Karano indak masuak dalam rujukan website tadi, cubo copas tanpa izin kompas 
utk dibaco Rang Lapau.

Harian Kompas
OPINI > DUDUK PERKARA > 80 TAHUN AHMAD SYAFII MAARIF: BUYA DI MATA SAYA
DUDUK PERKARA
80 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Buya di Mata Saya
ILHAM KHOIRI
Siang | 7 Juli 2015 14:48 WIB Ikon jumlah hit 3798 dibaca   Ikon komentar 0 
komentar
Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, baru saja 
berulang tahun ke-80. Buya, demikian sapaan akrabnya, kian matang sebagai guru 
bangsa. Dan, bangsa Indonesia patut bersyukur memiliki guru seperti dirinya.

Mantan  Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memberikan buku Muazin 
Bangsa dari Makkah Darat kepada sejumlah tokoh yang hadir pada peluncuran buku 
itu di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (3/7). Buku itu merupakan biografi 
intelektual Ahmad Syafii Maarif dari sejumlah penulis.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memberikan buku Muazin 
Bangsa dari Makkah Darat kepada sejumlah tokoh yang hadir pada peluncuran buku 
itu di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (3/7). Buku itu merupakan biografi 
intelektual Ahmad Syafii Maarif dari sejumlah penulis.
Sosoknya sebagai guru bangsa cukup tecermin dalam perayaan ulang tahunnya yang 
ditandai dengan peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Penerbit 
Serambi, 2015) di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (3/7). Acara itu bersahaja. 
Karena kebetulan berlangsung saat Ramadhan, maka disediakan takjil dan menu 
makanan untuk berbuka pada akhir acara.

Sejumlah tokoh nasional hadir. Sebut saja, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja 
Purnama, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua sementara merangkap anggota sementara 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki, sejarawan Anhar 
Gonggong, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz 
Magnis-Suseno, Dewan Penyantun Centre for Strategic and International Studies 
Harry Tjan Silalahi, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo.

Ada juga diskusi dengan pembicara Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif 
Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Guru Besar Etika Komunikasi Politik 
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Alois A Nugroho, dan Wakil Ketua 
Muhammadiyah Disaster Management Center Rahmawati Husein.

Para tokoh itu berasal dari beragam latar belakang. Ada pemimpin parlemen, 
politisi, pemimpin KPK, agamawan, akademisi, peneliti, aktivis perempuan, 
pemimpin organisasi keagamaan, penerbit, dan pemimpin media. Keberagaman mereka 
mewakili spektrum pengakuan yang luas kepada Buya.

Hal itu ditunjukkan ketika sebagian tokoh itu memberikan testimoni. Begitu juga 
saat pembahasan buku itu dalam diskusi. Meski disampaikan dalam bermacam 
komentar, semuanya sama-sama menahbiskan Buya sebagai guru bangsa yang tak 
lelah menyerukan pentingnya mengacu pada moral publik.

Sebagai guru, Buya tak segan membagi ilmu kepada publik, baik lewat ceramah, 
tulisan-tulisan di buku, opini, atau komentarnya di media cetak. Lebih dari 
itu, dia juga tampil memberikan teladan yang mengamalkan ilmu yang 
dibicarakannya itu dalam kehidupan sehari-hari. Guru dalam pengertian sosok 
yang patut digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh) sungguh lekat secara otentik 
pada figurnya.

Dan, keguruannya itu dia abdikan untuk bangsa Indonesia. Bangsa dalam arti 
luas, yaitu seluruh tumpah darah negeri ini. Bukan untuk satu golongan, 
kelompok, suku, atau agama tertentu. Sosoknya mewakili seorang 
ulama-intelektual yang sekaligus juga bangsawan, dalam pengertian figur yang 
sungguh-sungguh memikirkan dan bekerja untuk bangsa.

Persentuhan dengan Buya

Sebagai pewarta harian Kompas, saya mulai mewawancarai Buya sebagai narasumber 
sejak tahun 2004 saat saya mengawali bekerja di harian ini. Persentuhan itu 
berlangsung secara sporadis hingga sekarang. Semoga catatan sekilas ini bisa 
lebih mengenalkan sosoknya.

Wawancara pertama saya dengan Buya berlangsung di Bandara Adisutjipto, 
Yogyakarta, tahun 2004, pukul 06.00. Kebetulan Buya hendak bepergian ke luar 
kota pagi itu sehingga meminta bertemu di ruang tunggu bandara pada pagi itu, 
beberapa saat sebelum terbang. Tak mau kehilangan momen, sehabis subuh, saya 
serta-merta menderu dengan motor ke situ.

Di bandara, Buya sudah siap. Saya masih ingat, beliau mengenakan batik warna 
coklat dengan motif biru yang bersahaja. Senyumnya mengembang saat melihat saya 
datang. Saya langsung bertanya soal budaya di Yogyakarta, topik yang sejak awal 
saya sodorkan.

Buya menekankan pentingnya menjaga Yogyakarta sebagai kota "industri pemikiran" 
yang memberikan sumbangan gagasan bagi kemajuan bangsa. Pemikiran dilahirkan 
para akademisi, budayawan, seniman, dan negarawan yang ditopang banyak 
perguruan tinggi, kantong seni budaya, lembaga keagamaan, dan kelompok 
masyarakat.

Kota Yogyakarta kian menarik karena sejarah keberpihakan almarhum Sri Sultan 
Hamengku Buwono IX kepada Republik Indonesia. Itu artinya, sejak awal 
Yogyakarta memang memihak "keindonesiaan".

Namun, belakangan, sebagaimana kota-kota lain, kota ini juga dirasuki nilai 
hedonisme. Untuk mengantisipasinya, masyarakat Yogyakarta perlu mengukuhkan 
kembali nilai-nilai luhur budaya. Saat bersamaan, agama harus difungsikan 
secara benar sehingga menjiwai perilaku manusianya.

"Jangan jadikan agama sebagai retorika politik sehingga sering terjadi perang 
ayat, bahkan Tuhan pun dibajak. Tuhan tidak tersinggung, tetapi geli melihat 
kelakuan hambanya yang tidak senonoh itu," tuturnya tegas.

Hasil wawancara itu diterbitkan di halaman pertama edisi khusus suplemen Kompas 
untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, 3 Maret 2004. Buya kami pilih sebagai 
narasumber karena merupakan tokoh bangsa yang tinggal di Yogyakarta.

Guru Besar  Filsafat Unika Atma Jaya Alois A Nugroho, cendekiawan Muslim 
Komaruddin Hidayat, dan Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center 
Rachmawati Husein (kiri ke kanan) menjadi pembahas dalam diskusi saat 
peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat, di Bentara Budaya, Jakarta, 
Jumat (3/7). Buku tersebut merupakan biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif 
dari sejumlah penulis.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Guru Besar Filsafat Unika Atma Jaya Alois A Nugroho, cendekiawan Muslim 
Komaruddin Hidayat, dan Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center 
Rachmawati Husein (kiri ke kanan) menjadi pembahas dalam diskusi saat 
peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat, di Bentara Budaya, Jakarta, 
Jumat (3/7). Buku tersebut merupakan biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif 
dari sejumlah penulis.
Setelah itu, saya lama tidak bersentuhan dengan Buya karena saya ditugaskan 
sebagai wartawan daerah di Palembang, Sumatera Selatan. Sekitar 2,5 tahun di 
kota pempek, saya lantas kembali ke Jakarta sebagai wartawan budaya di Kompas 
Minggu. Sesekali saya kembali bersentuhan dengan Buya. Namun, persinggungan 
lebih kerap terjadi saat saya ditugaskan menjadi wartawan politik dan giat 
meliput isu-isu kebangsaan dan keagamaan.

Buya adalah salah satu narasumber penting untuk isu-isu terkait toleransi, 
kebinekaan, politik moral, juga korupsi. Setiap kali bangsa ini dirundung 
masalah pelik, kami merasa perlu meminta pandangan Buya untuk membantu 
memetakan persoalan seraya mendorong jalan keluar. Pandangannya selalu jernih, 
tajam, kritis, otentik, simpel, terbuka, apa adanya, berdiri di atas semua 
kelompok, dan menawarkan solusi.

Gerakan moral

Pada ujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Buya bersama 
sejumlah tokoh lintas agama melontarkan kritik keras karena pemimpin negara 
dianggap hanya berwacana yang baik-baik, tetapi minim aksi nyata untuk 
memperbaiki keadaan.

Para tokoh lintas agama meminta Yudhoyono sungguh-sungguh memenuhi sumpah dan 
janjinya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, terutama bagi rakyat 
miskin dan terpinggirkan. "Ini gerakan moral, sama sekali tidak ada urusannya 
dengan menjatuhkan siapa atau menaikkan siapa," kata Buya, di Jakarta, Februari 
2011 itu.

Pada April 2011, saya menonton pemutaran perdana film biografi masa kecil Buya, 
Si Anak Kampoeng, hasil besutan sutradara Damien Dematra di Jakarta. Buya ikut 
menonton bersama sejumlah sahabatnya.

Film ini mengisahkan perjalanan awal tokoh yang lahir pada 31 Mei 1935 itu saat 
menimba ilmu di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Ini menjadi pijakan penting 
sebelum dia hijrah ke Yogyakarta, melanjutkan studi S-2 di Universitas Ohio, 
dan S-3 di Universitas Chicago di Amerika Serikat.

Film itu hendak berpesan, anak muda jangan gampang berputus asa, tetapi terus 
berjuang untuk mencapai cita-cita. Seusai pemutaran, penonton menyalami dan 
beberapa orang melontarkan pujian. Buya justru merendah, "Wah, saya tidak 
sehebat itu."

Salah satu gagasan Buya adalah mengembangkan pemahaman keislaman dalam bingkai 
keindonesiaan. Dalam sebuah diskusi di kantor pusat Muhammadiyah di Menteng, 
Jakarta, dia mengingatkan umat Islam bahwa sila-sila dalam Pancasila merupakan 
pintu masuk membumikan semangat Islam di Indonesia. Umat Islam tidak perlu lagi 
memperjuangkan gagasan negara Islam, yang justru akan mengganggu kesepakatan 
pendiri bangsa. Itu karena toleransi merupakan ajaran penting Islam.

Buya mengajak umat Islam di Indonesia untuk menyadari bahwa nilai-nilai Islam 
telah diserap dalam Pancasila. Karena itu, tidak perlu memformalkan nilai agama 
itu dalam bentuk syariat atau khilafah Islam. Karena itu pula, dia mengecam 
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, tetapi menghalalkan kekerasan, 
seperti dalam bentuk teror yang mengorbankan banyak orang, termasuk kaum Muslim 
sendiri.

"Teror dilakukan orang yang terpinggirkan dan berani mati. Orang yang tidak 
berani hidup, beraninya mati. Mereka tidak punya tawaran untuk memperbaiki 
keadaan," katanya suatu ketika.

Buya selalu mengingatkan bahwa Indonesia yang majemuk ini merupakan anugerah 
Tuhan. Kita perlu merawatnya dengan memelihara dan saling menghargai di tengah 
kebinekaan suku, agama, budaya, dan bahasa.

Gagasan Bhinneka Tunggal Ika yang diambil Empu Tantular dari Kerajaan Majapahit 
telah ditetapkan sebagai prinsip bangsa Indonesia dan tertera dalam lambang 
negara. Jika negara lemah atau kurang peduli, kelompok-kelompok masyarakat yang 
memiliki hati nurani dan akal sehat harus terus tampil memperjuangkan cita-cita 
kerukunan dalam kebinekaan itu.

Semangat ini juga diajarkan dalam agama-agama. "Islam mengajarkan, manusia 
diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, untuk 
saling mengenal. Pengenalan ini juga berarti bertukar kebudayaan," katanya.

"Pluralisme menyebabkan masyarakat dapat hidup bersama dengan damai. Orang 
ateis pun harus diberi hak hidup di muka bumi. Sebaiknya orang beriman, tetapi 
tidak boleh dipaksa, dan mereka harus tunduk pada konstitusi bangsa," katanya 
pada suatu diskusi di Jakarta, November 2012.

Saat Pemilu Presiden 2014, saat sebagian orang ingin menampilkan diri netral, 
Buya justru memperlihatkan pemihakan. Saat itu, kompetisi antara dua pasangan 
calon presiden-calon wakil presiden, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo 
Subianto-Hatta Rajasa, sangat sengit. Joko Widodo (Jokowi) menjadi korban 
fitnah keji yang memainkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 
Geram dengan cara kampanye kotor itu, Buya mengkritiknya secara keras.

BERITA TERKAIT

Muazin dari Makkah DaratKonten premiumCetak | 3 Juli 2015
Kesalehan karena KebebasanKonten premiumCetak | 4 Juli 2015
"Ada kampanye najis dengan mengatakan Jokowi bukan Muslim dan memilihnya 
kafir," katanya. Buya juga menemukan ada indikasi keterlibatan negara melalui 
gubernur, bupati, dan wali kota untuk memenangkan capres tertentu melalui 
instruksi sampai ke tingkat akar rumput, persis praktik Orde Baru. Saat 
bersamaan, terjadi juga politik uang yang masif. Akibat dari semua itu, terjadi 
polarisasi yang tajam.

"Pemihakan unsur-unsur negara dalam pilpres kepada pasangan tertentu tidak saja 
merusak demokrasi, tetapi lebih-lebih telah merendahkan martabat negara," 
ujarnya.

Pemihakan atas nilai

Pemihakan Buya dalam pemilu sebenarnya adalah pemihakan atas nilai, yaitu 
bagaimana mendorong proses pemilihan yang adil, sehat, dan demokratis. Tak 
terlihat nafsu untuk memburu jabatan. Buktinya, saat ditawari jabatan sebagai 
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) seusai pemilu, Buya memilih 
tidak menerimanya.

Atas tawaran itu, dia mengirim pesan pendek. "Baru saja Cecep Sutiawan, deputi 
SDM Sekneg, telp minta kesediaan saya untuk jadi anggota Wantimpres. Jawaban 
saya, saya sudah pernah jadi anggota DPA dulu. Sekarang saya sudah tua, mohon 
dicari yang lebih muda. Maarif."

Meski berpeluang duduk di jabatan yang menarik, Buya memilih tetap di luar. 
Dengan begitu, dia tetap bebas mengutarakan pandangannya, termasuk mengkritik 
pemerintahan Jokowi. Namun, jika merasa perlu, dia kadang juga hadir ke Istana 
untuk memberikan masukan langsung kepada Presiden, tanpa harus menjadi 
Wantimpres.

Lihat saja ketegangan politik saat pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kepala 
Polri. Presiden Jokowi secara mengejutkan mengajukan Budi ke DPR dan DPR 
menyetujuinya. Namun, sebagian publik menolak karena sosok tersebut ditetapkan 
KPK sebagai tersangka korupsi. Apalagi, sebelumnya sosok itu juga santer 
diberitakan sebagai salah satu perwira polisi yang memiliki rekening gendut.

Di tengah kontroversi itu, Buya bersama sejumlah tokoh menjadi tim pemberi 
masukan kepada Presiden. Tim ini mendesak Presiden untuk mencari sosok calon 
kepala Polri yang bersih dari permasalahan hukum. Sebelum Jokowi resmi 
berbicara, Buya menyatakan, Budi Gunawan tak akan dilantik sebagai kepala 
Polri, sebagaimana aspirasi sebagian rakyat. Memang akhirnya nama Budi ditarik 
dan diganti Badrodin Haiti yang kini jadi Kepala Polri.

Aktivitas Buya dalam isu kepala Polri tidak terlepas dari kegiatannya dalam 
gerakan pemberantasan korupsi. Dia dikenal lantang mengecam para pejabat yang 
korup akibat kehidupannya terlalu konsumtif, rakus, dan pragmatis.

"Sebagian pejabat sudah rabun ayam, hanya melihat yang dekat-dekat saja. 
Kepentingan bangsa dan negara tidak singgah dalam otaknya. Mereka menggunakan 
kekuasaan untuk memperoleh benda dan kesenangan, seperti hidup di tengah 
fatamorgana," katanya pada Oktober 2013.

KPK termasuk lembaga yang mendapat perhatian besar Buya. Baginya, inilah 
satu-satunya lembaga penegak hukum yang masih dipercaya dan menjadi harapan 
publik untuk menegakkan hukum, khususnya memerangi korupsi. Karena itu, dalam 
banyak kesempatan, Buya menganjurkan pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, 
untuk menjaga KPK sebagai amanat reformasi untuk membersihkan virus korupsi 
yang menggerogoti negeri ini.

Bahasa kiasan Melayu

Tak hanya soal isi, Buya juga sering kreatif dalam berbahasa, khususnya 
menyajikan diksi yang jitu. Ketika menggambarkan harapan yang sulit dipenuhi, 
misalnya, dia mengatakan, "Jangan minta tanduk kepada kuda."

Mengomentari kelompok yang memaksakan kebenarannya sendiri sambil menyesatkan 
kelompok lain yang berbeda pandangan, Buya menyebut, "Mereka itu merasa benar 
di jalan yang sesat." Kali lain, dia ungkapkan kalimat "jangan jadikan politik 
sebagai mata pencarian" untuk mengkritik para politisi yang lebih berjibaku 
mencari keuntungan pribadi ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Bagi wartawan, kalimat-kalimat semacam itu sungguh menarik karena membantu 
untuk membuat lead (kalimat pembuka tulisan), bahkan judul berita. 
Kalimat-kalimat Buya, yang sebagian lahir dari tradisi kiasan bahasa Melayu, 
menyegarkan bahasa Indonesia, juga bahasa media yang terlalu rutin sehingga 
menjemukan.

Atas semua itu, maka Kompas memberikan anugerah Cendekiawan Berdedikasi kepada 
Buya dan empat tokoh lain saat ulang tahun Kompas ke-48 pada 2013. Ini semacam 
pengukuhan atas berbagai penghargaan yang pernah dia terima sebelumnya, baik 
secara formal maupun informal, dari masyarakat. Dia berharap anugerah itu bisa 
mendorong kemajuan bangsa. "Mari kibarkan bendera optimisme di tengah gelembung 
pesimisme saat ini," katanya.

Optimisme itu pula yang kental terasa pada peluncuran buku dan diskusi di 
Bentara Budaya Jakarta, pekan lalu. Pada ulang tahunnya ke-80, Buya Syafii 
Maarif hadir sebagai sosok yang menumbuhkan harapan bagi kemajuan peradaban 
bangsa ini. Selamat ulang tahun, Buya, sang guru bangsa.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke