Sufisme dan Modernitas

Oleh Azyumardi Azra

Republika, 2008-07-30 10:33:00

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/28/news_id/376

Apakah relevansi sufisme dengan modernitas? Mungkinkah sufisme bisa
bertahan di tengah sikap kritis kalangan Muslim sendiri terhadap
sufisme? Apakah sufisme dapat bertahan di tengah deru modernitas yang
bertumpu pada rasionalitas dan efisiensi serta siap menggilas segala
sesuatu dalam kehidupan yang tidak cocok dengan paradigma modernitas ini?

Bagi sementara kalangan Muslim, sufisme atau tasawuf tidak relevan
dengan kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi
kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai
lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai
'tertuduh', bukanlah sesuatu yang baru.

Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum
Muhadditsin dan Fuqaha' memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunah
Nabi, eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Oposisi
ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan
syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan
reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah
satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir,
aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai
kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik
yang mereka pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan
taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.

Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi
tidak selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan
kaum Muslimin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga
memunculkan kesulitan baru: mulai dari meningkatnya gaya hidup
materialistik dan hedonistik sampai disorientasi dan dislokasi sosial,
politik, dan budaya.

Karena itu, membaca buku Sufism and the 'Modern' in Islam yang
disunting Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB
Tauris, 2006), sangat membantu untuk lebih memahami berbagai gejala
sufisme dalam kaitan dengan modernitas di kalangan kaum Muslimin di
masa kontemporer. Buku yang berasal dari makalah-makalah pada
konferensi internasional yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Bogor pada
awal September 2003 merupakan sumbangan penting ke arah pemahaman
lebih baik tentang sufisme dewasa ini tidak hanya di Indonesia, tetapi
juga di berbagai wilayah masyarakat Muslim lain.

Satu hal sudah pasti, yaitu terjadinya kebangkitan sufisme pada masa
pascamodernitas dan globalisasi ini. Ini bertentangan dengan anggapan
yang memprediksikan sufisme tidak dapat bertahan dalam modernisasi dan
globalisasi. Tetapi, seperti diingatkan van Bruinessen dan Howell,
kebangkitan sufisme tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya sebagai
bentuk respons kaum sufi terhadap modernitas dan globalisasi.

Hemat saya, kebangkitan sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor
keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara
keagamaan, sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen kepada
Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'.
Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah Muslim saat
terjadi perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan
bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.

Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya
mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan
tetapi, juga mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas
yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk
spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu sesuai dengan
paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.

Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia
Muslim lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional,
baik tarekat maupun tasawuf yang diamalkan secara personal-individual.
Tetapi, muncul pula bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut
'new age movement', gerakan [spiritualitas keagamaan] zaman baru.

Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan
secara pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara
massal dan terbuka dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat
pengamalan sufisme konvensional lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak
hanya bertahan, tetapi juga menemukan momentumnya, tidak hanya di
kelas menengah, sekaligus juga pada massa akar rumput.
(Azyumardi Azra)



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke