BUDAYA MERANTAU ORANG MINANG Mochtar Naim Disampaikan pada Seminar 
Merantau,Singapore-Minangkabau Association, kerjasama dengan Taman Warisan 
Melayu, 23 Mei 2015, di Auditorium TWM, Singapore.  *    
|  M  |

ERANTAU bagi orang Minang adalah sebuah tradisi yangmembudaya dan terkait 
dengan sistem sosialnya. Tradisi ini diturunkan darigenerasi ke generasi yang 
sudah ada sejak semula. Merantau adalah bahagian daririte de passage, ritus 
sosial yang harus dilalui oleh setiap anakmuda laki-laki dalam memasuki umur 
dewasanya. Karenanya berbeda sekali anakmuda yang pergi merantau dengan yang 
tetap tinggal di rumah di kampung, yangtidak pergi ke mana-mana. Anak muda yang 
tak pergi ke mana-mana dikatakan “ongok,”tidak lepas dari bedungan. Ada sinisme 
yang menyakitkan yang menyebabkan merekatak enak kalau tak pergi merantau.Anak 
muda yang pergimerantau berupaya untuk memperlihatkan kebolehan dan kemampuan 
dirinya dalammengharungi lautan kehidupan yang penuh rintangan dan hambatan. 
Mereka yangberhasil, pulanglah untuk membina rumah tangga baru, atau tetap 
tinggal dirantau dengan tidak memutus hubungan ke rumah ibu, ke ranah kampung 
halaman.Pulang sekali-sekali untuk memperlihatkan kebolehan tanda berhasil di 
rantausambil tak lupa meninggalkan balas jasa berupa apapun untuk turut 
membangunkampung halaman. Tak sak, bahwa hampir semua dari rumah-rumah baru, 
perbaikanmaupun pembikinan surau, sekolah, rumah gadang, dan apapun yang ada di 
kampung,sebagian besar dari dananya datang dari rantau. Kecintaan kepada 
kampunghalaman diperlihatkan pada persembahan tak terpermanai dari hasil 
merantau itu.Karena itulah orang Minangtak mengenal “rantau Cino” (permanent 
migration) yang sekali pergitakkan pulang-pulang lagi. Kalaupun badan yang tak 
sampai, minimal limpahan kasih-sayangdari rantau berupa pemberian dan 
pertolongan itu tetap mengalir. Entah kalaumalang dan cilaka yang dilakukan 
ketika masih di kampung, sehingga merantaunyaberkerat rotan tak pulang-pulang 
lagi. Untuk mendorong anak-anakmuda siap untuk pergi merantau, dengan memasuki 
usia akil-balig mereka sudahdisuruh untuk tidur di surau. Di rumah ibu hanya 
untuk anak-anak perempuan yangmenyiapkan diri untuk membina rumah tangga 
penanti suami jika waktu berumahtangga tiba nanti. Di surau, mereka tidur 
bersama sekenanya. Tidak ada kasurdan bantalpun tak mesti ada. Tikar yang 
tergulung biasa dipakai keganti bantal.Mereka biasa tidur bergelung dengan 
berkelumunkan hanya kain sarung sehelai. Disurau itulah mereka mendapat 
pengajaran dari orang tua-tua, bagaimana menempuhhidup ini yang semua harus 
dimulai dari bawah, dari tiada menjadi ada.Di surau mereka mendapatkanlatihan 
berkata-kata, dari hanya pandai menyimak ke pandai berkata-kata yangenak dan 
menyenangkan. Makanya seni berpidato, berpersembahan, 
berpepatah-petitih,bersilat-lidah, diajarkan di surau. Dan tentu saja juga 
membentuk kebiasaandari selama ini biasa bangun pagi, sekarang, dengan tidur di 
surau, bangunsubuh, dan shalat tidak lagi sendiri-sendiri tetapi berjamaah. Dan 
merekapundiajar bersilat bela diri untuk siap menangkis apapun yang akan 
terjadi dalamhidup ini. Sebagai perintang hari merekapun diajar berandai, 
bersalung,berdendang, berkecapi, entah apa lagi.*Tetapi sayang, sekarang,semua 
itu telah berlalu. Berhentinyapun juga tiba-tiba. Siapa mengira, 
dengandijawabnya tantangan PRRI tidak dengan mulut dengan berembuk baik-baik, 
tetapidengan mulut meriam yang dimuntahkan oleh antek-antek Sukarno dari arah 
laut,di akhir 50an, semua menjadi berubah, dan berubah tiba-tiba. Karena pemuda 
yangdicari oleh pasukan pusat itu, yang rata-rata turut PRRI, tidurnya di 
surau,maka dengan sekali siraman senjata yang diberondongkan dari tangan itu 
semuamenjadi tersungkur. Dan dampaknya luar biasa sekali, sehingga sejak itu 
tidakada lagi pemuda yang tidur di surau, dan tidak sampai sekarang, sampai 
hariini. Paling-paling yang tidur di surau, garin dan satu-dua laki-laki baya 
yangtidak lagi punya rumah bini untuk kembali.Anak-anak muda lelaki Minangyang 
tinggal di kampung sekarang rata-rata tinggal di rumah ibu, di bilikkosong 
ataupun di tengah rumah berbaur dengan anak-anak perempuan yang akanberanjak 
gedang. Sifat kelaki-lakiannya sendirinya menurun dan sifatkeperempuanannya 
kadang-kadang muncul dan menyolok pula. Merekapun pandai pulabersolek berhias 
diri. Yang hilang adalah sifat jantan kelaki-lakiannya itu.Karenanya jarang 
sesudah itu kita melihat laki-laki Minang yang tampil ke depanseperti masa-masa 
sebelumnya. Sebelumnya, hampir dapat dipastikan, semualaki-laki Minang yang 
tampil menonjol di forum nasional di bidang apapun --sebutlah siapapun -- 
adalah hasil dari didikan dan tempaan surau. Karena disurau itulah mereka 
dididik dan dilatih untuk menjadi ‘orang.’Bagaimanapun, yang arusmerantau jalan 
terus. Bahkan dengan dan karena peristiwa PRRI itu pula sekarangyang merantau 
tidak hanya anak laki-laki tetapi juga perempuan. Dan bahkan ikutsekeluarga. 
Kampung tidak lagi aman. Hidup tersiksa. Susah cari makan. Tidakada lagi 
kebebasan dan kemerdekaan itu betul. Makanya mereka berbondong-bondongpergi 
merantau, kemanapun, terutama ke kota-kota di Sumatera lainnya dan keJawa di 
samping juga ke Malaysia dan Singapura dan Nusantara lainnya.Ibaratnya, takut 
di bedil, lari ke pangkal bedil. Dampak PRRI telah berhasilmenciptakan eksodus 
migrasi besar-besaran yang tiada duanya pernah terjadidalam sejarah merantau di 
Minangkabau.Pergeseran sistem ekonomidari bertani dan berladang di hamparan 
terbuka ke non-pertanian berbagai rupa,sementara itu juga terjadi. Bumi 
Sumatera Barat kebetulan dilalui oleh jejeranBukit Barisan yang tidak 
menyediakan lahan datar yang cukup luas untukpertanian dan perladangan. Tidak 
ada 10 %nya. Karenanya, dengan pertambahanjumlah penduduk yang terus meningkat, 
sendirinya ada yang merelakan diri untukbergerak di luar bidang pertanian, 
khususnya di bidang perniagaan danperdagangan di pasar-pasar di kota-kota, di 
mana saja. Sekarang, sebutlah, kotamana di Indonesia ini yang tak ada orang 
Minangnya di pasar-pasar. Hanya saja,seperti selorohan ‘rang sumando kita, JK, 
yang sekarang jadi Wapres lagi, orangMinang biasanya nongol duluan 3 meter di 
depan toko rang Cina di K5.Kemerdekaan, bagaimanapun,tentu saja membawa 
perubahan yang berarti dari segi peluang untukberpendidikan. Dari hanya sekitar 
3-5 % dari penduduk pribumi di zaman kolonialyang pandai membaca dan menulis, 
sekarang, resminya, sudah hampir semua tahutulis-baca -- walau hanya sekadar 
tahu. Tapi rata-rata anak-anak kita memangsudah hampir semua masuk sekolah, 
dari yang rendah di dasarnya, ke yangmenengah sampai ke yang tinggi sekalipun. 
Dan Sumbar termasuk yang pandaimemanfaatkannya. Karena itu pula pendidikan 
telah menjadi faktor pendorongutama pula untuk pergi merantau dengan tujuan 
untuk melanjutkan ke tingkat yanglebih tinggi di luar Sumbar. Kendati perguruan 
tinggi dan universitas tidakkurangnya ada di Sumbar, tapi keinginan untuk 
melanjutkan sekolah ke luar,terutama ke Jawa, tak kurang-kurangnya.Hasilnya 
sendirinya kitalihat dari bertebarannya orang Minang yang berpendidikan yang 
bekerja diberbagai bidang, terutama sebagai pegawai negeri dan juga swasta, di 
mana saja.Karena pilihannya untuk menjadi pegawai itu pula yang utama, yang 
menyebabkanorang Minang tidak banyak lagi ditemukan di bidang swasta-usaha 
sendiri. Padahal dahulunya, sampai seperempat atau bahkan sepertiga dari jumlah 
anggota parlemen di pusat berdarahMinang, walau mereka mewakili daerah yang 
tersebar di berbagai daerah diIndonesia ini. Walaupun ada tetapi di bidang yang 
tadinya orang Minang menonjoldan kesohor, baik sebagai penulis, pemikir, 
pendidik, wartawan, da’i dan ulama,politisi, cerdik-pandai, dsb, sekarang 
jumlah dan perentasenya sudah sangatjauh menurun. Diperlukan lompatan besar 
kembali untuk mengulang marwah Minangsebagai kelompok pemimpin bangsa di 
berbagai bidang kegiatan yang pernahtersohor itu. Sejak PRRI di akhir 50an 
kemari, Sumatera Barat telah menjadi ekstensi dari sistem yang berlaku di 
NKRI,yang sifatnya birokratik, sentralistik, sentripetalistik, 
feodalistik,borjuistik, dan apa lagi. Sementara, dahulunya, orang Minang adalah 
penggerakdari sistem yang berlaku sebaliknya. Mereka menjadi pelopor dari 
citademokrasi, kebersamaan, egaliterianisme, desentralisme, sentrifugalisme, 
danapa lagi pula, seperti yang dulu disuarakan oleh tokoh-tokohnya di tingkat 
pusatdan di manapun. Sekarang, di Sumatera Barat sendiri sudah tidak kedengaran 
dantidak terasa lagi yang seperti itu. Paling kalau disampaikan hanya 
untukdidendangkan, tetapi tidak diamalkan, karena sistem birokrasi 
kenegaraannyasudah sama seperti di Jawa. Karenanya petaka-petaka sosial seperti 
korupsi,kolusi dan nepotisme tak kurangnya juga berlaku di Sumbar yang merembet 
melaluijalur birokrasi dari atas sampai ke bawah.*Merantau yang berlanjut 
kezaman sekarang yang hilang dan mulai tak dirasakan lagi adalah zest,getaran 
semangat atau ‘singanga’nya itu. Anak muda dan siapapun dalamkeluarga yang 
pergi dari rumah, entah ke mana dan untuk tujuan apa, tak lagidilepas dengan 
isakan tangis serta doa bersama dari orang tua, mamak dansumando, dengan makan 
bersama melepas anak untuk pergi jauh menuju ‘rantaubertuah’ itu. Dikatakan, 
a.l. ... Kalauanak pergi berjalan, ibu cari dunsanak cari, induk semang cari 
dahulu. Mandi dihilir-hilir, menyauk di bawah-bawah. Dima bumi dipijak, di 
sinan langik dijunjuang...Namun, nan di urang diiyokan, nan di awak dilalukan 
juo. Takuruang nak di lua,taimpik nak di ateh. Dst, dst. Kata bersayap!Sekarang 
ini, kalau maupergi, pergilah. Mau lama atau sebentar, mau cari kerja, cari 
sekolah, atauhanya sekadar jalan-jalan, pergilah. Apalagi sekarang mau 
kemanapun jalannyalempang. Sistem transportasinya mulus. Jika perlu orangpun 
bisa balik hari darikampung ke rantau ke manapun. Yang hilang dari merantau 
memang adalahsinganganya itu -- karena dahulu orang pergi merantau 
bersakit-sakit.Yang hilang juga dalam rumahtangga di Minang itu adalah keutuhan 
keluarga, kekompakan, keseia-sekataan,yang semua dimulai dengan ‘makan 
bajamba’, memperkatakan apapun yang maudikatakan dan dimusyawarahkan. Walau 
dalam suku atau kaum masih ada datuk danpenghulunya, tapi diapun, karena tak 
terikat lagi dengan tanah tempat dia dulubiasa ikut pergi ke sawah, ikut 
menyabit dan mengirik padi secara bersama, dialebih banyak absennya dari ikut 
hadir dalam keluarga. Apalagi, sekarang juga, taksedikit penghulu ninik-mamak 
yang juga ikut merantau. Tidak sedikit ninik mamakyang juga jadi sarjana, jadi 
pamong di pemerintahan, jadi pengusaha ataupunberjualan di kaki lima, di 
rantau, di mana saja, sama seperti kemenakannyapula. Diapun sekarang lebih 
mengutamakan kepentingan anak-isteri daripadakemenakan yang bertebaran yang di 
bawah lutut itu.Yang terjadi lalu adalahpergeseran dari struktur keluarga, dari 
matriarki ke patriarki, walaumatrilininya belum berubah. Walau bapak masih 
tinggal bersama dengan ibu dirumah keluarga ibu, tetapi sistem pengambilan 
keputusan telah bergusur darimamak ke bapak, terutama yang berkaitan dengan 
urusan internal keluarga batih:ayah, ibu dan anak-anak. Karenanya, di Sumatera 
Baratpun, bagi yang tingkat ekonominya menengah ke atas, dari mulai mendirikan 
rumahtangga sudah terpasang niat sekali untuk mendirikan atau mencari rumah 
sendiri,khususnya di kota. Rumah keluarga batih yang dibangun atau disewa di 
kota dirantau secara psikologis-emosional suka mengganjal karena posisi bapak 
di rumahitu tidak lagi sebagai sumando tetapi kepala keluarga. Dan sistemnya 
beranjakdari matriarki ke patriarki -- walau hubungan sosial secara 
tradisional-matrilineal dengan kampung tidak berubah. Yang suami tiap kali 
pulang kampungke rumah isteri tetap diperlakukan sebagai sumando.Pola merantau 
karenanya jugaikut berubah, dari yang tadinya berupa rite de passage, sekarang 
karenakebutuhan hidup karena tidak lagi banyak yang tersedia di kampung kalau 
tidakpergi merantau. Tuntutan ekonomi, pendidikan, tantangan kehidupan 
duniamoderen, dan banyak lagi, telah mendorong orang Minang untuk lebih banyak 
lagipergi merantau. Bisa dipastikan bahwa yang merantau sekarang ke mana-mana 
jauhlebih banyak jumlahnya dari yang tetap bertahan di rumah, di kampung 
halaman,di Minangkabau. Orang Minang yang merantau karenanya punya dua dunia, 
dunia dirantau dan dunia di kampung.Hanya saja, sampai berubahpolanya menjadi 
rantau Cina, yang dunia kampung benar-benar ditinggalkan ...;itu yang belum. 
Walau dalam kenyataannya secara fisik memang tak pernah ataujarang pulang, 
tetapi kontak sosial dan kontak batin tetap dan tetapdipelihara, sekurangnya 
sampai peralihan generasi terjadi. Yang menarik juga,sebagai produk dari budaya 
merantau ini, banyak sudah koloni Minang yangbertebaran di mana-mana, di 
Sumatera sendiri, di Nusantara, di Malaysia dan diAsia Tenggara ini. Dan di 
sana mereka menanamkan benih budaya yang mereka bawadari kampung, yaitu watak 
dan sifat-sifat kebersamaan, egaliterianisme,demokrasi, duduk sama rendah, 
tegak sama tinggi, dsb, dengan filosofi hidup:Adat Bersendi Syarak, Syarak 
Bersendi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mengata,Adat Memakai.  ***   

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Reply via email to