Assalamualaikum w.w. para sanak pegiat pariwisata Sumbar,
 
Ada tiga masalah keminangan yang selalu menjadi kerisauan saya 
selama ini, yaitu: 1)  mengapakah hampir seluruh wacana keminangan pasca 
PRRI koq terkesan selalu menyalahkan diri sendiri, berbeda dengan wacana suku 
bangsa lain tentang dirinya sendiri, yang hampir selalu atau menyalahkan 
Pemerintah, atau secara langsung memanfaatkan peluang yang terbuka tanpa 
banyak cingcong ? 2)   Masih adakah harapan ke arah masa depan 
yang lebih cerah ?, dan 3)  Jika ada, bagaimana wujud masa depan yang 
lebih cerah itu ?
 
Saya telah mencoba mencari dan menemukan jawaban terhadap tiga masalah 
keminangan yang merupakan kerisauan saya tersebut, baik dengan memprakarsai 
berbagai seminar, lokakarya, maupun dengan menulis makalah, dan mendorong 
terbitnya buku-buku tentang Minangkabau. Buku yang saya tulis bersama Sanak Ir 
Mohammad Zulfan Tadjoeddin MA (2004) dengan sengaja saya beri judul : "Masih 
Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Kehidupan Berbangsa dan 
Berbangsa", Paling akhir saya ikut mendorong dirumuskannya secara lebih 
jernih  ABS SBK sebagai 'jati diri Minangkabau' dan ikut a la kadarnya 
dalam memberikan sumbangan tentang metodologi perumusannya.
 
Namun, dari wacana yang berkembang sampai sekarang di Rantau Net, saya belum 
berhasil menemukan indikasi sudah mulai tumbuh dan berkembangnya nada optimisme 
di kalangan orang Minang ini. Yang sungguh sangat menyolok terlihat adalah 
betapa kuatnya semangat bernostalgia mengenang 'kebesaran masa lampau' (?) dan 
teramat susahnya membangun suasana kebersamaan di antara sesama orang Minang 
masa kini. Lebih parah lagi, tesis yang saya kemukakan dalam tahun 
2004 tersebut, bahwa masa depan Minangkabau yang lebih bersatu bisa dibangun 
dengan mendayagunakan kerangka otonomi daerah, ternyata juga tidak atau belum 
bisa terwujud, karena pemerintahannya jalan sendiri dan masyarakatnya juga 
jalan sendiri, termasuk dalam bidang pariwisata yang baru saja saya 
tekuni. Jika kita boleh meminjam seloka Rudyard Kipling, mengenai jauhnya 
jarak antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya ini, atau antara kelompok 
orang Minang yang satu dengan kelompok orang
 Minang yang lain, kita rasanya dapat berkata: " ... and never the 
twain shall meet". 
 
Kerisauan keempat saya sekarang ini adalah indikasi adanya keengganan para 
sanak kita untuk 'melihat ke luar', untuk membandingkan posisi orang 
Minangkabau masa kini dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Dengan kata 
lain, sebagai suatu suku bangsa, orang Minangkabau masa kini tidak mampu 
'berfikir strategis', dengan merumuskan tujuan dan sasaran bersama yang akan 
dicapai, dan dengan menimbang-nimbang kekuatan dan kelemahan diri sendiri, 
serta peluang dan ancaman yang ada di dunia sekeliling kita. Menurut kesan 
saya, keseluruhan pola fikir orang Minang saat ini -- baik di Ranah maupun di 
Rantau -- adalah 'melihat ke dalam', 'inward looking', bahkan terkesan adanya 
suatu 'involution' , berkerut ke dalam, dan seiring dengan itu menjadi sangat 
puas diri, dan kehilangan 'fighting spirit'. 
 
Padahal jika kita perhatikan baik-baik, di pentas keindonesiaan telah tumbuh 
dan bangkit suku-suku bangsa lainnya, tanpa banyak ribut: secara 
berturut-turut: saudara-saudara kita dari Batak, Palembang, Bali, dan Bugis. 
Sehubungan dengan itu mungkin ada benarnya pengamatan Gus Dur dalam tahun 
1980an bahwa 'Minangkabau itu tak ada apa-apanya lagi'". Jika dilihat secara 
obyektif , jujur, dan dengan kepala dingin, memang agak sukar kita mencari 
sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan tentang Minangkabau masa kini.
 
Sudah barang tentu kita harus marah dengan ucapan Gus Dur yang suka ceplas 
ceplos itu, dan harus kita respons, bukan dengan cara memprotes, tetapi dengan 
'dakwah bil hal', dengan bukti bahwa Minangkabau itu masih 'alive and well", 
masih ada dan berkiprah. Adanya FSSM 2007 adalah suatu langkah nyata, yang 
tentunya memerlukan tindak lanjut secara melembaga.
 
Dalam hubungan ini sering saya bertanya kepada diri saya sendiri, dimanakah 
letak rahasianya mengapa orang Batak, Palembang, Bali, dan Bugis bisa maju 
secara bersamaan -- tentunya bersamaan dengan orang Jawa yang mayoritas -- 
sedangkan orang Minang bukan saja terkesan 'jalan di tempat' tetapi juga malah 
mundur secara terus menerus, bukan hanya dalam bidang politik, tetapi juga 
dalam bidang ekonomi ? [Sekedar penghibur, rasanya dalam bidang kesenian 
dan kebudayaan masih lumayan]. Berbagai hipotesis telah diluncurkan dalan 
RantauNet untuk mencari jalan keluarnya, sebagian di antaranya bagus sekali, 
namun seluruhnya itu hampir tidak ada tindak lanjutnya. Mengapa demikian ? 
Menurut penglihatan saya oleh karena orang Minangkabau selain tidak mempunyai 
suatu infrastruktur sosial yang bersifat inklusif juga kurang 
mempunyai rasa percaya mempercayai satu sama lain. Tataran berfikir dan 
cakrawala wawasan sebagian terbesar orang Minangkabau
 kelihatannya masih terbatas pada tingkat nagari asalnya masing-masing, tidak 
lebih dan tidak kurang. 
 
Jika pengamatan saya ini benar, apa bukan saatnya kita bangun infrastruktur 
sosial yang bertataran supra-nagari, dan memperkukuh suasana saling percaya 
mempercayai antara sesama orang Minang ? Rasanya, untuk itu diperlukan 
perumusan kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat, dan lebih dari itu 
diperlukan seorang pemimpin yang tepat. Sekedar catatan, kebijakan dan strategi 
kebudayaan yang tepat serta pemimpin yang tepat itu sudah pernah kita miliki 
antara tahun 1966-1976, dalam kurun Gubernur Harun Zain, yang kemudian 
dikonsolidasikan oleh beberapa gubernur yang dikaderkan beliau.
 
Menurut pandangan saya, tanpa suatu kebijakan dan strategi kebudayaan yang 
tepat dan tanpa pemimpin yang tepat untuk masa kini, adalah suatu mimpi untuk 
membayangkan bahwa orang Minang akan tampil 'memimpin Indonesia' seperti dalam 
zamannya Hatta, Syahrir, Agus Salim, Yamin dan generasinya. 
 
Dengan kata lain, tantangan yang harus dijawab oleh para pemuka orang 
Minangkabau sekarang adalah: bangunlah dari mimpi, lihatlah dunia sekeliling, 
dan jawablah tantangan dan manfaatkanlah demikian banyak peluang yang terbuka, 
demi kesejahteraan generasi demi generasi Minangkabau di masa datang.

Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, 71 th, sementara di Dallas, Texas, USA)



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke