"Saya akan memilih calon presiden yang paling baik, yang bisa membantu rakyat untuk menyelesaikan problem-problem keseharian mereka, Kyai." "Nah, kali ini pertimbanganmu benar." Kata Kyai Husain. "Alasan itu saja yang kau jadikan pertimbangan untuk menentukan pilihanmu, tak usah repot-repot bawa agama.
tulisan ini tdk mengajak memilih calon no 1 atau 2 , brapa pun itu hak masing2. bebas , yg harus diperhatikan ini pertimbangan Alasan itu saja yang kau jadikan pertimbangan untuk menentukan pilihanmu, tak usah repot-repot bawa agama. 2014-06-25 11:39 GMT+07:00 Dedi Suryadi <dsuryadi...@gmail.com>: > dan dia yang paling bisa menghargai kemanusiaan sesama." > > Menyimak isi cerita ini, sepertinya malah agama dibawa untuk membentuk > opini mengarah pada capres tertentu. > Penggunaan tokoh kiyai, sholat, mushola, jelas bidikan dari pembuat cerita > adalah kaum muslim. > Dan pembuat cerita paham benar, isu apa saja yg digunakan org dalam > melawan kampanye kubu tertentu. > > Mudah2an kita dapat berpikir jernih dlm menanggapi cerita ini, jgn hanya > krn pendekatan dunia Islam yg dipakai, membuat kita kaum muslim begitu saja > terpengaruh. > > Vote saya takkan berubah, ttp sejalan dgn mamak Kivlan Zen dan uda Fadli > Zon, No.1 for PRESIDEN RI. > > salam dan terimakasih > dedi suryadi > Pada 25 Jun 2014 10:34, "Ali Unan Hasan" <unan1...@gmail.com> menulis: > >> Cerpen FAHD PAHDEPIE"Cilaka, Kyai! Cilaka!" Aku baru saja tiba di Pondok >> Kyai Husain. Setelah mencium tangannya, aku tak bisa membendung rasa >> kesalku yang telah kutahan cukup lama. Kegelisahanku tiba-tiba membrudal di >> hadapan wajah teduh Kyai Husain yang selama ini selalu mendengarkan keluh >> kesahku. >> "Cilaka apanya, Nak?" Tanya Kyai Husain. >> "Pilpres!" Aku tak punya jawaban lain yang lebih panjang lagi. Aku yakin >> Kyai Husain akan mengerti. >> Kyai Husain terkekeh. "Ndak usah dipikir!" Katanya, "Nanti juga reda >> sendiri. Ndak usah dipikir!" Kyai Husain kemudian mulai melinting >> tembakaunya. >> "Tapi ini sudah menyangkut keselamatan ummat, Kyai. Ini sudah genting! >> Jika calon yang didukung para pengusaha hitam dan musuh-musuh Islam yang >> menang, bisa habis ummat Islam di negeri ini. Negeri ini akan hancur dan >> mendapatkan azab dari Gusti Allah!" >> Kyai Husain mengangguk-angguk. Wajahnya tampak prihatin."Kamu sudah >> shalat?" Tanyanya. >> Aku menggelengkan kepala. >> "Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih dahulu. Waktu ashar hampir >> habis." Kata Kyai Husain. >> Pelan-pelan keresahanku ciut. Aku malu pada diriku sendiri. Betapa >> bebalnya imanku, aku berteriak-teriak mengkhawatirkan nasib ummat tetapi >> aku sendiri lupa menjalankan kewajibanku. >> Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau. Kyai Husain mengangguk >> perlahan. Beliau sedang asyik dengan tembakaunya. >> Selang delapan atau sepuluh menit, aku sudah menghadapkan wajahku lagi >> pada Kyai Husain. >> "Bagaimana shalatmu?" Tanya Kyai Husain tiba-tiba. >> Aku terkejut ditanya demikian. >> Bagaimana shalatku?"Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah saya >> sudah shalat sekarang." Aku menjawab pertanyaan itu dengan terbata-bata. >> "Apa yang kau pikirkan dalam shalatmu?" Kyai Husain bertanya lagi. >> Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya-tanya begini. Apa urusan Kyai >> Husain tentang shalatku? Bukankah itu urusanku dengan Gusti Allah? Untuk >> apa Kyai Husain tanya-tanya segala? Tapi, karena aku sangat menghormati >> Kyai Husain, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mengakatan kepadanya bahwa >> aku tersinggung. Aku juga tak mungkin menjawab, >> Bukan urusan Anda, Kyai! Bisa-bisa nanti beliau yang tersinggung. Jika >> begitu, celakalah aku. Bisa kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang >> dulu mengajari aku shalat. Dari alif-ba-ta Al-Fatihah sampai rukuk-sujud >> gerakan shalat dia ajarkan kepadaku dengan penuh kesabaran. >> "Eh... Anu, begini, Kyai... Soal shalat, biarlah itu menjadi komunikasi >> batin antara saya dan Gusti Allah." >> >> Astagfirullah. >> Mengapakata-kata itu juga yang keluar dari mulutku? >> Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak terbatuk. "Ya sudah...Soal agama, >> biarlah itu juga jadi urusan pribadi-pribadi dengan Tuhannya," katanya, >> lalu beliau menghisap tembakaunya. "Tapi, dalam shalatmu, kamu >> >> mikirin copras-capres atau tidak?" Sambung Kyai Husain, kemudian tertawa >> lebar. >> Aku jadi kikuk. Aku tersenyum-senyum malu. >> "Iya, Kyai." Aku memang tak khusuk dalam shalatku tadi. Kepalaku dipenuhi >> kekhawatiran-kekhawatiran dan semacam kebencian. Khawatir karena >> elektabilitas capres yang kubenci, yang begitu membahayakan bagi umat >> Islam, terus saja tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa >> sih ummat Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar biasa dalam shalatku. >> "Coba kamu ingat-ingat lagi," kata Kyai Husain, "Capres mana yang paling >> membuatmu gelisah dalam shalat?" >> "Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas dia yang dikendalikan >> cukong-cukong asing! Jelas dia yang tidak pro kebijakan syariah! Jelas >> sekali dia yang diharamkan para ulama untuk dipilih!" Aku menjawab >> pertanyaan Kyai Husain dengan berapi-api. >> Kyai Husain terkekeh. "Shalatmu begitu berat," katanya. >> Aku kebingungan. >> "Shalatmu penuh beban," lanjut Kyai Husain. "Aku tak pernah mengajarkan >> shalat yang penuh beban." >> "Tapi, Kyai..." Aku berusaha memotong Kyai Husan, "Mohon maaf. Ini memang >> masalah genting yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Pemilihan presiden >> tinggal 20 hari lagi, musuh-musuh Islam hampir saja menang!" >> >> "Siapa yang kau sebut musuh-musuh Islam?" >> "Capres boneka! Juga orang fasik di belakangnya!" Jawabku dengan penuh >> semangat. >> "Bukankah dia juga seorang Muslim?" Tanya Kyai Husain. >> "Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu pasti pencitraan! Keislaman >> palsu!" >> "Ajari aku tentang keislaman yang asli, keislaman yang sejati?" Dengan >> tenang Kyai Husain mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. >> Beliau masih menghisap tembakaunya. >> "Eh, Kyai. Mohon maaf, Kyai. Saya tidak dalam kapasitas untuk menjelaskan >> itu." Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Apa hakku memberi >> batas dan ukuran-ukuran bagi keislaman seseorang? Mengapa aku melabeli >> seseorang atau orang lain bahwa keislaman mereka palsu, pencitraan dan >> harus diragukan? >> "Kalau begitu bagaimana dengan keislamanmu sendiri?" Tanya Kyai Husain. >> Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun aku masih sering terlambat. Hingga >> hampir kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun aku masih memikirkan >> hal-ihwal ini-itu. Apa hakku mengatur-atur keisalaman orang lain? Bagaimana >> dengan keislamanku sendiri? >> Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa-apa dan tak bisa berkata >> apa-apa. Aku hanya menggelengkan kepala. >> Kyai Husain terkekeh. >> "Ummat Islam lebih besar dari sekadar pemilu-pemiluan," jawab Kyai >> Husain, "Agama ini lebih besar dari sekadar capres-capresan!" Beliau tampak >> lebih serius. >> Aku mulai memerhatikan perkataan Kyai Husain. >> "Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini. Islam dan apapun saja di dunia >> ini tidak level untuk dibanding-bandingkan. Islam itu tinggi dan tidak ada >> yang lebih tinggi lagi darinya, itu sudah >> final. Kamu mau bawa-bawa Islam untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari >> mereka yang memperjualbelikan agama untuk urusan dunia. Kamu mau membela >> ummat Islam? Tanyakan itu sekalilagi pada dirimu sendiri, bukankah kamu >> sebenarnya sedang melakukan segmentasi pemilih? Bukankah kamu ingin >> menggiring pemilih untuk melihat mana capres Islam dan bukan Islam agar >> mereka bisa dikategori-kategorikan, dikelompok-kelompokkan, agar syahwat >> kekuasaanmu dan sekelompok orang tertentu bisa tercapai? Kamu ini sedang >> membela Islam, atau siapa? Kamu ini sedang membela Gusti Allah atau membela >> orang-orang yang hanya mengaku-ngaku dekat dengan Gusti Allah?" >> "Lalu soal mengharam-haramkan. Soal bahwa memilih capres tertentu diancam >> berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa hakmu untuk mengatur-atur urusan yang >> bahkan Rasulullah Muhammad pun tak mungkin sanggup mencampuri urusan Gusti >> Allah itu? Apakah kamu sudah merasa lebih besar dari Rasulullah dan Gusti >> Allah? Kamu boleh senang atau tidak senang dengan capres terntentu atau >> siapapun saja, tetapi kamu tidak boleh senang melihat ummat Islam terpecah >> belah, dipecah-belah. Kamu boleh senang dengan politik dan segala tetek >> bengeknya, tetapi kamu tidak boleh senang melihat agamamu dijadikan alat >> untuk mendulang suara--kamu tidak boleh mengharam-haramkan sesuatu yang >> dengannya sebenarnya kamu sedang berusaha menghalal-halalkan syahwat dan >> nafsu politikmu semata!" >> >> Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai Husain benar-benar menampar >> hatiku. >> "Tapi Kyai..." Aku berusaha memberi pembelaan, "Situasinya sekarang sudah >> hitam-putih. Sudah jelas mana pembela Islam dan mana musuh Islam. >> Situasinya sudah genting!" >> >> Kali ini Kyai Husain tampak marah. "Dengarkan aku!" Katanya,"Musuh Islam >> sejati adalah orang-orang munafik! Mereka yang dalam luka baru mengaku >> saudara! Mereka yang dalam situasi yang menguntungkan dirinya saja baru >> mengaku-aku dekat dengan agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya >> sebagai atribut belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa >> dirinya paling beriman." >> "Tapi... tapi..." Aku berusaha memotong Kyai Husain. Tapi beliau tampak >> benar-benar geram dengan situasi ini. >> >> "Islam tak membutuhkan orang-orang yang menyebarkan kebencian sebagai >> jalan untuk meninggikannya. Gusti Allah tak perlu dibela. Jika kamu pikir >> besok Islam akan habis jika calon presiden yang kaubenci itu menang, kamu >> sudah benar-benar mengerdilkan dan meremehkan agama ini. Apakah jika dia >> menang lantas kamu otomatis pindah agama? Kecuali kualitas imanmu memang >> seperti kaus kaki yang kendur, kamu patut mengkhawatirkannya. >> Khawatirkanlah kualitas keimananmu sendiri!" >> Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain memang punya pandangan politik >> yang berbeda denganku. Jangan-jangan beliau sudah bergabung dengan >> pendukung calon presiden boneka. Jangan-jangan beliau sudah sesat dan >> menjadi musuh Islam. Aku tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh >> menemuinya lagi. Haram hukumnya bagiku untuk menemuinya lagi. >> "Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir!" Tiba-tiba Kyai Husain seperti >> bisa membaca pikiranku. Lalu tertawa. "Tidak apa-apa jika kau berpikir >> begitu. Kelak di surgamu yang kamu bayang-bayangkan, mungkin kamu tidak >> akan menemukan orang-orang sepertiku. Surgamu mungkin akan dipenuhi oleh >> orang-orang yang suka menunjuk-nunjuk hidung orang lain sebagai sesat atau >> kafir atau musuh agama, sebab hanya diri mereka yang benar. Mungkin perlu >> juga kamu pikirkan apakah di antara orang-orang seperti ini terdapat >> kemungkinan untuk saling menyalah-nyalahkan dan mengkafir-kafirkan juga? >> Sebab kebenaran hanya benar menurut dirimu sendiri, bukan? Di surga semacam >> itu, mungkin kamu akan hidup sendirian!" >> Kyai Husain terkekeh. >> Aku berada pada situasi yang benar-benar membingungkan. Aku mulai ragu >> pada diriku sendiri. Apa yang dikatakan Kyai Husain benar-benar menampar >> hati dan kesadaranku. >> "Maafkan saya, Kyai." Tiba-tiba aku memohon maaf padanya. Akal sehat dan >> nuraniku memerintahkannya. >> Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali menghisap lintingan >> tembakaunya yang hampir habis. "Kau tak perlu meminta maaf padaku," >> katanya, "Tapi kau harus mulai berpikir, bahwa calon presiden yang kamu >> bela atau calon presiden yang kamu benci tak akan menentukan apa-apa bagi >> kualitas keimanan dan ketakwaanmu sebagai individu. Itu urusan pribadimu >> sendiri dengan Gusti Allah." >> Aku mengangguk-angguk setuju. >> "Perbaiki shalatmu," kata Kyai Husain, "Perbaiki apa saja yang buruk pada >> dirimu. Lalu berbuat baiklah pada sesama. Jangan gadaikan agamamu hanya >> untuk sesuatu yang sementara seperti pesta demokrasi lima tahunan ini." >> "Tapi kita harus memilih, Kyai." >> Kyai Husain mengangguk. "Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut >> pertimbangan akal dan hati nuranimu." >> Aku mengangguk-angguk, "Terima kasih, Kyai." >> Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku ke surau untuk shalat magrib >> berjamaah. Aku menyetujui ajakannya. "Selesai shalat, orang-orang akan >> membicarakan hal yang sama," kata Kyai Husain sambil tersenyum dan >> menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak apa-apa," katanya, "Ini sedang masanya. >> Kelak kita akan kembali pada urusan masing-masing, pada problem hidup >> masing-masing, pada takdir dan nasib kita masing-masing, dan kita harus >> berjuang untuk menyelesaikannya sendiri-sendiri." >> Aku mengangguk. "Saya akan memilih calon presiden yang paling baik, yang >> bisa membantu rakyat untuk menyelesaikan problem-problem keseharian mereka, >> Kyai." >> "Nah, kali ini pertimbanganmu benar." Kata Kyai Husain. "Alasan itu saja >> yang kau jadikan pertimbangan untuk menentukan pilihanmu, tak usah >> repot-repot bawa agama." >> Aku tersenyum. Ada semacam kelegaan dalam hatiku mendengar persetujuan >> Kyai Husain tentang pendapatku. Aku sengaja memelankan langkahku, ingin >> melihat Kyai Husain dari belakang. Aku memerhatikan langkah ritmisnya, >> rambut putihnya, sarung hijaunya, juga surban yang tak lepas dari kepalanya. >> "Kyai..." Tiba-tiba aku ingin memanggilnya. >> >> Kyai Husain menoleh. >> "Siapa yang Kyai pilih?" >> "Tak ada yang sempurna," Jawabnya. "Seperti kita tahu, tak ada manusia >> yang sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki suara merdu seperti Daud, tak >> memiliki kemampuan fantastis seperti yang dimiliki Sulaiman, bahkan mungkin >> saja tak seberani Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan memilih calon >> presiden yang paling mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan dia yang >> paling bisa menghargai kemanusiaan sesama." >> Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain. >> "Siapa orangnya, Kyai?" >> Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus berjalan menuju surau. >> Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa aku kembali tidak khusuk dalam >> shalatku. Sepanjang shalat, aku terus berpikir tentang pilihanku dan >> memerhatikan Kyai Husain yang menjadi imam. Ada bacaan shalat Kyai Husain >> yang menurutku keliru pelafalan dan tajwidnya. >> Mungkin memang sulit mencari imam yang sempurna, pikirku. Tetapi dalam >> shalat berjamaah, semua orang diberi Allah derajat pahala berlipat ganda. >> Aku mulai sadar, kebaikan yang paripurna tak bisa dicapai sendirian. >> Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang kali ini tampak sedang berdzikir. >> Kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Aku belum tahu jawaban Kyai Husain >> tentang calon presiden pilihannya... Tapi aku mulai ragu pada pilihanku >> sendiri. >> Melbourne, 21 Juni 2014 >> * >> Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah >> mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, >> Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne. >> >> >> Unan/jkt/33 >> Sent from my BlackBerry(R) smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung >> Teruuusss...! >> >> -- >> . >> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat >> lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ >> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. >> =========================================================== >> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: >> * DILARANG: >> 1. Email besar dari 200KB; >> 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; >> 3. Email One Liner. >> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta >> mengirimkan biodata! >> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting >> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply >> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & >> mengganti subjeknya. >> =========================================================== >> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: >> http://groups.google.com/group/RantauNet/ >> --- >> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari >> Google Grup. >> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, >> kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. >> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. >> > -- > . > * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain > wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ > * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. > =========================================================== > UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: > * DILARANG: > 1. Email besar dari 200KB; > 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; > 3. Email One Liner. > * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta > mengirimkan biodata! > * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting > * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply > * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & > mengganti subjeknya. > =========================================================== > Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: > http://groups.google.com/group/RantauNet/ > --- > Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "RantauNet" di Google > Grup. > > Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, > kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. > Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. > -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.