SEJARAH.........
 

  <http://padangkini.com/foto/tokoh/Tokoh-Mestika%20Zed.jpg> 

Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/PadangKini.com

Upaya 'meluruskan' peran penting Sumatera, khususnya Sumatera Barat, dalam
sejarah Indonesia adalah salah satu usaha Metika Zed. Usaha lainnya adalah
selalu mengingatkan bangsa ini terhadap sejarah yang selalu mudah dilupakan,
dan ikut memberantas korupsi.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI), dan sejarah Giyugun Sumatera, merupakan tiga
peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang berpusat di Bukittinggi dan
Padang (Sumatera Barat) yang diabaikan dan bahkan mendapat tempat tak
terhormat dalam sejarah Indonesia.

Ketiga peristiwa ini, menurut Mestika, adalah bentuk nyata pengabaian
Jakarta terhadap peran historis daerah.

Melalui penelitian yang kemudian dibukukan, Somewhere in the Jungle, Sejarah
PDRI, Sebuah Matarantai Sejarah yang Terlupakan (Grafiti Press: 1997),
doktor sejarah lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam pada 1991 ini
menyimpulkan; negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI.

PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara selama
delapan bulan hingga 13 Juli 1949 yang berpusat di Bukittinggi. Ia mendapat
mandat langsung dari Soekarno-Hatta setelah Republik Indonesia jatuh ke
tangan Belanda dalam Angresi II dan menjalankan PDRI dengan bergerilya di
hutan Sumatera.

"PDRI adalah bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara ini dari
ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah
tugasnya selesai, tetapi kemudian matarantai sejarah ini dilupakan," kata
Mestika yang mendapat penghargaan dari IKAPI Jakarta sebagai penulis buku
terbaik nasional untuk bidang ilmu-ilmu sosial atas bukunya ini pada 1999.

Hal yang sama, menurut Mestika, juga terjadi dalam sejarah Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Melalui bukunya, Giyugun, Cikal-bakal Tentara Nasional di
Sumatera (LP3ES: 2005), Mestika memaparkan bahwa tak hanya Giyugun Jawa atau
Tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang menjadi cikal-bakal TNI. Tetapi juga
Gyugun Sumatera yang berpusat di Bukittinggi yang merupakan cikap-bakal TNI
di Sumatera.

Namun peran penting Giyugun Sumatera ini menghilang dalam berbagai
peristiwa. Selain karena berbagai pembonsaian pasukan dengan melebur ke
dalam TNI di Jawa, juga karena peristiwa ketidakpuasan para perwiranya
kepada Jakarta yang berpuncak pada peristiwa PRRI.

Salah Tafsir PRRI

PRRI adalah peristiwa yang menurut Mestika disalahtafsirkan oleh Jakarta
atau sejarah. Hingga kini dalam sejarah Indonesia peristiwa PRRI yang
berpusat di Padang pada 1958 disamakan dengan gerakan separatisme yang marak
pada 1950 dan 1960-an atau sama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Padahal sebenarnya beda, PRRI bukanlah gerakan kudeta, tetapi upaya untuk
menurunkan rezim, di ruangan pemimpinnya masih terpasang foto Soekarno, dan
sama seperti gerakan reformasi, jika direlevansikan sekarang, PRRI adalah
embrio dari ide-ide reformasi, tetapi gerakan itu ditangani oleh Jakarta
dengan operasi militer," katanya. 

Mestika saat ini sedang menyiapkan penulisan sejarah tentang peristiwa PRRI
yang lebih lengkap dari buku yang ada sekarang.

Terkait dengan usahanya meneliti dan menuliskan ketiga peristiwa tersebut,
Mestika sebenarnya keberatan disebut sebagai upaya meluruskan sejarah.
Meskipun ia akui, salah satu penyebab kesalahtafsiran itu akibat Jawasentris
dalam penulisan sejarah Indonesia, karena minimnya sejarawan di luar Jawa
pada masa lalu.

"Sejarah tidak kuasa diluruskan oleh siapapun, saya melakukan penulisan
sejarah bangsa ini untuk menjadi rujukan yang lebih jernih, objektif, dan
bukan ditarik kiri-kanan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, tapi untuk
kepentingan bangsa secara keseluruhan," kata mantan  Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat ini.

 

Mengganyang Koruptor 

Mestika Zed tak hanya seorang intelektual 'yang berumah di atas angin',
tetapi juga terlibat dalam kegiatan praktis mengubah keadaan. Ia menjadi
motor penggerak bersama Saldi Isra dan kawan-kawan melaporkan kasus korupsi
anggota DPRD Sumatera Barat pada 2002, hingga 33 anggota (kini mantan) dewan
tersebut divonis bersalah mengkorupsi uang APBD Rp5,9 miliar.

Mestika Zed menjadi koordinator pertama Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB),
lembaga yang didirikan sejumlah aktivis NGO dan akademisi di Padang yang
melaporkan kasus korupsi itu dan sejumlah kasus korupsi lainnya di Sumatera
Barat.

"Terlibat di FPSB adalah bagian dari ketidaksabaran saya untuk ikut mengubah
keadaan bangsa ini ke arah yang lebih baik, saya juga tidak ingin menjadi
intelektual yang bersarang di awang-awang," katanya.

Namun berbicara mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, Mestika mengaku
sangat kecewa, termasuk kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Pemberantasan korupsi tidak sesuai yang diharapkan, aparat hukum belum
commited dengan pemberantasan korupsi, saya bisa menyimpulkan perangai
birokrasi masih belum berubah dari zaman Orde Baru, bukti nyata dalam
penanganan eksekusi 33 mantan DPRD Sumatera Barat yang sudah divonis
bersalah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, tapi tak kunjung dihukum,"
ujarnya.

'Cetak Biru' Perilaku Kolonial

Dari pandangan sejarawan, Mestika sangat mengkhawatirkan arah perjalanan
bangsa ini. Ia menilai, orang-orang di pemerintahan maupun elit politik
cenderung terjebak mengulangi 'cetak biru' perilaku kolonial.

"Cara menangani beberapa kasus seperti Abepura, Poso, kenaikan Tarif Dasar
Listrik, kenaikan Bahan Bakar Minyak, dan sebagainya disalin persis dari
cara zaman Orde Baru yang juga tak beda dari Zaman Kolonial, pemerintah
sibuk mencari kambing hitam tanpa menyelesaikannya berdasarkan persoalan di
akar rumput, mendengar hati nurani rakyat, dan detak jantung mereka,"
katanya. 

Menurut Mestika, mestinya saat ini para pengambil keputusan belajar banyak
dan berkaca kepada sejarah masa lalu, agar tidak terjerumus kepada persoalan
yang sama yang pernah dialami sebelumnya. Mereka harus mengedepankan
kepekaan historis dalam mengambil keputusan. 

Mestika Zed lahir di Batuhampar, Payakumbuh, 19 September 1955. Setelah
meraih sarjana strata satu di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta pada 1980, ia melanjutkan ke Vrije Universiteit, Amsterdam dan
meraih gelar MA pada 1983. Lalu mengikuti program penyetaraan S2 di Jurusan
Sejarah Universitas Indonesia pada 1984. Ia kemudian mendapatkan gelar Ph. D
dalam bidang sejarah di Vrije Universiteit pada 1991. 

Selain staf pengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri
Padang, ia juga Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi (PKSBE) di
kampungnya.**


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

<<inline: Tokoh-Mestika Zed.jpg>>

Kirim email ke