Kolom ini saya tulis di Bandara Polonia, Sabtu kemaren, sembari menunggu
pesawat berangkat. Minggunya, saya berjumpa dengan Pak Syamsul Arifin,
Gubernur Terpilih Sumatera Utara di Hotel Gren Melia, Jakarta. 

Ada banyak petuah dari Pak Syamsul. Bahwa reformasi harus dihentikan. Bahwa
otonomi daerah membuat keburukan. Jauh lebih baik di zaman dulu. "Piliang
harus menulisnya. Awak tak bisa menulis, mengkonsep," katanya. Syamsul
menurutku adalah Pribadi yang luar biasa. Kalau orang lain mungkin
menilainya "bodoh, tidak berpendidikan, etc", maka menurut saya dia justru
sangat berpendidikan, terlatih dengan pemikiran awamnya. Dia lebih banyak
menyampaikan tentang keuntungan menanam pohon Mahoni.

"Usia awak sudah 56 tahun. Kalau mengikuti usia Nabi, awak akan mati tujuh
tahun lagi. Perut sudah dibedah. 48 jam koma," katanya, sambil membuka
bajunya, lalu memperlihatkan bekas operasi, yakni perut yang dibelah,
membujur dan melintang, horizontal dan vertikal. 

Saya ingat tulisan ini, ketika ia menyebut reformasi harus dihentikan.
Apakah benar demikian?

Ijp

============================= 

Koran Tempo, Selasa, 13 Mei 2008

Laporan Khusus

Bunga Berbunga 'Kaum Reformis'

Indra Jaya Piliang

*  Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Bulan Mei adalah bulan renungan, perayaan, kepedihan, perjuangan, atau entah
apa lagi. Bulan yang menandai perubahan politik, tapi sekaligus juga memberi
kesempatan bagi pelaku-pelaku lama dan baru. Bulan yang terpaksa ditulis
dengan stabilo merah karena kemegahannya, tapi juga ironi yang
dilahirkannya.

21 Mei 1998 dicatat sebagai tanggal lengser keprabon, ketika Presiden
Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI di depan Mahkamah Agung
pada hari Minggu. Bagi para ahli tata negara dan sejarawan, masih merupakan
misteri keabsahan pengunduran diri itu serta kelanjutan pemerintahan
berikutnya. yang paling penting adalah bagaimana nasib kaum reformis
sendiri. Sebagian kini telah menikmati kenikmatan hidup. Tinggal di rumah
mewah, dengan mobil mewah dan pakaian mewah. Padahal, sebelum zaman ini
datang, bagi mereka hidup adalah ketidakpastian, kegelisahan, dan
keputusasaan.

Tidak kurang juga ada yang disebut "kaum reformis", yakni mereka yang
sebetulnya tiba-tiba dihadapkan pada begitu banyak kesempatan untuk
mengatasnamakan rakyat demi kepentingan apa dan entah siapa. Jumlahnya
banyak. Mereka mengisi seluruh lapisan elite baru, dengan menghapus
jejak-jejak masa lalu, atau menyampaikan dengan cara berbeda, seolah mereka
adalah pelaku aktif dalam perubahan dan aktor yang menjemput perubahan itu.

Ketika sebagian masyarakat pada lapisan terbawah kesulitan untuk menempatkan
posisi dalam perubahan zaman ini, "kaum reformis" ini segera memonopoli
seluruh area. Mereka bisa tiba-tiba datang dengan proposal kegiatan,
aksi-aksi demonstrasi, pelaku-pelaku ekonomi baru, sampai pegiat di beragam
bidang kehidupan. 

***

 

Ada lagi yang betul-betul pelaku baru yang mengisi sistem yang sedang dan
terus-menerus berubah ini. Di bidang politik, kita makin kerap menemukan
kedigdayaan lembaga-lembaga survei. Catat saja Lembaga Survei Indonesia,
Lembaga Survei Nasional, Puskapol UI, PT Indo Barometer, atau juga lembaga
survei yang merangkap sebagai konsultan, seperti Lingkaran Survei Indonesia.
Pengaruh hasil survei selalu saja menyita perhatian para elite politik.
Masyarakat pun sudah mulai menerima survei sebagai alat uji yang sahih,
sehingga dengan fasih bisa menghafal angka-angkanya.

Belakangan muncul Fox Indonesia, sebuah lembaga konsultan politik. Nama Fox
Indonesia muncul dalam iklan yang menghadirkan Soetrisno Bachir, baik di
media cetak maupun di iklan luar ruang. Iklan ini terlihat ditata lebih
profesional bersandar kepada ketokohan Chairil Anwar, penyair yang mati muda
namun bernapas panjang dengan syair-syairnya. Dalam konteks pilkada, lebih
banyak lagi yang bergerak dengan iklan-iklan politik ini, baik yang dikelola
secara profesional atau amatir. 

Bagi yang tidak ingin dicap sebagai kelompok parsial, masih tersedia ruang
lain. Ruang lama dengan sebutan keren, civil society. Bisa dikatakan
keberhasilan Pemilu 1999, satu tahun setelah Soeharto lengser, diinisiasi
oleh kelompok masyarakat sipil ini. Dana yang dikelola juga tidak sedikit
yang mengalir bagai banjir dari lembaga-lembaga donor. 

Eksperimen institusionalisasi demokrasi yang paling baru pun diuji dalam
pasar demokrasi Indonesia. Model pemilihan langsung, pengawasan
lembaga-lembaga negara, komisi-komisi negara, sistem pra-bikameral, calon
perseorangan, sampai hal-hal lain menyangkut pendanaan demokrasi.

Bagi aktivis yang berani menegaskan ideologi dan pilihan politiknya, juga
membludak kapal-kapal baru menuju tanah harapan, yakni partai-partai
politik. Kelompok tua yang gagap tetapi memiliki uang semakin membutuhkan
anak-anak muda potensial untuk melapisi dan mengisi jabatan politik yang
tersedia. Bagi yang memiliki idealisme, tersedia juga kelompok yang dikenal
sebagai oposisi sejak dulu, satu dan dua dekade oposisi dan kritisisme. 

***

 

Sungguh, inilah era "bunga-berbunga" bagi kaum reformis dan "kaum reformis".
Kegiatan politik tidak pernah berhenti. Kalender-kalender pilkada
terus-menerus muncul. Pascapilkada, penataan pemerintahan membutuhkan para
penulis pidato, penulis buku, event organizer pelatihan para pejabat publik,
sampai kelompok yang bergerak melakukan negative campaign.

Reformasi ternyata berkah, walau dengan skeptis dan sinis dituduh sebagai
tahun-tahun yang hilang. Perbaikan alas kedudukan ekonomi rakyat belum juga
berhasil. Kedaulatan rakyat tersobek-sobek ke dalam bentuk pilihan, sehingga
jarang hadir sebagai kekuatan masif yang diperhitungkan.

Sekarang, ada yang mulai berpikir mengubah kembali zaman ini. Ide-ide
stabilisasi pemerintahan rezim Soeharto diperkenalkan sebagai tatanan
terbaik guna kemajuan bangsa dan negara. Rakyat yang terbiasa mendapatkan
jatah makanan, baik susu, minyak goreng, minyak tanah, sampai gula pasir
dijadikan sebagai bahan perniagaan wacana yang serius. Pemerintah, entah
pemerintahan yang mana (pusat, daerah, eksekutif, legislatif?) juga
dijadikan sebagai sasaran kritik. Karena yang tertinggi adalah presiden,
maka semua soal adalah soal SBY dan apa pun SBY adalah persoalan itu
sendiri.

Akankah kita menunggu lagi, zaman berubah, menjadi tidak bergerak, ketika
rakyat yang ada pada posisi terjepit sudah pandai menggunakan pena dan
lidah? Bagaimana nasib para aktivis pada zaman baru itu? Sebagai negara yang
belum juga terlihat menuju pada arah yang stabil, bukan berarti zaman itu
akan datang. 

 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Hindari penggunaan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke