dari jawapos.co.id
Wanita-Wanita Asisten Pribadi Para Anggota DPR (1) Diah Tinggal Serumah, Ira Absen Rapat Malam Mencuatnya kasus dugaan pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh anggota DPR Max Moein terhadap asisten pribadinya, Desi Fridianti, mengejutkan publik. Apa sebenarnya fungsi para Aspri -panggilan akrab asisten pribadi- para wakil rakyat itu? PRIYO HANDOKO, Jakarta DIAH Permata Saraswati tampak sibuk menjinjing tas berisi berkas-berkas di Gedung Nusantara, kompleks parlemen Senayan, Senin siang (7/7). Wanita yang menjadi Aspri seorang anggota wakil rakyat dari anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu baru saja menuntaskan tugas profesionalnya: menyiapkan bahan materi rapat sang bos. Pada pukul 14.00 hari itu, Komisi V DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanagara. Topiknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang segera dibahas DPR. Di kalangan para Aspri di Senayan, Diah tergolong istimewa. Dia memang diberi perhatian khusus oleh Endang Karman Sastraprawira, sang bos. Tidak hanya mendapatkan mobil dan belaian kasih sayang, Diah bahkan terang-terangan masih tinggal serumah dengan pria anggota Komisi V DPR itu. Tapi, jangan salah sangka dulu. Diah memang layak dekat sang bos. Sebab, dara kelahiran Bandung, 20 April, 25 tahun lalu itu memang putri kandung Endang Karman. ''Aku anak semata wayangnya lho,'' ujar Diah lantas tersenyum. Sejak kasus Max Moein mencuat, para wanita Aspri di Senayan menjadi sorotan. Mereka risi saat foto syur anggota DPR dari FPDIP yang setengah terbuka dan berduaan itu beredar di media massa. Mereka memang masih muda. Umurnya baru 20-an. Mereka bekerja satu ruang di bilik privat kantor wakil rakyat di lantai 1-21 Gedung Nusantara I, Senayan. Diah menjadi asisten pribadi Endang sejak awal 2005. Meski bekerja pada ayah sendiri, dia tetap diperlakukan secara profesional. Termasuk juga dimarahi kalau salah. Seperti minggu lalu, Diah lupa memberitahukan jadwal rapat Panja RUU Penerbangan. ''Aku dimarahi lumayan lama. Cuma, enaknya, saya sudah tahu sifat bapak. Tinggal bilang maaf, sorenya saya sudah bisa pulang bareng. Di rumah sudah damai lagi,'' kata alumnus Jurusan Sekretaris Sekolah Tinggi Tarakanita angkatan 2000 itu. Mengapa Endang memilih sang anak sebagai asisten pribadi? ''Mungkin bapak membutuhkan orang yang benar-benar bisa dipercaya,'' katanya enteng. Sebagai sesama asisten pribadi anggota DPR, Diah prihatin akan kasus Desi Fridianti. Apalagi Desi sampai mengadukan anggota FPDIP Max Moein ke Badan Kehormatan (BK) DPR atas tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dialaminya selama menjadi asisten pribadi Max Moein. Karena dianggap lebih bernuansa hukum, kasus itu kini dilimpahkan BK ke kepolisian. ''Banyak yang tanya ke saya soal kasus itu. Kata mereka, apa kejadian seperti itu umum dialami Aspri. Saya bilang, nggak semua kayak gitu,'' tutur Diah. Meski sama-sama menjadi asisten pribadi anggota DPR dari FPDIP, Diah yang masih lajang mengaku hanya sebatas kenal sosok Desi. ''Terlepas siapa yang benar, saya hanya bisa ikut prihatin,'' kata Diah yang tampil feminin dengan rok cokelatnya. Beda lagi kisah Tin Almira Ulima, asisten pribadi Wakil Ketua Komisi I dari FPDIP Sidharto Danusubroto sejak April 2007. Ira -panggilan akrab Tin Almira Ulima- mengaku mendampingi purnawirawan polisi berpangkat mayjen itu berkat rekomendasi dosennya di Universitas Parahyangan Bandung (Prof Wila Chandrawila Supriadi). Wila yang guru besar hukum bidang kriminalisasi praktik kedokteran itu masuk DPR sejak Januari 2007. Dia menggantikan Marissa Haque yang dicopot dari PDIP karena ngotot mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Banten dari jalur PKS. Di gedung DPR, ruang Sidharto berada di lantai tujuh, satu lantai dengan ruang Endang dan Wila. ''Sekitar Maret 2007, Pak Wila (Wila Chandrawila) bilang kalau temannya di DPR membutuhkan fresh graduate untuk bantu-bantu di parlemen,'' ujar Ira. Sejak menjadi mahasiswi angkatan 2002, Ira sudah dekat dengan Wila selaku dosen walinya di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan. ''Pak Wila meminta saya datang ke Jakarta untuk interview dengan Pak Sidharto,'' kenangnya. Dalam wawancara itu, beberapa pertanyaan ternyata dilayangkan Sidharto dalam bahasa Inggris. Untungnya, Ira siap. ''Mungkin karena bapak bertugas di komisi I yang membidangi urusan luar negeri sehingga dia memerlukan asisten yang fluent in writing and speaking in English (mampu menulis dan berbicara dalam bahasa Inggris),'' katanya. Menceburkan diri di lingkungan kelompok nasionalis bukan suatu hal yang asing bagi Ira. Sebab, keluarganya, terutama kakek dan neneknya, ternyata adalah Soekarnois tulen. ''Makanya, waktu laporan sama ortu kalau dapat tawaran jadi Aspri orang PDIP langsung dapat izin,'' ujar gadis kelahiran Bandung 22 Juli 1983 itu. Belakangan dia juga aktif di Taruna Merah Putih, salah satu onderbouw PDIP yang membidik segmen pemuda. Apalagi, sambung Ira, bapaknya yang bernama Muhammad Yusuf Bangun ternyata sudah mengenal Sidharto. ''Sama-sama hobi golf,'' tandasnya. Lantas, apa saja tugas Ira selaku Aspri? ''Job description-nya lebih banyak bersifat administratif,'' jelasnya. Mulai mengatur surat masuk dan keluar, mengelola jadwal kegiatan, sampai beberapa kali dilibatkan dalam pengumpulan bahan untuk penyusunan makalah. ''Kadang-kadang bapak juga menyuruh aku membayarkan pajak bulanannya,'' tuturnya. Bukan hanya itu. Ketika masa reses, Ira sering ikut mendampingi Sidharto yang turun menyerap aspirasi ke daerah pemilihannya di Jawa Barat. ''Tapi, biasanya PP-aja, pagi berangkat, sore sudah pulang. Kayak reses yang lalu itu, aku ikut ke Cirebon naik kereta,'' katanya. Sehari-hari, Senin-Jumat, Ira ngantor di DPR pada pukul 09.00-17.00 WIB. Lucunya, bila ada rapat komisi I yang berlangsung pada malam hari, Ira selalu dilarang untuk terus mendampingi. ''Jadi, cuma menyiapkan bahan. Begitu rapat dimulai, aku langsung disuruh pulang. 'Ngapain di sini sampai malam-malam?' Begitu bilang bapak,'' kata Ira, menirukan ucapan san bos. Ira mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Menurut dia, gara-gara menjadi Aspri, dia berkesempatan bertemu langsung dan mengenal para wakil rakyat, menteri, dan Dubes negara-negara sahabat. ''Cuma kalau lagi nggak ada rapat, ya bengong juga,'' ujarnya. Menanggapi isu miring mengenai para Aspri perempuan, Ira mengatakan dirinya pernah mendengar cerita-cerita seperti itu sebelumnya. Jauh sebelum mencuatnya kasus Desi-Max Moein. ''Ada sih satu-dua. Tapi, aku kira, semua kembali lagi ke hukum supply and demand. Kadang, datangnya dari penawaran, kadang permintaannya yang muncul duluan,'' ujarnya. Komentar senada disampaikan Bayu Wikan, asisten pribadi Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) Priyo Budi Santoso. Sudah sejak DPR periode 1999-2004, dia ikut Priyo. ''Dari dulu, cerita-cerita kayak gitu (terjadinya hubungan yang tidak sehat anggota DPR dengan Asprinya, Red) memang selalu ada,'' kata alumnus Sekolah Tinggi Tarakanita jurusan sekretaris angkatan 1998 itu. Menurut Wikan, semua kembali kepada masing-masing individu, baik si anggota DPR maupun Asprinya. Dia sendiri merasa bisa terus bertahan dan dipercaya menjadi Aspri karena mampu menjaga diri dari pola hubungan yang tidak sehat itu. ''Dengan ruang kerja yang cenderung tertutup begini, Aspri tentu harus tahu diri dengan tidak datang ke kantor pakai baju yang serbamini dan dandan kayak mau dugem,'' kata Wikan yang menikah pada Desember 2006 itu. (el) Wanita-Wanita Asisten Pribadi Wakil Rakyat di Senayan (2-Habis) Yang Paling Berat Hadapi Skrining Istri Bos Meski gaji Aspri dibayar dengan uang negara, para wakil rakyat tetap harus memperoleh izin istri sebelum merekrut Aspri perempuan. Beberapa berhasil, tapi ada juga yang tidak mendapatkan restu dari ''ibunya" anak-anak. PRIYO HANDOKO, Jakarta KINANTI Astrya keluar dari pintu lift di lantai 13 Gedung Nusantara I, kompleks DPR, Senayan, Selasa lalu (8/7). Wajahnya yang dipoles make-up tipis tampak cerah. Menenteng tas warna gelap dengan tangan kiri, tangan kanannya tampak aktif menjawab panggilan telepon pada ponsel pribadinya. ''Baik Pak, saya lihat dulu jadwalnya. Nanti siang saya telepon balik,'' kata Astry -panggilan akrab Kinanti- kepada lawan bicaranya. Sambil berbicara di ponsel itu, Astry berjalan ke tempat kerja sang bos sekaligus dirinya di ruang nomor 20 lantai 13 itu. ''Waduh, maaf Mas. Mendadak aku diminta bapak ikut menemui seorang koleganya,'' ujar Astry kepada Jawa Pos yang pagi itu memang sudah janjian bertemu dengannya. Meski usianya baru 22 tahun dan kuliahnya -studi ekonomi manajemen Universitas Moetopo- baru memasuki semester ketujuh, Astry mendapat kepercayaan besar. Dia berkesempatan menjadi asisten pribadi (Aspri) Yuddy Chrisnandy, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), yang namanya sedang naik daun. Profesi itu dilakoninya sejak Juni 2007. Sebelum menjadi Aspri, Astry bekerja sebagai resepsionis di Restoran Bebek Bali di kawasan Senayan. Di kalangan wartawan dan para wakil rakyat, restoran dengan menu spesial bebek bakar dan bebek goreng itu cukup populer. Sebab, tempat itu sering digunakan untuk konfrensi pers para anggota DPR. ''Suatu saat, Pak Yuddy ngomong langsung ke aku, kalau dia buka lowongan Aspri. Soalnya, Asprinya yang lama baru saja menikah dan memutuskan berhenti,'' ujar gadis bertubuh mungil kelahiran Jakarta itu. Tanpa banyak pikir, Astry memutuskan untuk menjajal kesempatan itu. Biodata lengkap langsung dikirimnya via e-mail. ''Seminggu kemudian, aku dapat panggilan wawancara,'' katanya. Ketika hasil penilaian menunjukkan dia mendapat score tertinggi di antara puluhan pelamar lain, Astry tak otomatis lulus. Dia harus menjalani skrining terakhir. Kali ini langsung dari Velly Elvira, istri Yuddy Chrisnandy. ''Aku dipertemukan di rumahnya. Awalnya sih deg-degan. Tapi, Bu Era (panggilan akrab Velly Elvira, Red) ternyata merespons aku dengan sangat baik,'' kenang Astry. Belakangan, Astry baru mengerti bahwa ''sang bos'' memang harus mendapatkan izin istri dalam merekrut Aspri perempuan. ''Mungkin, biar tidak terjadi salah paham,'' katanya lantas tersenyum. Tidak repot mengatur jadwal kerja dengan kuliah? ''Nggak. Kebetulan aku ambil kuliah malam dan sudah ada komitmen dengan Pak Yuddy kalau di atas jam enam malam, aku lepas dari tugas Aspri,'' jawab Astry yang pergi ke mana-mana dengan mengendarai sendiri Honda City miliknya. Soal mobil itu, dia mengaku sudah dimiliki jauh sebelum menjadi Aspri. ''Makanya, kalau ada rapat malam di DPR, aku jarang ikut. Kecuali benar-benar lagi nggak ada jadwal kuliah,'' ujarnya. Astry mengakui, sesekali dia ikut mendampingi Yuddy beraktivitas di luar gedung DPR. Misalnya, ketika ada acara makan siang dengan para kolega, Astry bertugas mencatat materi pembicaraan. ''Aku juga menemani bapak kalau ada konpres (konferensi pers) atau pas syuting di TVRI sebagai juri lomba band. Selain itu, nggak pernah,'' kata Astry yang mengaku hubungan dengan sang bos semata-mata profesional. Menanggapi opini miring mengenai para Aspri, Astry menyatakan tidak terpengaruh. ''Tergantung individunya. Kalau niatnya benar-benar kerja, pasti nggak akan ada apa-apa. Lain lagi kalau dari awal niatnya sudah nggak benar,'' tuturnya. Tidak semua anggota DPR bisa seberuntung Yuddy merekrut Aspri perempuan. Sekretaris Fraksi PDIP Ganjar Pranowo, misalnya, mengakui tidak mendapatkan restu dari istri untuk merekrut Aspri perempuan. ''Jangan perempuan, bagaimanapun bisa menggoda (iman),'' kata mantan ketua Pansus RUU Parpol itu menirukan wanti-wanti istrinya. Menurut Ganjar, motivasi seseorang menjadi Aspri beraneka ragam. ''Kalau yang perempuan, dari cara berpakaian dan berdandan saja sudah kelihatan kok, ini Aspri beneran atau tidak,'' tuturnya. Karena itu, semua kembali kepada ''daya tahan mental'' masing-masing anggota DPR sendiri. Dia sendiri mengakui pernah ditawari Aspri ''plus-plus'' itu. ''Ada cewek melamar jadi Aspri. Belakangan lewat teman cowoknya, saya dikasih tahu bahwa Aspri ini bisa sekalian dipakai. Terang saja, saya tolak,'' katanya. Ganjar menambahkan, terkuaknya kasus dugaan pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh anggota DPR Max Moein terhadap asisten pribadinya, Desi Fridianti, harus menjadi bahan evaluasi. Dia mengusulkan agar desain ruang kantor para anggota DPR yang sangat tertutup ditata ulang. ''Dinding setengah ke atas dari kaca. Biar kelihatan anggotanya lagi ngapain,'' ujarnya. Tidak semua anggota DPR suka merekrut Aspri perempuan. Bukan semata menjaga perasaan istri, tapi lebih pada pilihan. Untung Wahono dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), misalnya, memilih Aspri laki-laki. Apa alasannya? ''Saya tidak biasa berhubungan intensif dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Makanya, saya cari yang laki-laki. Biar komunikasinya lebih bebas,'' kata Untung ketika ditemui di ruangnya di lantai IV Gedung Nusantara I. Meski tidak ada larangan tegas dari fraksi atau DPP partai, hampir semua anggota FPKS tidak merekrut Aspri lawan jenis. Kebanyakan anggota legislatif FPKS laki-laki. Asprinya juga laki-laki. Sebaliknya, Aspri perempuan bekerja kepada anggota dewan yang juga perempuan. ''Hanya dua anggota kami yang laki-laki punya Aspri perempuan,'' ungkap Untung. Keduanya adalah Jazuli Juwaini yang merekrut perempuan kerabatnya sendiri dan Zulkiflimansyah yang memiliki empat Aspri. ''Ada dua perempuan dan dua laki-laki. Jadi, tetap terkontrol dan selalu terhindar dari berdua-duaan,'' ujar anggota komisi II itu, lantas tersenyum. Bagi Untung, tugas seorang Aspri tidak melulu menangani pekerjaan administratif, tapi teman bertukar pikiran. Karena itu, dia mengaku sangat selektif dalam memilih Aspri. ''Posisi kami bukan hubungan buruh majikan. Tapi, persaudaraan keanggotaan,'' jelasnya. Para Aspri anggota DPR dari FPKS rata-rata memang kader-kader PKS sendiri. Tak terkecuali, Joko Sarwono, Aspri Untung Wahono. Di internal PKS, Joko terhitung orang penting juga. Alumnus IPB angkatan 1989 itu adalah anggota Majelis Pertimbangan Partai DPD PKS Kota Bogor. Joko sudah menjadi Aspri sejak DPR periode 1999-2004. Ketika itu, PKS masih bernama Partai Keadilan (PK). Di parlemen, PK bergabung dengan PAN membentuk satu fraksi bernama Fraksi Reformasi. ''Di DPR periode lalu, saya jadi Aspri-nya Pak Mashadi,'' ujar pria kelahiran Bogor 17 Maret 1970 itu. Menjadi Aspri Untung Wahono dilakoninya sejak 2004. ''Kebetulan, dapil (daerah pemilihan)-nya Pak Untung di Bogor dan saya sendiri dari Bogor. Kebiasaan para anggota di FPKS dalam memilih Aspri memang disesuaikan dengan dapil masing-masing,'' tutur Joko. Kebiasaan itu bukan tanpa pertimbangan mendalam. Menurut Joko, dirinya juga diserahi tanggung jawab ikut memelihara hubungan Untung Wahono dengan basis konstituennya. Termasuk jajaran stuktur PKS di Jawa Barat, khususnya Bogor. ''Malah saya yang mengelola teknis alokasi dana bulanan Pak Untung buat konstituen,'' akunya. Tak hanya Ganjar Pranowo dan Untung Wahono, anggota FPAN Didik J. Rachbini juga merekrut Aspri laki-laki. Ketika disambangi di ruangnya, lantai 20 Nusantara I, Didik yang terpilih dari Dapil Jatim V kebetulan belum datang. Tapi, Asprinya yang bernama Achmad Syahid sudah stand by. ''Aku barusan menyiapkan bahan rapat Pak Didik nanti siang,'' kata Syahid dengan ramah. Bahkan, Syahid tidak keberatan ketika ditanyai besaran gaji para Aspri. Dengan sukarela, dia membiarkan Jawa Pos ''mengintip'' beberapa slip gaji bulanannya. Paling tidak, pada Mei 2006, Syahid menerima Rp 3.375.000. Setelah dipotong PPh Rp 506.250, uang yang sampai ke tangan Aspri adalah Rp 2.868.750. ''Sejak awal 2006, memang ada kenaikan,'' ujar alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya angkatan 1997 itu. Sebelumnya, nominal gaji para Aspri hanya Rp 2.250.000. Setelah dipotong PPh sebesar Rp 337.500, take-home pay yang diterima Rp 1.912.500. ''Inilah gaji yang kami terima dari negara,'' kata Syahid. Setiap anggota DPR memang diberi fasilitas berupa anggaran dari negara untuk merekrut seorang Aspri dan seorang tenaga ahli. Bila Aspri cenderung mengurusi pekerjaan administratif, tenaga ahli bekerja lebih di tataran konsep. Meski begitu, dalam praktiknya, tidak sedikit Aspri yang juga mampu memainkan peran layaknya tenaga ahli. Lantas, bagaimana anggota dewan yang punya Aspri lebih dari satu? ''Kalau perlu tambahan Aspri lagi, berarti tanggung jawab penggajiannya menjadi urusan kocek masing-masing anggota. Yang jelas, negara hanya membayar satu Aspri per anggota,'' jelas Syahid. Menyangkut gaji Aspri, kata Syahid, sejak Mei 2008, potongan PPh diturunkan menjadi Rp 123.350 sehingga take home pay Aspri menjadi Rp 3.251.650. ''Forkasta (Forum Komunikasi Asisten Anggota) yang memperjuangkan agar pemotongan gaji kami bisa dikurangi,'' kata pria kelahiran Lamongan 17 Juli 1978 itu. Meski kecil, kenaikan "pendapatan" itu cukup berarti untuk menopang hidup di Jakarta yang relatif mahal. Khususnya bagi Aspri perempuan, kalau kesejahteraan naik, mereka tidak gampang digoda jika ada bos yang nakal (el) --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---