Aneh, nan sanak baduo caliak cuma kuliknyo. Indak isinyo. Co lah agak substantive saketek. Lai koh relevan kritik nan ambo sampaikan itu, atau tidak?
On Friday, June 26, 2015 10:06 AM, AMRI AZIZ <amri.a...@yahoo.com> wrote: >USULNYA BAGUS DAN ITU LANGKA saat ini. Raso jo pareso alah mulai abih. >Ambo fikir, kita tampung sajalah karena "kebebasan berpendapat" saat ini sdh >luber dan melanggar etika. Mau diapaain n ini dumay/medsos siapa yg kontrol >Kalau bahasa yg tdk bagus n provokator ya kita ABAIKAN SAJA. >Ada adagium dari org tua saya "BODOH URANG KA ANDIA LHO AWAK!!" ha ha >intermezzo dalam bulan puaso n maaf hanya selingan n terima kasih dunia >akhirat. salam marhabanAMRI AZIZ/26/6/15 Pada Senin, 22 Juni 2015 11:45, Novizar Zen <novizar....@clariant.com> menulis: Ass. WW. Bapak Bapak nan budiman. Ambo selalu mengikuti perkembangan pemikiran dan pembahasan di sidang yg terhormat ini. Sebelum terlalu jauh kita berdiskusi, apa tidak sebaiknya kita sepakati terlebih dahulu :1. Siapapun boleh berpendapat dengan baik.2. Tidak ada yg berwenang menyatakan bahwa pendapatnya saja yg benar.3. Tidak boleh menyatakan pendapat orang lain salah. 4. Tidak boleh memakai bahasa yg provokatif.5. Marilah kita tunjukkan baraso awak memang iyo lai manjunjuang tinggi azas ABS - SBK. Selamat berdiskusi. WassalamNovizar Zen Sent from my iPhone On Jun 22, 2015, at 9:52 AM, AMRI AZIZ <amri.a...@yahoo.com> wrote: ASS.WW.BP. MOCHTAR NAIM >Selamat berpuasa dan tulsan DJODO VS DIM sdh ambo baco.>Kalau aspek "untung >rugi yang dikaji" inilah jadinya.>Idelissme hilang kalau berfikirnya >pragmatis>Jatidiri tdk bisa dilihat atas "untung rugi" tapi yg mendasar adalah >harga diri yg tdk bisa diukur dg materi.>Sumatera Barat???? 10 th terakhiir >dimana posisinya??? >Berjuang teerus Pak, yg ngk setuju juga hanya URANG MINANG, yg kontra juga >urang Minang dengan semua alasan "DAPAT DITERIMA DAN BENAR ADANYA">Tdk mudaah >meyakinkan "urang awak Pak" karena mereka berada dlm "comfort zone" dan >"untuk apa berobah??", sarupo ko sajo alah lamak!!! >Kita butuh "orang gila" utk mewujudkan DIM, kita tdk butuh orang terdidik tapi >"penakut" >Maaf kalau ambo salah n selamat berpuasa semoga berkah aaminn n >tkswass.ww.amri azizpdg/22/6/15 Pada Minggu, 21 Juni 2015 11:50, Mochtar Naim <mochtarn...@yahoo.com> menulis: DJODJO VERSUS DIM Mochtar Naim21 Juni 2015 | P | ROF DR Djohermansyah Djohan, alias Djodjo, mantan Dirjen Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, menyatakan pada Haluan di Jakarta tgl 3 Feb 2015, bahwa beliau tidak melihat ada urgensinya Provinsi Sumatera Barat diubah namanya dengan Provinsi DIM (Daerah Istimewa Minang-kabau), seperti halnya dengan DIYogya, DIAceh dan DIPapua. Pak Djodjo lupa barangkali bahwa perubahan dimaksud bukan hanya sekadar perubahan nama, dari Sumbar ke DIM, tapi jauh lebih dari itu. Para ahli yang merumuskan Naskah Ilmiyah DIM itu mencatat sedikitnya ada tujuh alasan kenapa Sumbar perlu dirubah menjadi DIM. Sementara oleh Ketua Umum LKAAM, HM Sayuti Dt Rajo Pangulu, ada 17 alasan perlunya Sumbar dirubah menjadi DIM. Kita tentu saja tidak asal-asalan mengajukan perubahan nama itu, karena di balik perubahan nama itu ada perubahan mendasar dari orientasi dan cara mengambil keputusan dari yang sebelumnya ketika masih bernama Sumbar dengan sekarang bernama DIM. Yang jelas jika dengan Sumbar yang diberi otonomi itu hanyalah Kabupaten dan Kota, sekarang seluruh sistem, dari Provinsi, Kabupaten/ Kota, Kecamatan dan Nagari yang sekian banyaknya itu masing-masing diberi hak otonomi untuk mengatur dan melaksanakan tugas pemerintahan itu. Kalau tidak bukan Daerah Istimewa dan Daerah Khusus namanya, karena semua diatur secara khusus dan istimewa, yang haknya itu diberikan oleh UUD1945 kepada kita, sesuai dengan Pasal 18 B. Dengan DIM, bagaimanapun, tidak ada niat untuk melepaskan diri dari NKRI. Tidak! Karena semua yang ada di NKRI juga ada dan dipakai di DIM. DIM datang justeru adalah untuk memperkuat NKRI itu. Coba lihat, siapa yang tidak akan menangis dan tersedu-sedan, melihat Sumbar sekarang telah meluncur demikian jauh ke bawah, sehingga oleh data-data statistik ditunjukkan bahwa Sumbar sekarang telah berada pada urutan ketiga, bukan dari atas, tapi dari bawah. Bayangkan, daerah yang tadinya penghasil pemimpin dan orang-orang pintar yang menonjol di tingkat nasional, sekarang telah merosot jauh ke bawah. Sementara tingkah laku sosial yang menjijikkan, termasuk korupsi, narkoba, penyalah-gunaan prilaku seksual yang tidak lagi mengenal halal-haram, dsb, telah menjatuhkan Sumbar ini ke tingkat yang tergolong terbawah. Memang aneh, ada saja orang Minang, dan pentolan lagi, yang tidak melihat itu atau melihat hanya dengan pandangan biasa saja. Khusus mengenai Kepulauan Mentawai, kita menginginkan hubungan yang lebih akrab lagi walau adat dan agama berbeda. Mentawai harus maju, semaju daerah di tanah tepi. Kekayaan alam Mentawai adalah untuk membangun Mentawai, bukan akan dibawa ke tanah tepi, Sumbar. Dan kita ingin membuktikan dengan kerja nyata, bukan hanya sekadar saduran di tepi bibir. Daerah-daerah tetangga yang juga beradat dan berbudaya Minang, mereka tetap di provinsi masing-masing, membangun daerah mereka secara bersama di daerahnya itu pula. Juga bagaimana mungkin memasukkan Negeri Sembilan di Malaysia, Brunei di Kalimantan Utara, Sulu di Filipina dan Madagaskar di Afrika, jika yang kita lihat adalah sejarah masa lalu kerajaan Minangkabau yang punya wahana tersendiri. Cukuplah kalau itu adalah kenang-kenangan manis sejarah, sebagaimana meluasnya Islam sekarang ini menjadi agama terbesar di dunia dan merambat ke mana-mana. Dengan DIM, DIM tidak akan mungkin terpikirkan kalau kita tidak memiliki akar budaya yang namanya ABS-SBK itu. Yang kita inginkan sudah barang tentu tidak untuk sekedar disebut-sebut, tetapi disebut-sebut untuk dipraktekkan, dan dipraktekkan secara faktual dan mendasar. Dan kebetulan pula hubungan antara adat dan syarak yang kita pakai dan berlaku dalam kehidupan kita adalah adat dan syarak yang berkesinambungan secara sintetik, dan menyatu, bukan secara sinkretik seperti di Jawa yang berbeda-beda tapi sama dan setara. Sintetisme antara adat dan syarak itu dibuhul lagi dalam ikatan yang menempatkan Kitabullah Al Qur'anul Karim sebagai sumber utama dan rujukan utama dari ikatan adat dan agama itu. Dikatakan: syarak mengata, adat memakai, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Yang berlaku selama ini, dan terutama sejak kemerdekaan ini, frasa ABS-SBK hanya untuk disebut-sebut tetapi tidak dipraktekkan dan diamalkan. Apalagi sampai di tingkat Nagari sekalipun, orang tidak lagi menyelesaikan urusan dengan berdasar pada ABS-SBK, tetapi pada ketentuan hukum nasional yang berlaku praktis di semua bidang. Kalau ada sengketa mengenai apapun, orang tidak lagi membawanya kepada musyawarah antara tungku nan tigo sajarangan, tapi langsung ke polisi, ke pengadilan dan ke pengacara -- sehingga arang habis, besi binasa. DIM tujuannya adalah itu betul. Memakai dan memanfaatkan nilai budaya paradigma ABS-SBK untuk menyelesaikan urusan sengketa di bidang apapun, ya politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. DIM tentu saja memberikan pengarahan ke mana biduk mau dilalukan dalam komplikasi situasi yang mau tak mau harus kita hadapi. Dengan ABS-SBK yang mengutamakan syarak dari adat, maka semua-semua apapun yang kita hadapi kita mengacu pada Kitabullah, Al Quranul Karim. Kalau di Aceh, Qanun bisa jalan, maka di DIM pun syarak akan menjadi pedoman dan ukuran utama, di semua bidang kehidupan, ya politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Dengan pariwisata yang disebut-sebut, seperti Pak Djodjo bilang itu, selama tujuannya adalah untuk menikmati keindahan alam, dan keindahan sosial-budaya yang kita miliki, dan tidak untuk tujuan yang bukan-bukan seperti di daerah lain-lainnya, silahkan datang. Bukankah selama ini tidak juga ada larangan untuk berpariwisata ke daerah Minang untuk siapapun dan dari daerah manapun. Malah kita undang mereka datang. Yang terjadi justeru yang sebaiknya. Dengan pariwisata, semua kebejatan sosial yang tidak dikenal selama ini, sekarang telah menjadi bagian dari perangai kita pula. Pariwisata yang kotor dan mengotorkan ini harus kita bersihkan dan singkirkan jauh-jauh dengan menerapkan prinsip budaya ABS-SBK itu. Terakhir, Pak Djodjo dan siapapun yang berminat mau jadi Gubernur di ranah nanti, pikir-pikir benarlah. DIM ke depan adalah sebuah keharusan, khususnya dalam rangka mengobati dan menyehatkan kembali ranah tercinta yang telah rusak ini.Dengan DIM kita bangun kembali bumi Minangkabau yang kita sayangi ini. *** -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.