Opini KoranTempo, Kamis, 12 Maret 2015
Memahami JK

*Putu Setia,*

Tak terlalu sulit memahami Jusuf Kalla (JK) selama ini. Dia orang yang
terbuka, omongannya jelas dan lancar. Bahasa tubuhnya pun apa adanya, tidak
mematut-matutkan diri agar kelihatan lebih anggun. Dia seperti acuh dengan
pencitraan diri, baik lewat tutur kata maupun lewat gerak tangan. Lebih
cepat lebih baik adalah moto yang memang pas buat tokoh ini.

Barangkali hanya suratan garis tangan yang membuat JK tak berada di posisi
orang nomor satu di negeri ini. Ia hanya mampu-sampai hari ini-sampai ke
posisi orang nomor dua di republik. Tapi uniknya, ia orang nomor dua dalam
dua periode yang berbeda. Ia tercatat sebagai wakil presiden yang
menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden penggantinya untuk kemudian
menerima kembali jabatan wakil presiden itu. Kalau JK mau "sedikit nyinyir"
sudah pasti pengusaha jamu Jaya Suprana dengan senang hati memberikan
Piagam MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia).

Tapi kini, tiba-tiba JK sulit dipahami kalau kita melihatnya dari sisi
orang nomor dua, bukan sebagai pribadi yang bebas merdeka. Saat Presiden
Joko Widodo meminta dengan sangat agar kepolisian menghentikan upaya
kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), JK tampil dengan
mengatakan bahwa kriminalisasi itu sama sekali tidak ada. Saat kepolisian
membangkang dan terus melanjutkan "gerakan kriminalisasi" dan sejumlah
tokoh meminta Jokowi lebih tegas lagi, JK malah mengatakan bahwa apa yang
dilakukan kepolisian itu ada dalam koridor hukum. Bahkan JK menyebutkan
Denny Indrayana, Bambang Widjojanto, dan Yunus Husein tak sportif, karena
melapor ke Istana terkait dengan kasus yang menimpa mereka. JK meminta
mereka mau menjalani proses pemeriksaan di kepolisian.

Kita dengan mudah bisa memahami JK jika dia hanya menjabat Ketua Palang
Merah Indonesia, atau sebut saja JK masih menjabat Ketua Umum Partai
Golkar-entah Golkar versi mana. Tapi kita sulit memahami JK, jika kita
melihatnya sebagai orang nomor dua yang harus membantu orang nomor satu di
republik ini. Presiden Jokowi, orang nomor satu itu, ketika didesak agar
lebih tegas menegur kepolisian karena masih membandel dalam kriminalisasi,
sempat berwajah tegang sambil menyebutkan, tak akan mengulangi permintaan
itu. "Tidak akan diulang-ulang, sudah cukup," kata Jokowi. Ini sesungguhnya
adalah "cetusan kemarahan" dalam budaya wong Solo. Orang-orang tua dalam
budaya Jawa jika menasihati anaknya yang sudah menginjak dewasa, cukup
sekali. "Orang sudah dewasa kalau kita nasihati berkali-kali, dianggap
cerewet dan malah tak digubris," begitulah alasannya.

Artinya, Jokowi memang sudah serius meminta agar kepolisian, yang dalam
struktur pemerintahan berada di bawah presiden, menghentikan kriminalisasi
itu. Artinya lagi, Presiden Jokowi percaya kriminalisasi itu ada,
sebagaimana yang diyakini banyak orang. Belakangan, kriminalisasi itu bukan
saja terbatas pada KPK, malah merembet ke para "sahabat KPK".

JK seharusnya membantu Jokowi agar persoalan ini tak berlarut-larut, bukan
terjebak pada argumentasi normatif kepolisian. Yang perlu dipahami lagi
tentu saja sejarah berdirinya KPK yang lahir karena institusi kejaksaan dan
kepolisian dianggap tak mampu memberantas korupsi. Jadi, KPK yang lebih
kuat daripada kedua institusi itu adalah keharusan, bukan yang kuat ini
malah dibiarkan diobok-obok oleh yang lebih lemah.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke