Sehubungan dengan posting sebelumnya terlihat pula posting Angku Darul
Makmur kira-kira lebih dari dua tahun yang lalu. Silakan lihatt di
bawah.

Salam,

MakNgah

--Sjamsir Sjarif

EMAIL PROTECTED] Novel Negara Kelima, menemukan identitas Nusantara
lewat Minangkabau

darul
Wed, 08 Feb 2006 22:43:35 -0800
----- Original Message ----- From: "darul" <[EMAIL PROTECTED]>   |
Assalaamu'alaikum W W. | | Alhaamdulillah, kami kami alah dapek jatah 20
buku dari penerbit dan kini | tingga 12 buku. Sia nan ingin mamasan
capek lah manunjuak, "first come first | serve". Harago buku resmi
adolah Rp. 52,900 ditambah ongkos kirim nan | tacantum di
www.tikijne.co.id; kalau ka dilabiahkan untuak managemen fee dan |
packing rancak bana, bia usahoko bisa langgeng. | | Wassalaamu'alaikum W
W. | Darul Makmur | | ----- Original Message ----- | From: "john navis"
<[EMAIL PROTECTED]> | | | Novel ini benar-benar membuat saya terkesan.
tidak hanya menyajikan sebuah | petualang sejarah tetapi juga penemuan
identitas. saya ingin  berbagi | pendapat tentang novel Negara Kelima
ini di mailing list ini. | | |   "undang-undang  tarimo tariak baleh,
kok palu babaleh palu, nan tikam | babaleh jo tikam, hutang  ameh baia
jo ameh, hutang padi baia jo padi, | hutang kato baia jo kato" |        
Kutipan itu bukan  berasal dari sebuah buku Tambo atau buku adat |
Minangkabau lainnya. Saya,  -seorang putera Minangkabau yang lahir dan |
dibesarkan di Bukittinggi dan baru  dua belas tahun merantau di Jakarta-
| justru mendapatkannya dari sebuah novel  terbitan Serambi di akhir
tahun | 2005, berjudul Negara Kelima. Sebuah novel yang  menurut
pengamat/kritikus | sastra dari UI, Maman S Mahayana, |        
"menjanjikan  ketegangan yang tiada habis, mengalir deras, |
berkelok-kelok, penuh kejutan,  spekulatif, penuh intrik dan narasinya
yang | tidak terduga" |         Sungguh ironis,  tiga perempat dari umur
ini saya habiskan di ranah | Minang, tetapi persentuhan  dengan sejarah,
perjalanan adat dan lika-liku | perjalanan budaya Minangkabau  baru saya
dapatkan dari novel setebal lebih | dari lima ratus halaman ini. 
Beragam perasaan muncul pada saat saya membaca | novel ini, ketakjuban
yang  membuncah-buncah, kebanggaan yang meluap-luap | dan terkadang juga
perasaan melo berisi kesedihan dan kerinduan yang tidak | terjelaskan
oleh kata-kata. Hingga pada akhirnya saya merasa, Minangkabau | bukan
sekedar ruang budaya dimana saya dilahirkan. Tetapi lebih dari itu, |
Minangkabau adalah sebuah identitas diri. Dan identitas hanya bisa
ditemukan | lewat penelusuran dan pemahaman sejarah. |         Ide dari
novel ini menurut  saya sangat jenius dan boleh dikatakan |
sangat-sangat provokatif. Negara kelima  dimulai dengan rentetan
pembunuhan | di Jakarta yang diduga melibatkan sebuah  kelompok yang
beberapa waktu | belakangan juga melakukan cyberteror. Dalam beberapa
kemunculannya, kelompok | ini menyerukan  sebuah tuntutan. |
Bubarkan Indonesia |                     Bebaskan Nusantara |
Bentuk Negara Kelima |         Simbol piramid dengan  belahan diagonal
yang ditemukan pada mayat | menjadi penghubung rangkaian cerita  dalam
teka-teki. Simbol itu, | sebagaimana penjelasan dalam novel, berasal
dari  masa sebelas ribu enam | ratus tahun yang silam. Pada kitab
Timaues and Criteas  karangan Plato, | simbol itu disebut Pillar
Orichalcum, berasal dari satu  material yang | nilainya melebihi apapun
kecuali emas pada masa Atlantis. Lalu  cerita itu | berlanjut pada
pemecahan misteri guna mengungkap pelaku sebenarnya. |         
Keterlibatan empat orang sejarawan Indonesia  lulusan Sorbonne | dalam
menggagas teori keberadaan Atlantis di kepulauan  Nusantara disajikan |
dengan argumen dan teori yang meyakinkan sekaligus menarik.  Ide dan
gagasan | dari novel ini mengalir deras dalam upaya pemecahan teka-teki 
yang keluar | dari mulut dua orang yan dituduh terlibat dalam Kelompok
Patriotik Radikal | (Keparad). Pencarian identitas nusantara, tampaknya
itu yang menjadi | gagasan utama dari pengarang novel ini. Dan medium
dari pencarian identitas | ini  adalah sebuah jalinan sejarah dengan
menjadikan Minangkabau sebagai | mediumnya. | |         Lantas,
bagaimana ES Ito,  pengarang muda yang menyembunyikan | identitasnya-
ini menyajikannya secara apik,  cerdas dan memukau? | |         Kitab
dialog Timaeus and Critias,  -satu-satunya sumber tertulis | yang
menyebutkan keberadaan benua Atlantis,  dikarang oleh Plato pada |
kisaran tahun 360 SM. Pada kisaran tahun yang sama,  Aristoteles menjadi
| murid Plato. Kelak setelah Plato meninggal, Aristoteles  pindah ke
Pella. | Ibukota Macedonia. Menjadi mentor dari Aleksander Yang Agung. 
Motif | penaklukan separuh dunia yang dilakukan oleh Aleksander menjadi
pertanyaan | menarik yang diajukan oleh ES Ito. Sebuah pertanyaan yang
ia jawab |  sendiri -lewat tokoh Profesor Duani Abdullah- dengan
meyakinkan. Bahwa | penaklukan Aleksander terkait dengan upaya pencarian
Nusantara kuno, sebuah | cerita yang ia dapatkan dari Aristoteles. |
Maka kemudian, kita pun  dibuat kaget, bagaimana plot sejarah dari |
satu belahan dunia dengan belahan  dunia lainnya bisa terhubung dengan
masuk | akal. Timaeus and Critias Plato  kemudian terhubung dengan Tambo
Adat Alam | Minangkabau. Sebuah cerita mengenai  asal usul nenek moyang
orang Minang | yang mampu menjelaskan kenapa penaklukan  Aleksander
berakhir di anak benua | India. Cerita tambo pun kemudian mengalir 
lewat mulut seorang Tukang Kaba | yang terpaksa merantau di Bekasi,
karena ia  tidak lagi dihargai di kampung. |         Pararelitas negara
Atlantis  sebagaimana gambaran Plato dalam | Timaeus and Critias dengan
Minangkabau sesuai  cerita kaba, sungguh menarik. | Mulai dari
pembentukan hukum Minangkabau dari  simumbang jatuah, | sigamak-gamak,
tarik baleh hingga munculnya Tuah Sakato.  Hukum-hukum itu | diperinci
lagi menjadi adat nan dibuhua mati dan adat nan  dibuhua sintak. |
Pembentukan hukum dan otonomi tiap nagari di Minangkabau  membuat Eva
Duani, | salah satu protagonis dalam cerita itu bergumam, |         
"Minangkabau adalah Welfare state, idaman  Plato. Persis seperti |
otonomi tiap negeri yang diperintah oleh sepuluh raja  Atlantis" |
Penyajian cerita tambo dalam novel Negara  Kelima ini mengingatkan |
saya pada novel karangan Gus tf Sakai, Tambo Sebuah  Pertemuan (Grasindo
| tahun 2000). Bila pada novel Gus tf Sakai itu saya  merasakan sebuah |
perasaan rendah diri dan inferioritas -yang entah menjadi ciri  dari
Sakai-, | maka pada Negara Kelima saya merasakan sebuah semangat yang 
meluap-luap. | Sebuah masa lalu yang gemilang, dan sekarang tinggal
menjadi  puing. Gus tf | Sakai dalam karyanya tampak mewakili
kepengecutan dan  inferioritas urang | awak pasca PRRI.  Sedangkan ES
Ito dalam penyampaian tambo-nya mewakili | sebuah semangat muda yang 
terlepas dari kelamnya penindasan PRRI oleh | Jakarta. |         Jalinan
cerita tambo itu membantu  protagonis dalam memecahkan | teka-teki
kelompok radikal. Menyajikan fakta-fakta  bagaimana Darmasraya | menjadi
sentral peradaban Nusantara pada masa itu.         Pengarang |
mengungkap fakta pendirian  Sriwijaya oleh Dapunta Hyang yang berasal
dari | Darmasyara sesuai keterangan  pada prasasti Kedukan Bukit. Enam
abad | kemudian, Darmasraya juga berperan dalam  pembentukan peradaban
Majapahit | lewat pengiriman Dara Petak dan Dara Jingga.  Dengan berani
penulis | memaparkan sebuah realitas semangat tribalisme Jawa  kuno di
dalam istana | Majapahit hingga misteri  kematian Jayanegara yang
ber-ibukan Darmasraya | sebagaimana tertulis dalam sumber  Pamancangah.
| |         Pencarian Identitas! |         Itulah tema sentral yang saya
lihat dari  Negara Kelima. Pencarian | sebuah identitas nasional yang
berbasiskan identitas  kultural daerah. Kita | bisa membacanya lewat
pengungkapan asal usul tokoh utama,  Inspektur Timur | Mangkuto. Ia
menyebut dirinya berasal dari daerah Kamang.  Dengan cerdas, | identitas
ini terungkap dalam dialog antara Timur Mangkuto  dengan Profesor |
Duani Abdullah yang berisi sinisme. |         "Hee..Hee", Profesor Duani
Abdullah tergelak mendengar  nama tempat | itu, "Kamang!, Negeri para
pemberontak yang justru dilupakan  sejarah | bukan?" |         Lewat 
dialog ini Timur Mangkuto bisa mengingat kembali sejarah | pemberontakan
kampungnya. Terutama peristiwa Perang Kamang (pemberontakan | belasting)
pada 15  Juni 1908 -sebuah peristiwa yang menurut Indra Jaya | Piliang
bisa disamakan  dengan riwayat revolusi Amerika yang dimulai dengan |
tuntutan tidak ada pajak  tanpa perwakilan (lihat Seratus Tahun Bung
Hatta, | penerbit Kompas)-. Sebuah  kisah sejarah yang tidak pernah
dimasukkan oleh | Jakarta sebagai bagian dari  sejarah nasional. |
"Sejarah tidak adil, bukan?", Lanjut Profesor Duani Abdullah, |
"Sebagian  daerah diagung-agungkan, sebagian besar malah dilupakan.
Semua | untuk  kepentingan politik dan penguasa. Aku bisa membayangkan,
Kamang-mu | itu sekarang  tidak lebih dari daerah yang diisi oleh manusi
kerdil yang | dilupakan dari  sejarah pemberontakannya. |        
Sinisme serupa muncul dalam dialog lainnya.  Ketika dua orang anak |
muda menelusuri jejak PDRI di Halaban dan Bidar Alam.  Mereka menyebut
dua | negeri itu dengan sebuah ungkapan tajam, |          "Negeri yang
dikalahkan oleh manipulasi sejarah!" |         Sinisme dan pencarian 
identitas yang bercampur aduk mempermainkan | emosi saya. Walaupun
gagasan besar  dari novel ini adalah sebuah identitas | sejarah
nusantara tetapi jelas kelihatan  ES Ito, pengarang novel ini, |
menjadikan Minangkabau sebagai mediumnya. Model  ideal dari sebuah |
masyarakat demokratis pada masa lalu. |         Membaca Negara Kelima 
seolah-olah melihat kembali kelahiran | identitas Minangkabau. Ada satu
semangat  besar yang dimiliki oleh ES Ito. | Suatu semangat yang tidak
lagi dimiliki oleh  novelis-novelis kontemporer. | ES Ito mengangankan
sebuah perubahan tanpa harus  menghilangkan akar | identitas. |        
Negara Kelima tampaknya  harus dibaca oleh siapa saja yang berada | pada
simpang jalan pencarian  identitas. Dan ES Ito, pengarang muda itu |
mewakili sebuah semangat muda yang  tengah bangkit kembali. Semoga kelak
ia | tidak menjadi bagian dari seniman yang  disebut Rendra sebagai
seniman salon | yang hanya bersenandung tentang anggur,  wanita dan
rembulan.
--- In [EMAIL PROTECTED], "hambociek" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Yah, tulisan yang baik untuk dikenang, tetapi keterangan tiga paragraf
> di bawah ini mungkin meragukan pembaca awam yang tidak banyak
mengamati
> penggal-penggal waktu sejarah. Kemungkinan orang akan keliru antara
> Perang Kamang 1908 dengan Perang Paderi/Pelakat Panjang yang
disinggung
> dan dirangkaikan sedikit dalam paragraf ke dua dan ketiga di bawah.
>
> Juga mengenai Tuangku Nan Tuo disebutan dari Cangkiang, datanya perlu
> diakurasikan. Tuangku Nan Tuo seorang Tokoh Guru/Ulama di masa
> menjelang Perang Hitam Putiah adalah dari Koto Tuo Ampek Angkek, bukan
> dari Cangkiang (juga di Ampek Angkek). Kuburan Tuanku Nan Tuo masih
ada
> di "Tampat" di belakang Koto Tabek Laweh di Koto Tuo yang saya sering
> saya kunjungi dan mampir kalau saya lalu ke sana.
>
> Salam,
>
> -- Sjamsir Sjarif
>
> > Lalu kenapa Kamang?
> > Mengutip catatan Ketua Bamus Nagari Kamang Ilia dan Sekretaris
Panitia
> > Peringatan Seabad Perang Kamang 1908, Muhammad Razi,SE., jelas bahwa
> Kamang
> > adalah nagari yang maju. Nagari ini terletak bujuran Bukit Barisan.
> Nagari
> > dengan Kelarasan Koto Piliang ini, dicerminkan sebagai sebuah nagari
> dengan
> > yang mobilitasnya cukup tinggi.
> >
> > Perang Kamang itu melibatkan semua tokoh tali tigo sapilin, Angku
> Lareh A
> > Wahid Kari Mudo dan M Saleh Dt Rajo Penghulu, H Abdul Manan. Di
Kamang
> > memang ada satu lareh yang berkedudukan di Jalan Basimpang Jorong
> Pintu
> > Koto. Masih menurut Muhammad Razi, nama Kamang mulai dicatat
menyusul
> > pemurnian agama di Minangkabau. Gerakan ini, katanya, dipimpin Tuaku
> Nan Tuo
> > dari Cangkiang, IV Angkek yang kemudian menjadi gerakan Pidari
setelah
> > Tuanku Nan Renceh mendapat kawan sepaham yakni Haji Miskin dan Haji
> Piobang.
> > Kamang, dicatat juga sebagai benteng yang kuat. Bahkan di sana aga
goa
> > Perang Pidari yang bebatuannya tempo hari banyak diambil orang.
> >
> > Pada 25 Oktober 1833 lahirlah ayang yang dikenal sebagai Plakat
> Panjang,
> > sebuah plakat yang menjerat Minangkabau kemudian hari. Masih sesuai
> catatan
> > Muhamamd Razi, pungutan pajak yang hendak diterapkan itu nyaris
> diamini oleh
> > laras-laras lainnya. Tapi Laras Kamang, Garang Dt Palindih
> menantangnya.
> > Dalam rapat para laras dengan Westenek 11 Maret 1908 di
> Bukittinggi,
> > sikapnya itu terlihat jelas.
>
> --- In [EMAIL PROTECTED], Lies Suryadi niadilova@ wrote:
> >
> > Takana carito basambuang di Haluan saisuak: HURU-HARA DI NGALAU
> KAMANG..
> >
> >
> >
> > ----- Pesan Asli ----
> > Dari: Nofend St. Mudo Marola nofend@
> > Kepada: RantauNet@googlegroups.com; [EMAIL PROTECTED]
> > Terkirim: Kamis, 12 Juni, 2008 13:07:33
> > Topik: [EMAIL PROTECTED] Seabad Perang Kamang
> >
> >
> > Rabu, 11 Juni 2008
> > Â Â Â
> > Catatan Khairul Jasmi di Singgalang OnLine
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke