Jumat, 15 Agustus 2014 01:36

*S**ejauh-jauh* ba­ngau terbang akan kembali ke kubangan. Begitu pula,
sejauh-jauh pergi merantau, pasti kembali ke kampung halaman. Sangat banyak
urang awak yang tersebar di rantau untuk mencari penghi­dupan. Orang Minang
dari muda memang dibiasakan pergi meran­tau untuk hidup mandiri. Jika pergi
ke ibu kota atau ke pulau Jawa, pasti kita sering mene­mukan logat-logat
Minang di sana.

Namun sangat disayangkan, makin jauh dan lama urang awak berada di rantau,
makin lupa mereka akan adatnya. Tak hanya kampung yang diting­galkan, tapi
juga adat yang diajarkan. Hanya bahasa Minang yang masih membedakan mere­ka
dari penduduk lokal di sana.

Sangat disayangkan apabila orang rantau melupakan budaya Minang yang pernah
diajarkan, sejarah Minang, kato nan ampek, raso jo pareso, serta
petatah-petitih. Apalagi urang awak yang dari kecil memang tinggal di
perantauan. Darah se nan minang, tapi parangai alun minang. Tahu jo adat
pun masih satangah-satangah.

Adat dan Budaya Minang sangat penting dijadikan pega­ngan hidup, selain
Alquran dan hadist tentunya. Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Ketika kita jauh di rantau, kedua hal itulah yang membedakan
kita dari orang di sana. Agama dan adat, itu adalah pembeda kita dari segi
iman dan kearifan lokal. Kedua hal itu seharusnya jadi penuntun kita di
rantau. Agar tidak menjadi orang yang lupa dengan identitas.

Sangat banyak ditemukan urang awak yang berubah di rantau. Mereka melalui
fase culture shock (geger budaya). Culture shock sendiri adalah kelainan
yang dialami oleh orang yang tiba-tiba pindah ke daerah baru. Gejalanya
berupa pusing, sakit kepala, susah tidur, ketakutan yang berlebihan
terhadap hal-hal yang kurang bersih, kurang sehat, takut ditipu, takut
dirampok, dll. Ada bebe­rapa fase culture shock yang dialami perantau
ketika di tempat baru.

Pertama, ada­lah honeymoon. Fase ketika se­­­ga­la hal me­­­nye­nang­­kan,
ma­ka­nan, sua­sa­na, budaya baru, dan orang baru. Sese­orang akan merasa
baha­gia ketika be­rada di tempat ba­runya (Dodd, 1998: 159).

Kedua adalah crisis. Ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa kenyataan
yang ada tidak sesuai dengan yang di­pikirkan se­be­lum­nya. Ia mul­ai
kecewa, tidak puas, dan segala sesuatu yang ditemui menjadi me­ngerikan.

Ketiga, ada­lah pemu­lihan (re­covery). Pa­da ta­hap ini, ind­ividu
be­r­­usaha me­ma­ha­mi bu­da­ya ba­ru­nya, mem­­pe­la­jari bahasa, dan
kebiasaan yang ada di sana.

Keempat adalah adaptasi. Pada tahap ini, individu mulai menyesuaikan diri
dan mulai dapat menerima budaya di lingkungan baru sebagai gaya hidup baru.
Individu mulai memahami nilai budaya seperti bahasa, cara berinteraksi, dan
kebiasaan yang ada. Memang belum fasih karena masih ada kesulitan dan
ketegangan, namun secara keseluruhan pengalaman ini terasa menye­nangkan
(Devito, 2011: 550).

Mereka yang sudah lama tinggal di kota besar mulai bisa beradaptasi.
Menjadi orang kekotaan, me­ngubah diri menjadi orang kekinian. Mulai dari
cara berpakaian, tempat nongkrong, teman-teman, gaya hidup malam, dll. Jika
kita tidak arif dengan kata “adaptasi” ini, siap-siaplah kita diperlihatkan
dengan kehidupan kota yang menyi­laukan mata. Awalnya memang indah, namun
akhirnya (bisa jadi) menyakitkan.

Lah langang kam­puang dek bating­gakan. Tapi adat jo budi baiak janlah
dilu­poan. Masih ingatkah ki­ta dengan ajaran ni­niak ma­mak? Pen­­didi­kan
dari guru me­ngaji di surau? Kam­puang lah langang, hati jan langang pulo.
Kita jangan hanya ber­adaptasi dengan lingkungan baru, tapi juga
menyesuaikan dengan adat istiadat yang kita junjung selama ini. Mulai dari
hal kecil saja, seperti menjaga salat, bertutur kata baik, berpakaian
menutup aurat, dan tidak berkeliaran di malam hari.

Sudah seharusnya kita menjaga identitas di perantauan. Apalagi jika kita
jarang punya kesempatan untuk pulang kampung. Kalau kata orang, pulang
katiko maminang. Pulang kampung hanya untuk menikah lalu kembali lagi ke
rantau. Semestinya pula kita menga­jarkan budaya Minang pada anak-anak
kita. Biarkan mereka belajar mulai dari bahasanya, kemudian perlahan-lahan
budaya­nya. Sebab siapa lagi yang akan mengajarkan adat pada anak cucu,
jika bukan orang tuanya sendiri. Atau jika anak bertanya tentang kampung
dan iden­titasnya, apakah kita sudah tahu hendak menjawab apa.

Barangkali kita yang berada di rantau inilah yang harus mengajarkan budaya
Minang­kabau kepada anak-anak kita nanti. Kita yang sempat belajar Budaya
Alam Mi­nang­kabau di bangku SD hingga SMP. Karena di Ranah Minang sendiri,
Budaya Alam Minangkabau tidak lagi menjadi pelajaran muatan lokal. Sangat
disayangkan, Kurikulum 2013 tidak memuat muatan lokal Budaya Alam
Minangkabau. Katanya mau menekankan pembentukan karakter. Karakter yang
bagaimana? Karakter yang seperti apa dulu?

Kita bicara soal pem­ben­tukan karakter, tapi melu­pakan pembentukan
karakter dari budaya sendiri. Padahal anak-anak didik era tahun 2000-an
sudah cukup dengan Budaya Alam Minangkabau serta asuhan dari guru mengaji.
Kedua hal itu cukup untuk menanamkan budi pekerti dan rasa malu pada diri
mereka. Budaya Alam Minangkabau (BAM) dan mengaji di surau sudah lebih dulu
membentuk karakter yang baik pada anak-anak kita. Tapi kini BAM sudah
tinggal cerita.

Maka sudah sepatutnya kita yang mengingat-ingatkan budaya Minang pada
generasi muda. Mengajarkan karakter baik yang sesungguhnya. Tidak malukah
kita, ketika anak-anak tidak mengenal kampungnya, dari mana ia berasal, dan
adatnya? Atau jangan-jangan kita sendiri adalah urang awak, tapi bukan
“urang awak.” (*)



*IRMA GARNESIA*
(Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung)

http://harianhaluan.com/index.php/opini/33431-urang-awak-tapi-bukan-urang-awak

-- 



*Wassalam*



*Nofend St. Mudo37th/Cikarang | Asa: Nagari Pauah Duo Nan Batigo - Solok
SelatanTweet: @nofend <http://twitter.com/#!/@nofend> | YM: rankmarola *

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke