Assalamualaikum w.w. para sanak sapalanta,
Jika tidak ada aral melintang, difasilitasi oleh Bung Harry Ichlas – salah 
seorang keturunan Tuanku Imam Bonjol – pada tanggal 22 sampai dengan 24 Agustus 
yang akan datang, sepuluh atau sebelas orang peminat dan pakar sejarah akan 
mengunjungi eks benteng Paderi terkuat di Bukik Tajadi, dekat Bonjol. Enam 
orang dari Jakarta, empat atau lima orang dari Padang.
Enam orang dari Jakarta itu adalah: 1)    Bu Warni Darwis, Wakil Sekjen Gebu 
Minang; 2) Datuk Endang, tokoh adat dan pemerhati sejarah Minangkabau; 3) 
Kolonel Pur Dr. Saleh D. Djamhari, pakar sejarah militer dengan disertasi 
tentang Perang Diponegoro 1825-1830; dengan fokus pada perang perbentengan; 4) 
Drs Amrin Imran, pakar sejarah militer; dan 5)+6) saya dengan ‘orang rumah’ 
sebagai peminat sejarah.
Empat atau lima orang dari Padang adalah: 1)  Drs. Sjafnir Abu Nain, pakar dan 
penulis buku tentang Perang Paderi dan Tuanku Imam Bonjol; 2)   Fuad; manajer 
produksi TVRI Padang; 3). 4) seorang atau dua orang wartawan media cetak; 5)   
seorang anggota Ikatan Arsitek Sumatera Barat, yang sedang dihubungi oleh Sdr 
Ir. Asfarinal aliah Nanang.
Sebagai salah seorang pemrakarsa kunjungan ini, secara pribadi saya memang 
sangat tertarik untuk mengunjungi lokasi ini, yang beberapa waktu yang lalu 
sudah pernah dikunjungi oleh Bp Ir E. Yamin Dt Tan Maliputi dan Ibu Ir Sulfa E. 
Yamin dari Gebu Minang. Ketertarikan saya itu disebabkan oleh karena dari segi 
militer Benteng Paderi di Bukik Tadjadi itu sedemilian tangguhnya sehingga 
tidak mudah ditaklukkan oleh balatentara Hindia Belanda, dan merupakan tempat 
pertempuran habis-habisan, yang mendekati heroisme benteng Massada di Timur 
Tengah atau benteng Alamo di Amerika Serikat, sehingga dapat menjadi suatu 
perlambang kekuatan tekad dan semangat.
Gerakan Paderi jelas merupakan bagian menyeluruh dari sejarah suku bangsa 
Minangkabau. Dalam lokakarya Perang Paderi 1803-1838 yang diselenggarakan di 
gedung Arsip Nasional bulan Januari 2008 dahulu, telah diketahui bahwa ada tiga 
babak Gerakan Paderi ini, yaitu 1) babak pemurnian adat Minangkabau secara 
damai dari sisa-sisa perilaku jahiliah,dari 1803-1821; 2) babak Perang Paderi, 
1821-1833, sewaktu upaya pemurnian yang damai itu berubah menjadi radikal dan 
penuh kekerasan, yang memakan korban jiwa dan harta benda yang besar di 
kalangan penduduk, yang banyak sedikitnya menyebabkan kaum adat meminta campur 
tangan ‘Kumpeni’; dan 3) Perang Minangkabau, 1833-1838 yang merupakan gerakan 
perlawanan bersenjata seluruh Minangkabau melawan balatentara Hindia Belanda. 
Seperti kita ketahui, masih banyak bagian dari sejarah Minangkabau ini yang 
masih gelap bagi kita. Sebabnya sederhana, bukan hanya karena kita [mungkin] 
tidak mempunyai aksara atau huruf sendiri sebelum masuknya Islam dalam abad ke 
16, tetapi juga karena mencatat peristiwa sejarah bukanlah termasuk kebiasaan 
kita orang Minangkabau. Dari keadaan inilah timbulnya polemik berkepanjangan, 
yang sesungguhnya tidak perlu, mengenai Tuanku Rao, salah seorang panglima 
Paderi yang berasal dari Tanah Batak. Keadaan tersebut jelas bukanlah keadaan 
yang mengembirakan, khususnya nagi generasi muda Minangkabau yang ingin 
menelusuri secara jernih akar budaya dan akar sejarah suku bangsanya.
Demikianlah, didorong oleh rasa ingin tahu dan rasa gemas terhadap demikian 
banyak wilayah ‘abu-abu’ dalam sejarah dan budaya Minang ini, sejak tahun 2004 
sampai sekarang secara berkesinambungan saya berupaya mendorong  upaya 
menjernihkan sejarah dan sistem nilai budaya Minangkabau ini. Dalam keluruhan 
upaya ini, saya merasa sangat terbantu dengan posisi resmi saya  dahulu sebagai 
komisioner hak masyarakat hukum adat dari Komnas HAM, sehingga seluruhnya itu 
bisa saya letakkan dalam konteks kenegaraan dan konteks hak asasi manusia.
Dari rangkaian pengkajian yang saya lakukan -- bersama-sama rekan-rekan saya 
yang lain -- mengenai Minangkabau, saya merasa bahwa secara menyeluruh Gerakan 
Paderi yang berlangsung antara 1803-1838 telah memberikan capnya yang khas, 
baik  terhadap sejarah dan budaya Minangkabau secara umum, dan terhadap sifat 
dan karakter orang Minangkabau secara perseorangan. Ditengarai bahwa Gerakan 
Paderi inilah yang akhirnya melahirkan doktrin Adat Basandi Syarak, Syarak 
Basandi Kitabullah, yang sekarang disingkat sebagai ABS SBK, yang sekarang 
sedang diupayakan merumuskan artiannya yang baku oleh sebuah tim perumus yang 
dibentuk oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat..
Tetapi dimanakah kita bisa melihat dan mengunjungi secara lahiriah suatu situs 
sejarah Gerakan Paderi, yang bisa memberikan suatu pesan spiritual dan semangat 
juang yang tangguh kepada para pengunjungnya, khususnya kepada kaum muda 
Minangkabau? Rasanya sama sekali belum ada. Memang di Bukit Pato atau di Bukit 
Marapalam dekat Batu Sangkar ada tiga buah patung yang melambangkan perundingan 
antara tiga tolok adat, alim ulama, dan cadiak pandai, namun saya tak merasakan 
adanya suatu spirit ABS SBK di lokasi itu.
Terbetik dalam fikiran saya, mungkin sekali – setelah direhabilitasi dan 
dibangun dengan anggun -- Benteng Paderi di Bukik Tajadi ini akan memberikan 
pesan spiritual dan semangat juang yang kita perlukan itu. Itulah yang 
mendorong saya untuk mengajak beberapa tokoh tersebut di atas untuk 
bersama-sama mengujungi situs yang demikian bersejarah, yang didukung secara 
spontan oleh Bung Harry Ichlas.
Saya belum ada gambaran persis mengenai bagaimana wujudnya situs itu setelah 
direhabilitasi nanti. Saya juga belum ada gambaran dari mana biayanya akan 
diambil. Tapi saya yakin bahwa baik masyarakat Minangkabau di Ranah dan di 
Rantau, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, dan Pemerintah Pusat Republik 
Indonesia tidak akan berfikir dua kali untuk menyediakan biaya yang cukup untuk 
merehabilitasinya. Sedangkan benteng-benteng peninggalan kaum penjajah seperti 
Fort Marlborough di Bengkulu dan  Fort Vredeburg  di Yogyakarta saja disediakan 
anggaran oleh Pemerintah Ri., mustahil rehabilitasi benteng alam pejuangan 
bangsa kita sendiri di Bukik Tajadi akan diabaikan. Saya percaya bahwa biayanya 
tidak akan terlalu besar, oleh karena Benteng Paderi Bukik Tajadi pada dasarnya 
adalah benteng alam di atas bukit, yang ditanami dengan bambu berduri. 
Dalam alam khayal saya, saya membayangkan Benteng Bukik Tajadi yang sudah 
direhabilitasi  itu akan merupakan suatu kompleks situs sejarah yang dirancang 
dengan baik, bukan hanya untuk menggambarkan bagaimana suasana perjuangan 
seluruh suku bangsa Minangkabau melawan penjajahan Belanda, tetapi juga 
menyediakan fasilitas yang memadai untuk kunjungan kaum muda. 
Disediakan ruang parkir yang cukup luas dan ditata dengan baik. Adanya guides 
muda dengan pakaian zaman Paderi, yang benar-benar menguasai sejarah Gerakan 
Paderi secara menyeluruh, adanya museum persenjataan yang memuat replika 
senjata-senjata Paderi, termasuk meriam 25 pounder yang termasuk meriam kaliber 
besar pada saat itu;  perpustakaan yang lengkap mengani gerakan Paderi; 
mesjid;  souvenir shops yang menyediakan replika pakaian prajurit Paderi, 
bendera-bendera Paderi, senjata-senjata Paderi,   
Bagi mereka yang ingin mengabadikan kenangannya, disediakan seperangkat pakaian 
pejuang Paderi, lengkap dengan replika senjata zaman itu. 
Akan baik sekali juga didirikan surau atau pesantren tempat anak-anak muda 
digembleng pelajaran agama, basilek, oleh raga bela diri, atau olah raga 
berkuda.
Lebih dari itu, sesekali diadakan tontonan perang-perangan antara 
pejuang-pejuang Paderi melawan serdadu Belanda, sesuai dengan skenario aslinya. 
Seperti kita ketahui cukup banyak perwira Belanda yang tewas dalam pertempuran 
basosoh di benteng ini. Tontonan perang-perangan seperti ini lazim dilakukan 
oleh orang Amerika Serikat, untuk mengenang perjuangan kemerdekaannya.
Last but not least, dapat saya sampaikan bahwa pada tahun 1968 Panglima Kodam 
III/17 Agustus Mayor Jenderal TI Widodo telah memerintahkan Komandan Korem 032 
Wirabraja Kolonel Naszir Asmara untuk menyelenggarakan Sendratari Tuanku Imam 
Bonjol sebagai sarana ‘pembinaan tradisi corps’ (bintracor). Tugas tersebut 
telah diselenggarakan oleh budayawan Ali Akbar Navis, Makmur Hendiri, para 
pelajar SMA di Bukit Tinggi serta anggota-anggota Batalyon 132 di Bukit 
Tinggi.Saya percaya bahwa kita dapat menjadikan sendratari tersebut sebagai 
bagian dari khazanah budaya Minangkabau, seperti Sendratari Ramayana di 
Yogyakarta. Insya Allah.


Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, 71 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED]



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke