Dunsanak di Palanta;
  Untuk melengkapi isu feminisme ini silakan klik gurau Wisran Hadi di:
  http://nagari.or.id/?moda=wisran&no=125
  http://nagari.or.id/?moda=wisran&no=116
   
  Wassalam
  AI

Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
        v\:* {behavior:url(#default#VML);}  o\:* {behavior:url(#default#VML);}  
w\:* {behavior:url(#default#VML);}  .shape {behavior:url(#default#VML);}        
st1\:*{behavior:url(#default#ieooui) }                Nah, ini satu lagi. 
Feminisme memang lahir dari beragam akar dan bentuk. Ada feminisme radikal, 
marxis, liberal, moderat, atau feminisme yang menyandarkan diri pada 
hermeunitika keagamaan. Jelas tidak bisa dikatakan bahwa feminisme lahir dari 
neo-lib. Banyak feminis yang anti-neolib (yakni feminis marxis). 
   
  Kemaren saya diundang oleh Kalyana Mitra. Dari 20-an peserta, hanya saya dan 
satu lagi yang laki-laki, serta satu orang juru kamera. Saya berdebat dengan 
seorang professor UI, ketika saya menjelaskan bahwa kaum perempuan secara 
politik berbeda dengan perempuan di Amerika. Bahwa sampai 70-an perempuan 
Amerika masih berada pada posisi yang kerdil secara politik, sementara pemilu 
1955 di Indonesia membolehkan perempuan memilih. Dll. Dll. Professor ini 
marah-marah dan mengatakan bahwa kaum perempuan tertindas, dllnya. Ketika saya 
katakana bahwa hak waris di Minang milik perempuan, system matrilineal 
menempatkan perempuan sebagai tokoh Utama, dllnya, dia tidak bisa menerima. 
Ketika saya katakana bahwa mitologi kekuasaan di Indonesia justru berangkat 
dari ketakutan atas perempuan dan kedigdayaan kaum perempuan, seperti Nyi Loro 
Kidul, Ken Dedes, dllnya, dia mengatakan kebalikannya. 
   
  Saya dikeroyok oleh aktivis perempuan yang ada. Termasuk anggota-anggota DPR 
perempuan. Namun, bagi saya, feminisme di Indonesia mestinya beranjak dari 
nilai-nilai cultural, bukan mengadobsi sedemikian rupa dari luar negeri sana. 
Hamper semua menyatakan anti terhadap neo-lib.
   
  Tetapi mengatakan bahwa semua yang berkaitan dengan feminisme adalah bagian 
dari style global (entah apa maknanya), menurut saya juga kekeliruan. Apalagi 
menyebut kaum aktivis perempuan sebagai gadungan, justru mengherankan. Teori 
konspirasi sangatlah mudah membakar masyarakat dan menghanguskan logika, tetapi 
tidak menyelesaikan apapun. Bergabunglah dengan milis theory conspiracy, maka 
setiap hari ada saja sampah-sampah informasi yang seolah nyata, tetapi 
terhubung dengan ketakutan, kebencian, ketidakpercayaan, atas apa yang disebut 
sebagai fakta. 
   
  Ijp
  Pernah menjadi feminis, tetapi tidak sempat menjadi feminin 
   
   
   
      
---------------------------------
  
  From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Eddy 
Piliang
Sent: 15 Mei 2008 14:43
To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Buat Aktivis Perempuan Minang

   
  Pendapat tentang gerakan perempuan seperti yang dituliskan oleh Adinda Anggun 
Gunawan ini sangat jarang terdengar, bahkan nyaris tak pernah ada. Saya ndak 
tau, apakah memang ada upaya pembungkaman atau memang sudah banyak perempuan 
Indonesia yang keracunan Style Globalism ini. 
Betul dan sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Adinda Anggun. Bahkan kalo 
boleh Saya menambahkan, bahwa gerakan aktifis perempuan saat ini tidak 
semata-mata atau berhenti pada Justifikasi korban kapitalisme, tapi lebih dari 
itu, Mereka adalah antek-antek penjajah, Mereka menjajah melalui segala bidang 
dan sendi, seperti melalui Issue jender, KDRT, HAM, porno aksi/porno grafi dll. 
Selain itu, mereka juga melakukan penjajahan dengan melalui gaya hidup 
(pakaian, makanan, hobby, sikap prilaku), dan tidak kalah penting, menetapkan 
penggunaan bahasa inggris/asing yang dikesankan sebagai simbol modernitas dsb.
Untuk semua itu, saya hanya melihat, bahwa dibalik semua ini adalah gerakan 
NEOLIB.  Indikasinya sudah terbaca, diantaranya seperti yang diungkapkan oleh 
adinda anggun, ditambah lagi dengan tuntutan mereka soal kawin sejenis, boleh 
kumpul kebo, perempuan berhak untuk tidak hamil/tidak menyusui, perempuan 
menjadi kepala rumah tangga dsb.
Kebebasan yang sebebas-bebasnya adalah cita-cita mereka. Bebas dari hukum 
Tuhan, bebas dari etika, tata krama, budaya, nasionalisme dsb. 

Berangkat dari sini, sudah barang tentu hal ini menjadi keprihatinan tersendiri 
manakala Tokoh2 cendikiawan, ulama, kaum moralis dll hanya menutup mata dan 
pura2 tidak tau.
Terakhir buat Adinda Anggun, bahwa mereka bukanlah aktifis Gadungan, mereka 
adalah asli Aktifis, mereka aktifis yang menyusup ke dalam wilayah kita. Salah 
satu Indikasinya adalah, mereka dibiayai secara berlebihan untuk operasional 
melakukan gerakannya.
 
Wassalam
 
Eddy Piliang
> Date: Mon, 12 May 2008 07:01:23 +0000
> From: [EMAIL PROTECTED]
> To: rantaunet@googlegroups.com
> Subject: [EMAIL PROTECTED] Buat Aktivis Perempuan Minang
> 
> 
> Teristimewa Bagi Aktivis Perempuan
> 
> Zaman saat ini sulit untuk dicerna oleh akal sehat. Banyak hal-hal
> yang sebenarnya aneh namun telah menjadi suatu hal yang biasa
> dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
> Perkembangan pemikiran dewasa ini, juga mendaftarkan suatu pemikiran
> baru yang mencoba untuk mengembalikan hak-hak perempuan yang selama
> ini ditenggarai telah direndahkan dan diabaikan oleh sistem sosial
> yang ada. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan telah mendapat
> perhatian yang cukup besar bagi kalangan aktivis perempuan yang secara
> ideologis terpengaruh oleh paham feminisme.
> 
> Menarik ketika mencermati sepak terjang yang dilakukan oleh aktivis
> perempuan ini. Mereka banyak mengusung wacana kesetaraan jender,
> kekerasan rumah tangga, dan ajaran-ajaran agama yang menurut mereka
> telah melegalisasi penindasan terhadap perempuan. Salah satu kasus
> yang mendapat perhatian sangat intens dari aktivis ini adalah masalah
> poligami. Menurut mereka poligami adalah salah satu bentuk perlakuan
> tidak adil agama terhadap perempuan.
> 
> Namun, ada satu hal yang mungkin dilupakan oleh aktivis perempuan.
> Mereka cendrung menganggap budaya patriakhi sebagai penyebab atas
> penindasan terhadap perempuan. Mereka seakan menutup mata atas suatu
> fenomena yang saat ini luar biasa mengejala di masyarakat perempuan
> terkait dengan masalah pakaian. Sekarang ini kita disungguhnya
> pemandangan yang "menstimulan" syaraf penglihatan oleh
> perempuan-perempuan yang memakai pakaian serba ketat dan serba
> kekurangan. Sehingga kita bisa menyaksikan secara leluasa lekuk tubuh
> dari seorang wanita meskipun oleh mengenakan pakaian. Puser yang
> tampak, celana dalam yang tampak bukanlah suatu yang membuat mereka
> risih. Malah sebaliknya, mereka begitu bangga memperlihatkan tubuh
> mereka kepada siapapun, termasuk laki-laki. Kenyataan ini telah
> mewabah luar biasa.
> 
> Pada dataran yang lebih tinggi, kontes-kontes pemilihan putri
> Indonesia, miss Word, Miss Universe, perlombaan cover girl dan bintang
> media, yang menonjolkan aspek kecantikan seorang wanita menjadi
> sasaran yang dijadikan sebagai jenjang pencapaian oleh para wanita.
> 
> Yang menjadi pertanyaan penulis adalah kenapa para aktivis perempuan
> tidak melihat ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak
> pernah kita dengar aktivis perempuan melakukan pengkutukkan dan
> perlawanan terhadap kontes-kontes semacam ini dan tetap membiarkan
> produk pakaian kapitalis dan hedonis terus merasuk meninabobokan
> perempuan dalam jerat pamer kecantikan dan keindahan tubuh. Mengapa
> aktivis perempuan tidak melakukan perlawanan terhadap praktek-praktek
> prostitusi dan pacaran yang akan menjadikan perempuan sebagai
> pelampiasan seks para pria. Mengapa aktivis perempuan tidak menyerukan
> penutupan tempat-tempat hiburan yang menjadikan wanita sebagai daya
> tarik dan objek eksploitasi.
> 
> Memang mereka tidak akan bersuara untuk itu. Karena mereka bukanlah
> aktivis perempuan sejati. Mereka hanya menginginkan kepopuleran bukan
> sebuah perbaikan yang signifikan. Mereka menyalahkan sistem, tapi tak
> melakukan upaya penyadaran yang serius terhadap perempuan akan harga
> diri dan martabat mereka. Atau jangan-jangan mereka adalah bagian dari
> kapitalis itu sendiri yang menjadikan agama sebagai musuh utama,
> karena agama telah menghambat laju kapitalis dalam meraih keuntungan.
> Karena agama membuat orang independen dan tidak terpengaruh oleh
> tendensi ekonomi yang itu sangat dibenci oleh kapitalis. Oleh karena
> itu, tidak salah kenapa saat seorang alim ulama kenamaan Indonesia
> melakukan poligami, mereka menyerukan untuk menolak dan mencela pelaku
> poligami. Sedangkan ketika kontes cantik-cantikan mereka diam seribu
> bahasa.
> 
> Akhirnya kita akan mengetahui siapa mereka sebenarnya...
> Mereka hanyalah aktivis perempuan gadungan...
> 
> Oleh: Anggun Gunawan (23th - male)
> Filsafat UGM 
> http://grelovejogja.wordpress.com
> 
> 
> </html







       
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Hindari penggunaan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke