Mengenang Buya Sutan Mansur 

Jum'at, 25 April 2008 - 09:54 wib


Sudah 23 tahun Buya H Ahmad Rasyid Sutan Mansur wafat. Tepatnya pada Senin, 25 
Maret 1985, bertepatan dengan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam 
usia 90 tahun.

Sudah sejak kecil penulis mengenal keluarga para pimpinan Muhammadiyah di 
Sumatra Barat maupun nasional seperti Buya AR Sutan Mansur, Buya HAMKA, dan 
Buya Duski Saman. Pada masa kecil penulis sering bermain dengan anak-anak 
mereka seperti Rusdi HAMKA beserta kakak dan adiknya.

Penulis merasakan keistimewaan bersama Buya AR Sutan Mansur lantaran beliau 
selalu menyampaikan bahwa Taher Marah Sutan adalah seorang intelektual dan 
pemimpin umat. Buya AR Sutan Mansur mengatakan bahwa Taher Marah Sutan adalah 
salah satu guru dari Bung Hatta dalam bidang politik dan ekonomi.

Mereka, para ulama ini, segan dan respek kepada Engku Taher Marah Sutan karena 
Taher Marah Sutan memiliki pergaulan dengan kaum aghniya' (kaya) di pusat-pusat 
ekonomi Sumatra Barat. Berkat merekalah sekolah Adabiah didirikan di Sumatra 
Barat. Penulis ingat kenangan bersama AR Sutan Mansur.

Tatkala ayah meninggal, kepala penulis dipegang dan dicium Buya AR Sutan 
Mansur. Salah seorang menantu beliau, Ibnu Hajar, mengajari penulis mengaji. 
Buya AR Sutan Mansur mempunyai dua umi (ibu), umi tua dan umi etek. Umi tua 
adalah saudaranya Buya HAMKA.

Walaupun dalam pendidikan anak-anak umi tua tak segemilang anak-anak dari umi 
etek, tetapi komunikasi antarmereka terasa sangat keibuan. Ibu penulis kenal 
baik dengan umi tua atau umi etek karena kami adalah warga Muhammadiyah di 
Padang Panjang. Apalagi setelah ibu menjadi Ketua Aisyiyah di Sumatra Barat.

Kami makin akrab dengan keluarga AR Sutan Mansur, Buya HAMKA, dan Buya Duski 
Saman. Buya AR Sutan Mansur tinggal di Guguk Melintang, Padang Panjang; 
sedangkan kami tinggal di Bukit Surungan. Penulis sangat menikmati saat beliau 
ceramah, apalagi ketika beliau menjadi imam salat.

Hingga sekarang, penulis masih ingat kaifiyat salat beliau yang berfungsi 
sebagai komandan tentara. Gerakannya penuh dinamika sehingga meningkatkan 
kekhusyukan bagi para makmumnya. Sepulang sekolah di Amerika Serikat, penulis 
kembali bertemu dengan beliau yang sudah tinggal di Tanah Abang, Jakarta.

Penulis mengatakan pada beliau bahwa di Amerika itu orang sangat menepati 
waktu, sangat bersih, dan menghargai manusia. Beliau spontan 
mengatakan,"Tarmizi, kalau begitu orang Amerika itu sudah islami, cuma 
syahadatnya saja yang belum, sedangkan kebanyakan orang Islam tak menunjukkan 
perilaku yang islami, padahal sudah syahadat."

Penulis menjadi ingat apa yang pernah dikatakan oleh pembaharu Islam, Muhammad 
Abduh. Muhammad Abduh berkata, "Ketika aku di Paris, di mana tak banyak orang 
Islam di sana, kulihat banyak amal-amal mereka yang islami. Tetapi setelah aku 
pulang ke Mesir yang banyak orang Islamnya, tapi sedikit sekali perbuatan 
mereka yang islami."

Nauzubillah. Antara ketiga tokoh Muhammadiyah, Buya AR Sutan Mansur, Buya 
HAMKA, dan Buya Duski Saman, penulis sering mendengar diskusi dan perbedaan 
pendapat secara demokratis dan penuh canda tawa di antara mereka. Pemimpin itu, 
kata Buya AR Sutan Mansur, bukan untuk ditakuti karena bisa berbuat 
sewenang-wenang pada stafnya, tetapi bapak dan ibu bagi stafnya.

Kalau ada pemimpin yang terlampau tinggi ananiyah-nya akan menderitalah 
stafnya. Sebaliknya, bila pemimpin mendahulukan stafnya, maka bahagialah 
kehidupan organisasi itu. Menjadi pimpinan Muhammadiyah bukanlah suatu ambisi 
para orangtua kita, tetapi adalah sebuah amanat yang diberikan oleh warga 
Muhammadiyah yang tercatat maupun tak tercatat.

Kekuatan Muhammadiyah justru terletak pada keanggotaan yang tidak tercatat. 
Rasionalitas dan keteraturan organisasi Muhammadiyah terletak pada 
intelektualnya. Kalau ormas Islam Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakarta, maka 
reformasi pendidikan Islam terjadi di Sumatra Barat, baik oleh tokoh 
Muhammadiyah maupun non-Muhammadiyah.

Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah Islam di Indonesia. Bagaimana para 
pendiri Pondok Pesantren Gontor pernah belajar ke Sumatra Barat kemudian 
mendirikan Pondok Pesantren Gontor Modern. Sumatra Barat sendiri tidak punya 
tradisi pesantren seperti di Jawa. Penulis masih membayangkan kalau salat 
berjamaah dengan Buya AR Sutan Mansur di Padang Panjang dan di Tanah Abang.

Setelah beliau diberi rumah oleh salah seorang jamaahnya, penulis baru 
menginsyafi betapa dekatnya pemimpin dengan yang dipimpin. Dalam ormas 
Muhammadiyah, orang-orang tak pernah mengultuskan pemimpinnya, mereka tak pula 
segan berdebat dan mengkritik pimpinannya. Tak ada perasaan bahwa berdebat 
dengan gurunya itu adalah perbuatan yang tidak baik.

Buya Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua 
kali periode kongres. Kongres Ke-32 Muhammadiyah di Banyumas Purwokerto pada 
1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena 
itu, beliau pun pindah ke Yogyakarta.

Pada kongres berikutnya, yaitu Kongres Ke-33 Muhammadiyah pada 1956 di 
Palembang, beliau terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 
1956-1959. Dalam masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di 
kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan.

Untuk itu, beliau memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut 
pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid, dan 
mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq'ah mubarokah (tempat yang 
diberkati) di tempat masing-masing, mengupaya kan salat jamaah pada awal setiap 
waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji Alquran, mengaji Alquran untuk 
mengharap rahmat, melatih puasa sunat Senin dan Kamis, juga pada 13 ,14, dan 15 
bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan 
takwa.

Di samping itu, diupayakan pula kontak-kontak yang lebih luas antarpemimpin dan 
anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja di antara majelis dengan cabang 
atau ranting banyak diselenggarakan. Karena itu, mari kita hidupkan suasana 
kemuhammadiyahan di dalam masyarakat modern Indonesia supaya kita dapat membawa 
Muhammadiyah ke tingkat yang lebih maju di masa depan demi umat dan bangsa.

Buya AR Sutan Mansur adalah ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan. Buya 
HAMKA menyebutnya sebagai ideolog Muhammadiyah dan M Yunus Anis dalam salah 
satu kongres Muhammadiyah mengatakan bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang.

Bintang Timur adalah KH Mas Mansur dari Surabaya dan bintang Barat adalah AR 
Sutan Mansur dari Minangkabau. Mudah-mudahan dengan membaca riwayat hidup Buya 
AR Sutan Mansur kita sebagai anggota dan pimpinan hendaknya dapat belajar 
betapa indah akhlak dan kepemimpinan para orangtua kita. Dakwah mereka 
melampaui kampung halaman maupun pulau tempat mereka dilahirkan. (*)

Tarmizi Taher
Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia
Presiden Direktur Center for Moderat Muslim  (//mbs) 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur 
pribadi.
- Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta 
maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke