Assalamualaikum Wr Wb, Mohon izin pak Lies Suryadi - copy paste dan share tulisan Bapak, semoga bermanfaat dalam mencerahkan dan mencerdaskan bangsa :
http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1312#more-1312 JUN30 Renung #21 | Presiden Published By aniadilova <http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/author/niadilova/> under Renung <http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/category/renung> Ada 195 negara merdeka di dunia ini menurut catatan tahun 2014. Jika dijejer pemimpin (presiden/perdana menteri/raja/ratu) semua negara itu di depan kamera, tentu tidak bakal ada yang sama penampilan fisiknya. Mungkin ada yang agak pendek dan ada yang tinggi, ada yang buncit dan ada yang langsing, ada yang kekar dan ada yang gemulai, ada yang tua dan ada yang muda, dan lain sebagainya. Yang relatif fenomenal mungkin Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika. Tanggal 28 April 2014 ia dilantik untuk keempat kalinya menjadi presiden negeri Magribi itu dalam keadaan stroke yang sudah lebih setahun dideritanya dan membuatnya hampir lumpuh. Duduk di kursi roda, veteran perang berusia 77 tahun itu membacakan sumpah kepresidenannya dengan suara lemah dan tubuh bergetar. Kita di Indonesia juga pernah punya presiden yang terlalu semok dan yang kurang terang penglihatannya. Tapi dalam Pemilu 2014 ini bangsa Indonesia tampaknya ingin mempunyai presiden yang lebih sempurna daripada nabi dan rasul, bahkan mungkin Tuhan. Setidaknya itu yang dapat dikesan dari kampanye sindir-menyindir, caci-mencaci, hujat-menghujat, dan asung fitnah yang makin menggila, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tim sukses dan pendukung kedua kandidat presiden, Prabowo Subiyanto dan Jokowi, saling mendiskreditkan, melecehkan, dan mengejikan dengan memakai kata-kata dan gambar-gambar yang bahkan sudah tidak lagi beretika dan meninggalkan adab kesopansantunan orang Indonesia. Beberapa jurnalis yang telah kehilangan pedoman dan rusak kompasnya juga ikut-ikutan jadi tukang kipas api kebencian. Frase kampanye hitam kini menjadi tren seperti musik K Pop dan kawin sesama jenis. Ini adalah bulan-bulan dimana sifat busuk hati dan kasam muncul ke permukaan dalam keadaan telanjang bulat. Pribadi kedua kandidat presiden dicungkil habis sampai ke ujung-ujung urat darahnya: masa lalunya, keluarganya, nenek moyangnya, agamanya, hobinya, bisnisnya, harta kekayaannya, gaya bicaranya, gaya bersalamannya, postur tubuhnya, model pakaiannya, para penasehat dan pendukungnya, dan lain sebagainya. Pihak pendukung menonjolkan kelebihan-kelebihan kandidatnya, sementara pihak lawan mengorek kelemahan-kelemahannya. Masing-masing pihak saling memburukkkan atau, sebaliknya, menyanjung berhadapan. Baik upaya penonjolan kelebihan-kelebihan kandidat sendiri dan pengorekan kekurangan-kekurangan kandidat lawan, sudah sampai memakai cara-cara paling kotor dan menghina. Kata-kata dan gambar-gambar yang jauh dari kesan santun, beradab, dan simpatik berseliweran di dunia maya. Mengamati hiruk pikuk caci-maki, saling menzalimi, dan hujat-menghujat yang membadai itu, kita membatin, sepertinya sudah putus tali silaturahmi, *hablumminannas*, antara sesama kita sebagai anak bangsa. Pemilu presiden di zaman demokrasi ini bukan malah menjadi momen terbaik untuk mendewasakan kita sebagai bangsa, tapi malah sebaliknya, menyuburkan sifat purba manusia yang suka tanduk-menanduk, berseteru dan cedera-mencederai, baik fisik maupun moral. Dalam ‘tarian triping’ saling hujat itu, kita lupa memfokuskan perhatian pada esensi kampanye pilpres ini: yaitu program serta visi dan misi masing-masing kandidat. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang teman, Joko Santoso HP, bahwa di kalangan masing-masing pendukung capres telah terbentuk lapisan relawan dengan tingkat fanatisme luar biasa. ‘Maka peran penyebar kampanye hitam ibarat mengipasi bara dalam sekam’. Joko menyangsikan apakah kampanye model itu akan efektif atau hanya sebatas katarsis pemuas ‘dahaga nafsu’ sang penyebar kebencian itu saja. Ketika yang muncul hanya wacana saling menggugat ‘keislaman’ Jokowi atau ‘dosa-dosa Prabowo terhadap etnis tertentu’ yang belum pasti kebenarannya, kebencian terhadap pemeluk Islam dan, sebaliknya, terhadap etnis tertentu, akan semakin membara. Alih-alih akan membantu meraup suara, yang terbentuk malah jurang dendam kesumat yang semakin lebar. Kenapa kita tidak menggunakan pilpres ini justru sebagai momentum untuk menuntut komitmen atau kontrak politik dari masing-masing capres agar mereka tetap menjaga keutuhan Indonesia Raya jika terpilih nanti. Janganlah karena kotestasi pilpres yang berjangka pendek ini, lalu kita mengorbankan kepentingan nasional kita yang berjangka panjang. Apa yang hendak saya katakan adalah: sebagai sebuah bangsa, apakah sesungguhnya yang ingin kita cari dan tuju dalam dan melalui pilpres ini? Katakanlah nanti kita akan mendapat presiden yang sesempurna nabi dan rasul, yang bukan keturunan Cina, yang keislamannya tidak diragukan lagi dan sudah sekian kali naik haji, yang tak pernah tertinggal salat wajib dan tak lupa sembahyang sunatnya, yang bersih dari pelanggaran HAM, yang kaya dan gagah, yang punya keluarga sakinah, yang pintar naik kuda atau yang suka membungkukkan badan kalau bersalaman, pendek kata yang tak punya cacat bawaan dan cacat sosial, lalu residu dari pemilihan itu, dimana selama berminggu-minggu dalam masa kampanye kita sebagai sesama anak bangsa menabur dosa dengan saling mencaci-maki, menjelek-jelekkan, memfitnah, menghujat, dan menyebarkan kebencian dan sikap intoleran, apakah akan dihapus begitu saja oleh Tuhan? Sebagai bangsa yang mengaku beragama, begitu naifnya kita merayakan pesta duniawi sesaat ini, yang bernama pemilihan umum presiden, dengan melanggar dan melupakan ajaran agama kita masing-masing yang menyuruh kita untuk tidak menebar fitnah dan kebencian antar sesama. Semoga kita menyadari bahwa pemilu ini, seperti halnya uang korupsi, mobil mewah, dan istri muda, hanyalah permainan duniawi semata. Dan siapapun yang akan jadi presiden nanti, semoga tidak akan diikuti oleh tindakan anarkis para pendukung pihak yang kalah. Semoga pula Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pemurah berkenan memberikan seorang presiden yang baik untuk (rakyat) Indonesia, yang mampu menciptakan pestisida penghancur rasa dengki, iri hati, kasam, dan dendam kesumat yang tampaknya tak juga kunjung meranggas dalam jiwa bangsa ini. Suryadi - Leiden University, Belanda | *Padang Ekspres*, Minggu, 29 Juni 2014 -- Wassalam, JG 37th, Jkt -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.