husain terkekeh. "Shalatmu begitu berat," katanya.
> Aku kebingungan.
> "Shalatmu penuh beban," lanjut Kyai Husain. "Aku tak pernah mengajarkan 
> shalat yang penuh beban."
> "Tapi, Kyai..." Aku berusaha memotong Kyai Husan, "Mohon maaf. Ini memang 
> masalah genting yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Pemilihan presiden 
> tinggal 20 hari lagi, musuh-musuh Islam hampir saja menang!"
> "Siapa yang kau sebut musuh-musuh Islam?"
> "Capres boneka! Juga orang fasik di belakangnya!" Jawabku dengan penuh 
> semangat.
> "Bukankah dia juga seorang Muslim?" Tanya Kyai Husain.
> "Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu pasti pencitraan! Keislaman palsu!"
> "Ajari aku tentang keislaman yang asli, keislaman yang sejati?" Dengan tenang 
> Kyai Husain mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Beliau masih 
> menghisap tembakaunya.
> "Eh, Kyai. Mohon maaf, Kyai. Saya tidak dalam kapasitas untuk menjelaskan 
> itu." Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Apa hakku memberi batas 
> dan ukuran-ukuran bagi keislaman seseorang? Mengapa aku melabeli seseorang 
> atau orang lain bahwa keislaman mereka palsu, pencitraan dan harus diragukan?
> "Kalau begitu bagaimana dengan keislamanmu sendiri?" Tanya Kyai Husain.
> Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun aku masih sering terlambat. Hingga 
> hampir kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun aku masih memikirkan hal-ihwal 
> ini-itu. Apa hakku mengatur-atur keisalaman orang lain? Bagaimana dengan 
> keislamanku sendiri?
> Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa-apa dan tak bisa berkata apa-apa. 
> Aku hanya menggelengkan kepala.
> Kyai Husain terkekeh.
> "Ummat Islam lebih besar dari sekadar pemilu-pemiluan," jawab Kyai Husain, 
> "Agama ini lebih besar dari sekadar capres-capresan!" Beliau tampak lebih 
> serius.
> Aku mulai memerhatikan perkataan Kyai Husain.
> "Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini. Islam dan apapun saja di dunia ini 
> tidak level untuk dibanding-bandingkan. Islam itu tinggi dan tidak ada yang 
> lebih tinggi lagi darinya, itu sudah 
> final. Kamu mau bawa-bawa Islam untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari 
> mereka yang memperjualbelikan agama untuk urusan dunia. Kamu mau membela 
> ummat Islam? Tanyakan itu sekalilagi pada dirimu sendiri, bukankah kamu 
> sebenarnya sedang melakukan segmentasi pemilih? Bukankah kamu ingin 
> menggiring pemilih untuk melihat mana capres Islam dan bukan Islam agar 
> mereka bisa dikategori-kategorikan, dikelompok-kelompokkan, agar syahwat 
> kekuasaanmu dan sekelompok orang tertentu bisa tercapai? Kamu ini sedang 
> membela Islam, atau siapa? Kamu ini sedang membela Gusti Allah atau membela 
> orang-orang yang hanya mengaku-ngaku dekat dengan Gusti Allah?"
> "Lalu soal mengharam-haramkan. Soal bahwa memilih capres tertentu diancam 
> berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa hakmu untuk mengatur-atur urusan yang 
> bahkan Rasulullah Muhammad pun tak mungkin sanggup mencampuri urusan Gusti 
> Allah itu? Apakah kamu sudah merasa lebih besar dari Rasulullah dan Gusti 
> Allah? Kamu boleh senang atau tidak senang dengan capres terntentu atau 
> siapapun saja, tetapi kamu tidak boleh senang melihat ummat Islam terpecah 
> belah, dipecah-belah. Kamu boleh senang dengan politik dan segala tetek 
> bengeknya, tetapi kamu tidak boleh senang melihat agamamu dijadikan alat 
> untuk mendulang suara--kamu tidak boleh mengharam-haramkan sesuatu yang 
> dengannya sebenarnya kamu sedang berusaha menghalal-halalkan syahwat dan 
> nafsu politikmu semata!"
> Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai Husain benar-benar menampar hatiku.
> "Tapi Kyai..." Aku berusaha memberi pembelaan, "Situasinya sekarang sudah 
> hitam-putih. Sudah jelas mana pembela Islam dan mana musuh Islam. Situasinya 
> sudah genting!"
> Kali ini Kyai Husain tampak marah. "Dengarkan aku!" Katanya,"Musuh Islam 
> sejati adalah orang-orang munafik! Mereka yang dalam luka baru mengaku 
> saudara! Mereka yang dalam situasi yang menguntungkan dirinya saja baru 
> mengaku-aku dekat dengan agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya 
> sebagai atribut belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa 
> dirinya paling beriman."
> "Tapi... tapi..." Aku berusaha memotong Kyai Husain. Tapi beliau tampak 
> benar-benar geram dengan situasi ini.
> "Islam tak membutuhkan orang-orang yang menyebarkan kebencian sebagai jalan 
> untuk meninggikannya. Gusti Allah tak perlu dibela. Jika kamu pikir besok 
> Islam akan habis jika calon presiden yang kaubenci itu menang, kamu sudah 
> benar-benar mengerdilkan dan meremehkan agama ini. Apakah jika dia menang 
> lantas kamu otomatis pindah agama? Kecuali kualitas imanmu memang seperti 
> kaus kaki yang kendur, kamu patut mengkhawatirkannya. Khawatirkanlah kualitas 
> keimananmu sendiri!"
> Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain memang punya pandangan politik yang 
> berbeda denganku. Jangan-jangan beliau sudah bergabung dengan pendukung calon 
> presiden boneka. Jangan-jangan beliau sudah sesat dan menjadi musuh Islam. 
> Aku tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh menemuinya lagi. Haram 
> hukumnya bagiku untuk menemuinya lagi.
> "Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir!" Tiba-tiba Kyai Husain seperti 
> bisa membaca pikiranku. Lalu tertawa. "Tidak apa-apa jika kau berpikir 
> begitu. Kelak di surgamu yang kamu bayang-bayangkan, mungkin kamu tidak akan 
> menemukan orang-orang sepertiku. Surgamu mungkin akan dipenuhi oleh 
> orang-orang yang suka menunjuk-nunjuk hidung orang lain sebagai sesat atau 
> kafir atau musuh agama, sebab hanya diri mereka yang benar. Mungkin perlu 
> juga kamu pikirkan apakah di antara orang-orang seperti ini terdapat 
> kemungkinan untuk saling menyalah-nyalahkan dan mengkafir-kafirkan juga? 
> Sebab kebenaran hanya benar menurut dirimu sendiri, bukan? Di surga semacam 
> itu, mungkin kamu akan hidup sendirian!"
> Kyai Husain terkekeh.
> Aku berada pada situasi yang benar-benar membingungkan. Aku mulai ragu pada 
> diriku sendiri. Apa yang dikatakan Kyai Husain benar-benar menampar hati dan 
> kesadaranku.
> "Maafkan saya, Kyai." Tiba-tiba aku memohon maaf padanya. Akal sehat dan 
> nuraniku memerintahkannya.
> Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali menghisap lintingan tembakaunya 
> yang hampir habis. "Kau tak perlu meminta maaf padaku," katanya, "Tapi kau 
> harus mulai berpikir, bahwa calon presiden yang kamu bela atau calon presiden 
> yang kamu benci tak akan menentukan apa-apa bagi kualitas keimanan dan 
> ketakwaanmu sebagai individu. Itu urusan pribadimu sendiri dengan Gusti 
> Allah."
> Aku mengangguk-angguk setuju.
> "Perbaiki shalatmu," kata Kyai Husain, "Perbaiki apa saja yang buruk pada 
> dirimu. Lalu berbuat baiklah pada sesama. Jangan gadaikan agamamu hanya untuk 
> sesuatu yang sementara seperti pesta demokrasi lima tahunan ini."
> "Tapi kita harus memilih, Kyai."
> Kyai Husain mengangguk. "Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut 
> pertimbangan akal dan hati nuranimu."
> Aku mengangguk-angguk, "Terima kasih, Kyai."
> Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku ke surau untuk shalat magrib 
> berjamaah. Aku menyetujui ajakannya. "Selesai shalat, orang-orang akan 
> membicarakan hal yang sama," kata Kyai Husain sambil tersenyum dan 
> menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak apa-apa," katanya, "Ini sedang masanya. 
> Kelak kita akan kembali pada urusan masing-masing, pada problem hidup 
> masing-masing, pada takdir dan nasib kita masing-masing, dan kita harus 
> berjuang untuk menyelesaikannya sendiri-sendiri."
> Aku mengangguk. "Saya akan memilih calon presiden yang paling baik, yang bisa 
> membantu rakyat untuk menyelesaikan problem-problem keseharian mereka, Kyai."
> "Nah, kali ini pertimbanganmu benar." Kata Kyai Husain. "Alasan itu saja yang 
> kau jadikan pertimbangan untuk menentukan pilihanmu, tak usah repot-repot 
> bawa agama."
> Aku tersenyum. Ada semacam kelegaan dalam hatiku mendengar persetujuan Kyai 
> Husain tentang pendapatku. Aku sengaja memelankan langkahku, ingin melihat 
> Kyai Husain dari belakang. Aku memerhatikan langkah ritmisnya, rambut 
> putihnya, sarung hijaunya, juga surban yang tak lepas dari kepalanya.
> "Kyai..." Tiba-tiba aku ingin memanggilnya.
> Kyai Husain menoleh.
> "Siapa yang Kyai pilih?"
> "Tak ada yang sempurna," Jawabnya. "Seperti kita tahu, tak ada manusia yang 
> sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki suara merdu seperti Daud, tak memiliki 
> kemampuan fantastis seperti yang dimiliki Sulaiman, bahkan mungkin saja tak 
> seberani Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan memilih calon presiden yang 
> paling mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan dia yang paling bisa 
> menghargai kemanusiaan sesama."
> Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain.
> "Siapa orangnya, Kyai?"
> Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus berjalan menuju surau.
> Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa aku kembali tidak khusuk dalam 
> shalatku. Sepanjang shalat, aku terus berpikir tentang pilihanku dan 
> memerhatikan Kyai Husain yang menjadi imam. Ada bacaan shalat Kyai Husain 
> yang menurutku keliru pelafalan dan tajwidnya.
> Mungkin memang sulit mencari imam yang sempurna, pikirku. Tetapi dalam shalat 
> berjamaah, semua orang diberi Allah derajat pahala berlipat ganda. Aku mulai 
> sadar, kebaikan yang paripurna tak bisa dicapai sendirian.
> Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang kali ini tampak sedang berdzikir. 
> Kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Aku belum tahu jawaban Kyai Husain 
> tentang calon presiden pilihannya... Tapi aku mulai ragu pada pilihanku 
> sendiri.
> Melbourne, 21 Juni 2014
> *
> Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah 
> mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, 
> Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne.
> 
> 
> Unan/jkt/33
> Sent from my BlackBerry(R) smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung 
> Teruuusss...!
> 
> -- 
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
> * DILARANG:
>  1. Email besar dari 200KB;
>  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
>  3. Email One Liner.
> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
> mengirimkan biodata!
> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
> subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> --- 
> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
> Grup.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
> email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke