Ahmad Syafii Maarif dijuluki sebagai guru bangsa boleh2 saja...beliau bisa duduk bersama banyak guru bangsa yg lain sejak awal abad ke 20...
Wahidin Sudirohusodo K H Ahmad Dahlan Abdul Muis St Takdir Alisyahbana K H Agus Salim Soekarno M Hatta St Syahrir HAMKA M Yamin Dll On Jan 10, 2016 2:51 PM, "Sjamsir Sjarif" <sjamsirsja...@gmail.com> wrote: > Karano indak masuak dalam rujukan website tadi, cubo copas tanpa izin > kompas utk dibaco Rang Lapau. > > Harian Kompas > OPINI > DUDUK PERKARA > 80 TAHUN AHMAD SYAFII MAARIF: BUYA DI MATA SAYA > DUDUK PERKARA > 80 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Buya di Mata Saya > ILHAM KHOIRI > Siang | 7 Juli 2015 14:48 WIB Ikon jumlah hit 3798 dibaca Ikon komentar > 0 komentar > Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, baru > saja berulang tahun ke-80. Buya, demikian sapaan akrabnya, kian matang > sebagai guru bangsa. Dan, bangsa Indonesia patut bersyukur memiliki guru > seperti dirinya. > > Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memberikan buku > Muazin Bangsa dari Makkah Darat kepada sejumlah tokoh yang hadir pada > peluncuran buku itu di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (3/7). Buku itu > merupakan biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif dari sejumlah penulis. > KOMPAS/HERU SRI KUMORO > Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif memberikan buku > Muazin Bangsa dari Makkah Darat kepada sejumlah tokoh yang hadir pada > peluncuran buku itu di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (3/7). Buku itu > merupakan biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif dari sejumlah penulis. > Sosoknya sebagai guru bangsa cukup tecermin dalam perayaan ulang tahunnya > yang ditandai dengan peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat > (Penerbit Serambi, 2015) di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (3/7). Acara itu > bersahaja. Karena kebetulan berlangsung saat Ramadhan, maka disediakan > takjil dan menu makanan untuk berbuka pada akhir acara. > > Sejumlah tokoh nasional hadir. Sebut saja, Gubernur DKI Jakarta Basuki > Tjahaja Purnama, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua sementara merangkap > anggota sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki, > sejarawan Anhar Gonggong, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat > Driyarkara Franz Magnis-Suseno, Dewan Penyantun Centre for Strategic and > International Studies Harry Tjan Silalahi, dan Pemimpin Redaksi Harian > Kompas Budiman Tanuredjo. > > Ada juga diskusi dengan pembicara Mantan Rektor Universitas Islam Negeri > Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Guru Besar Etika Komunikasi Politik > Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Alois A Nugroho, dan Wakil Ketua > Muhammadiyah Disaster Management Center Rahmawati Husein. > > Para tokoh itu berasal dari beragam latar belakang. Ada pemimpin parlemen, > politisi, pemimpin KPK, agamawan, akademisi, peneliti, aktivis perempuan, > pemimpin organisasi keagamaan, penerbit, dan pemimpin media. Keberagaman > mereka mewakili spektrum pengakuan yang luas kepada Buya. > > Hal itu ditunjukkan ketika sebagian tokoh itu memberikan testimoni. Begitu > juga saat pembahasan buku itu dalam diskusi. Meski disampaikan dalam > bermacam komentar, semuanya sama-sama menahbiskan Buya sebagai guru bangsa > yang tak lelah menyerukan pentingnya mengacu pada moral publik. > > Sebagai guru, Buya tak segan membagi ilmu kepada publik, baik lewat > ceramah, tulisan-tulisan di buku, opini, atau komentarnya di media cetak. > Lebih dari itu, dia juga tampil memberikan teladan yang mengamalkan ilmu > yang dibicarakannya itu dalam kehidupan sehari-hari. Guru dalam pengertian > sosok yang patut digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh) sungguh lekat > secara otentik pada figurnya. > > Dan, keguruannya itu dia abdikan untuk bangsa Indonesia. Bangsa dalam arti > luas, yaitu seluruh tumpah darah negeri ini. Bukan untuk satu golongan, > kelompok, suku, atau agama tertentu. Sosoknya mewakili seorang > ulama-intelektual yang sekaligus juga bangsawan, dalam pengertian figur > yang sungguh-sungguh memikirkan dan bekerja untuk bangsa. > > Persentuhan dengan Buya > > Sebagai pewarta harian Kompas, saya mulai mewawancarai Buya sebagai > narasumber sejak tahun 2004 saat saya mengawali bekerja di harian ini. > Persentuhan itu berlangsung secara sporadis hingga sekarang. Semoga catatan > sekilas ini bisa lebih mengenalkan sosoknya. > > Wawancara pertama saya dengan Buya berlangsung di Bandara Adisutjipto, > Yogyakarta, tahun 2004, pukul 06.00. Kebetulan Buya hendak bepergian ke > luar kota pagi itu sehingga meminta bertemu di ruang tunggu bandara pada > pagi itu, beberapa saat sebelum terbang. Tak mau kehilangan momen, sehabis > subuh, saya serta-merta menderu dengan motor ke situ. > > Di bandara, Buya sudah siap. Saya masih ingat, beliau mengenakan batik > warna coklat dengan motif biru yang bersahaja. Senyumnya mengembang saat > melihat saya datang. Saya langsung bertanya soal budaya di Yogyakarta, > topik yang sejak awal saya sodorkan. > > Buya menekankan pentingnya menjaga Yogyakarta sebagai kota "industri > pemikiran" yang memberikan sumbangan gagasan bagi kemajuan bangsa. > Pemikiran dilahirkan para akademisi, budayawan, seniman, dan negarawan yang > ditopang banyak perguruan tinggi, kantong seni budaya, lembaga keagamaan, > dan kelompok masyarakat. > > Kota Yogyakarta kian menarik karena sejarah keberpihakan almarhum Sri > Sultan Hamengku Buwono IX kepada Republik Indonesia. Itu artinya, sejak > awal Yogyakarta memang memihak "keindonesiaan". > > Namun, belakangan, sebagaimana kota-kota lain, kota ini juga dirasuki > nilai hedonisme. Untuk mengantisipasinya, masyarakat Yogyakarta perlu > mengukuhkan kembali nilai-nilai luhur budaya. Saat bersamaan, agama harus > difungsikan secara benar sehingga menjiwai perilaku manusianya. > > "Jangan jadikan agama sebagai retorika politik sehingga sering terjadi > perang ayat, bahkan Tuhan pun dibajak. Tuhan tidak tersinggung, tetapi geli > melihat kelakuan hambanya yang tidak senonoh itu," tuturnya tegas. > > Hasil wawancara itu diterbitkan di halaman pertama edisi khusus suplemen > Kompas untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, 3 Maret 2004. Buya kami pilih > sebagai narasumber karena merupakan tokoh bangsa yang tinggal di Yogyakarta. > > Guru Besar Filsafat Unika Atma Jaya Alois A Nugroho, cendekiawan Muslim > Komaruddin Hidayat, dan Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center > Rachmawati Husein (kiri ke kanan) menjadi pembahas dalam diskusi saat > peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat, di Bentara Budaya, > Jakarta, Jumat (3/7). Buku tersebut merupakan biografi intelektual Ahmad > Syafii Maarif dari sejumlah penulis. > KOMPAS/HERU SRI KUMORO > Guru Besar Filsafat Unika Atma Jaya Alois A Nugroho, cendekiawan Muslim > Komaruddin Hidayat, dan Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center > Rachmawati Husein (kiri ke kanan) menjadi pembahas dalam diskusi saat > peluncuran buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat, di Bentara Budaya, > Jakarta, Jumat (3/7). Buku tersebut merupakan biografi intelektual Ahmad > Syafii Maarif dari sejumlah penulis. > Setelah itu, saya lama tidak bersentuhan dengan Buya karena saya > ditugaskan sebagai wartawan daerah di Palembang, Sumatera Selatan. Sekitar > 2,5 tahun di kota pempek, saya lantas kembali ke Jakarta sebagai wartawan > budaya di Kompas Minggu. Sesekali saya kembali bersentuhan dengan Buya. > Namun, persinggungan lebih kerap terjadi saat saya ditugaskan menjadi > wartawan politik dan giat meliput isu-isu kebangsaan dan keagamaan. > > Buya adalah salah satu narasumber penting untuk isu-isu terkait toleransi, > kebinekaan, politik moral, juga korupsi. Setiap kali bangsa ini dirundung > masalah pelik, kami merasa perlu meminta pandangan Buya untuk membantu > memetakan persoalan seraya mendorong jalan keluar. Pandangannya selalu > jernih, tajam, kritis, otentik, simpel, terbuka, apa adanya, berdiri di > atas semua kelompok, dan menawarkan solusi. > > Gerakan moral > > Pada ujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Buya bersama > sejumlah tokoh lintas agama melontarkan kritik keras karena pemimpin negara > dianggap hanya berwacana yang baik-baik, tetapi minim aksi nyata untuk > memperbaiki keadaan. > > Para tokoh lintas agama meminta Yudhoyono sungguh-sungguh memenuhi sumpah > dan janjinya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, terutama bagi > rakyat miskin dan terpinggirkan. "Ini gerakan moral, sama sekali tidak ada > urusannya dengan menjatuhkan siapa atau menaikkan siapa," kata Buya, di > Jakarta, Februari 2011 itu. > > Pada April 2011, saya menonton pemutaran perdana film biografi masa kecil > Buya, Si Anak Kampoeng, hasil besutan sutradara Damien Dematra di Jakarta. > Buya ikut menonton bersama sejumlah sahabatnya. > > Film ini mengisahkan perjalanan awal tokoh yang lahir pada 31 Mei 1935 itu > saat menimba ilmu di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Ini menjadi pijakan > penting sebelum dia hijrah ke Yogyakarta, melanjutkan studi S-2 di > Universitas Ohio, dan S-3 di Universitas Chicago di Amerika Serikat. > > Film itu hendak berpesan, anak muda jangan gampang berputus asa, tetapi > terus berjuang untuk mencapai cita-cita. Seusai pemutaran, penonton > menyalami dan beberapa orang melontarkan pujian. Buya justru merendah, > "Wah, saya tidak sehebat itu." > > Salah satu gagasan Buya adalah mengembangkan pemahaman keislaman dalam > bingkai keindonesiaan. Dalam sebuah diskusi di kantor pusat Muhammadiyah di > Menteng, Jakarta, dia mengingatkan umat Islam bahwa sila-sila dalam > Pancasila merupakan pintu masuk membumikan semangat Islam di Indonesia. > Umat Islam tidak perlu lagi memperjuangkan gagasan negara Islam, yang > justru akan mengganggu kesepakatan pendiri bangsa. Itu karena toleransi > merupakan ajaran penting Islam. > > Buya mengajak umat Islam di Indonesia untuk menyadari bahwa nilai-nilai > Islam telah diserap dalam Pancasila. Karena itu, tidak perlu memformalkan > nilai agama itu dalam bentuk syariat atau khilafah Islam. Karena itu pula, > dia mengecam kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, tetapi > menghalalkan kekerasan, seperti dalam bentuk teror yang mengorbankan banyak > orang, termasuk kaum Muslim sendiri. > > "Teror dilakukan orang yang terpinggirkan dan berani mati. Orang yang > tidak berani hidup, beraninya mati. Mereka tidak punya tawaran untuk > memperbaiki keadaan," katanya suatu ketika. > > Buya selalu mengingatkan bahwa Indonesia yang majemuk ini merupakan > anugerah Tuhan. Kita perlu merawatnya dengan memelihara dan saling > menghargai di tengah kebinekaan suku, agama, budaya, dan bahasa. > > Gagasan Bhinneka Tunggal Ika yang diambil Empu Tantular dari Kerajaan > Majapahit telah ditetapkan sebagai prinsip bangsa Indonesia dan tertera > dalam lambang negara. Jika negara lemah atau kurang peduli, > kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki hati nurani dan akal sehat harus > terus tampil memperjuangkan cita-cita kerukunan dalam kebinekaan itu. > > Semangat ini juga diajarkan dalam agama-agama. "Islam mengajarkan, manusia > diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, > untuk saling mengenal. Pengenalan ini juga berarti bertukar kebudayaan," > katanya. > > "Pluralisme menyebabkan masyarakat dapat hidup bersama dengan damai. Orang > ateis pun harus diberi hak hidup di muka bumi. Sebaiknya orang beriman, > tetapi tidak boleh dipaksa, dan mereka harus tunduk pada konstitusi > bangsa," katanya pada suatu diskusi di Jakarta, November 2012. > > Saat Pemilu Presiden 2014, saat sebagian orang ingin menampilkan diri > netral, Buya justru memperlihatkan pemihakan. Saat itu, kompetisi antara > dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden, yaitu Joko Widodo-Jusuf > Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sangat sengit. Joko Widodo > (Jokowi) menjadi korban fitnah keji yang memainkan isu suku, agama, ras, > dan antargolongan (SARA). Geram dengan cara kampanye kotor itu, Buya > mengkritiknya secara keras. > > BERITA TERKAIT > > Muazin dari Makkah DaratKonten premiumCetak | 3 Juli 2015 > Kesalehan karena KebebasanKonten premiumCetak | 4 Juli 2015 > "Ada kampanye najis dengan mengatakan Jokowi bukan Muslim dan memilihnya > kafir," katanya. Buya juga menemukan ada indikasi keterlibatan negara > melalui gubernur, bupati, dan wali kota untuk memenangkan capres tertentu > melalui instruksi sampai ke tingkat akar rumput, persis praktik Orde Baru. > Saat bersamaan, terjadi juga politik uang yang masif. Akibat dari semua > itu, terjadi polarisasi yang tajam. > > "Pemihakan unsur-unsur negara dalam pilpres kepada pasangan tertentu tidak > saja merusak demokrasi, tetapi lebih-lebih telah merendahkan martabat > negara," ujarnya. > > Pemihakan atas nilai > > Pemihakan Buya dalam pemilu sebenarnya adalah pemihakan atas nilai, yaitu > bagaimana mendorong proses pemilihan yang adil, sehat, dan demokratis. Tak > terlihat nafsu untuk memburu jabatan. Buktinya, saat ditawari jabatan > sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) seusai pemilu, > Buya memilih tidak menerimanya. > > Atas tawaran itu, dia mengirim pesan pendek. "Baru saja Cecep Sutiawan, > deputi SDM Sekneg, telp minta kesediaan saya untuk jadi anggota Wantimpres. > Jawaban saya, saya sudah pernah jadi anggota DPA dulu. Sekarang saya sudah > tua, mohon dicari yang lebih muda. Maarif." > > Meski berpeluang duduk di jabatan yang menarik, Buya memilih tetap di > luar. Dengan begitu, dia tetap bebas mengutarakan pandangannya, termasuk > mengkritik pemerintahan Jokowi. Namun, jika merasa perlu, dia kadang juga > hadir ke Istana untuk memberikan masukan langsung kepada Presiden, tanpa > harus menjadi Wantimpres. > > Lihat saja ketegangan politik saat pengajuan Budi Gunawan sebagai calon > kepala Polri. Presiden Jokowi secara mengejutkan mengajukan Budi ke DPR dan > DPR menyetujuinya. Namun, sebagian publik menolak karena sosok tersebut > ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi. Apalagi, sebelumnya sosok itu > juga santer diberitakan sebagai salah satu perwira polisi yang memiliki > rekening gendut. > > Di tengah kontroversi itu, Buya bersama sejumlah tokoh menjadi tim pemberi > masukan kepada Presiden. Tim ini mendesak Presiden untuk mencari sosok > calon kepala Polri yang bersih dari permasalahan hukum. Sebelum Jokowi > resmi berbicara, Buya menyatakan, Budi Gunawan tak akan dilantik sebagai > kepala Polri, sebagaimana aspirasi sebagian rakyat. Memang akhirnya nama > Budi ditarik dan diganti Badrodin Haiti yang kini jadi Kepala Polri. > > Aktivitas Buya dalam isu kepala Polri tidak terlepas dari kegiatannya > dalam gerakan pemberantasan korupsi. Dia dikenal lantang mengecam para > pejabat yang korup akibat kehidupannya terlalu konsumtif, rakus, dan > pragmatis. > > "Sebagian pejabat sudah rabun ayam, hanya melihat yang dekat-dekat saja. > Kepentingan bangsa dan negara tidak singgah dalam otaknya. Mereka > menggunakan kekuasaan untuk memperoleh benda dan kesenangan, seperti hidup > di tengah fatamorgana," katanya pada Oktober 2013. > > KPK termasuk lembaga yang mendapat perhatian besar Buya. Baginya, inilah > satu-satunya lembaga penegak hukum yang masih dipercaya dan menjadi harapan > publik untuk menegakkan hukum, khususnya memerangi korupsi. Karena itu, > dalam banyak kesempatan, Buya menganjurkan pemerintah, termasuk Presiden > Jokowi, untuk menjaga KPK sebagai amanat reformasi untuk membersihkan virus > korupsi yang menggerogoti negeri ini. > > Bahasa kiasan Melayu > > Tak hanya soal isi, Buya juga sering kreatif dalam berbahasa, khususnya > menyajikan diksi yang jitu. Ketika menggambarkan harapan yang sulit > dipenuhi, misalnya, dia mengatakan, "Jangan minta tanduk kepada kuda." > > Mengomentari kelompok yang memaksakan kebenarannya sendiri sambil > menyesatkan kelompok lain yang berbeda pandangan, Buya menyebut, "Mereka > itu merasa benar di jalan yang sesat." Kali lain, dia ungkapkan kalimat > "jangan jadikan politik sebagai mata pencarian" untuk mengkritik para > politisi yang lebih berjibaku mencari keuntungan pribadi ketimbang > memperjuangkan aspirasi rakyat. > > Bagi wartawan, kalimat-kalimat semacam itu sungguh menarik karena membantu > untuk membuat lead (kalimat pembuka tulisan), bahkan judul berita. > Kalimat-kalimat Buya, yang sebagian lahir dari tradisi kiasan bahasa > Melayu, menyegarkan bahasa Indonesia, juga bahasa media yang terlalu rutin > sehingga menjemukan. > > Atas semua itu, maka Kompas memberikan anugerah Cendekiawan Berdedikasi > kepada Buya dan empat tokoh lain saat ulang tahun Kompas ke-48 pada 2013. > Ini semacam pengukuhan atas berbagai penghargaan yang pernah dia terima > sebelumnya, baik secara formal maupun informal, dari masyarakat. Dia > berharap anugerah itu bisa mendorong kemajuan bangsa. "Mari kibarkan > bendera optimisme di tengah gelembung pesimisme saat ini," katanya. > > Optimisme itu pula yang kental terasa pada peluncuran buku dan diskusi di > Bentara Budaya Jakarta, pekan lalu. Pada ulang tahunnya ke-80, Buya Syafii > Maarif hadir sebagai sosok yang menumbuhkan harapan bagi kemajuan peradaban > bangsa ini. Selamat ulang tahun, Buya, sang guru bangsa. > > -- > . > * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain > wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ > * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. > =========================================================== > UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: > * DILARANG: > 1. Email besar dari 200KB; > 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; > 3. Email One Liner. > * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta > mengirimkan biodata! > * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting > * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply > * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & > mengganti subjeknya. > =========================================================== > Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: > http://groups.google.com/group/RantauNet/ > --- > Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari > Google Grup. > Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, > kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. > Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. > -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.