Assalammualaikum Wr Wb sanak Suryadi di balando

Begitu pun di UI.(94-98). Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen 
tentu
sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di
  UI , ia menerima Rp
70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia
mendapat honor Rp 35.000 sebulan.

Sanak Suryadi, uni kiro uni tamasuak mahasiswa nan mularaik wakatu sekolah atau 
kuliah ... astaghfirullah ... Kayo uni kiro no.

Tahun 1996, sewa kamar ukuran 2 x 3 m2 di jalan kober no 1 Rp. 100.00,-sabulan.
uni lupo harago sakali makan, nan jaleh untuak sarapan pagi uni balanjo di 
warteg dakek rumah atau sabalun stasiun, sapiriang nasi pakai talua matosapi 
dan sayur. sakali-sakali makan bubua ayam. Makan siang  jo nasi goreng atau 
soto nasi di Balsem. Makan malam di hari kuliah di sadiokan. Cuman parangai 
kami anak-anak kos, minum buliah buek surang nan katuju, kadang sato pulo kami 
mambuek susu jatah dosen atau karyawan kali. Kalau ado kawan nan indak datang, 
nasi kotak jatah kawan babaok pulang untuak sarapan pagi he he he. Di akhir 
pakan, uni bae karumah kakak uni di kali deres, bia irit dan capek sampai, kami 
manumpang pulo jo oto kawan sampai grogol, sudah dun basambuang jo bis kota. 
Tibo di rumah kakak uni, taragak makan jo masakan sandiri, uni bae mamasak di 
rumah kakak uni dun. Anak-anak jo apakno batinggakan di bengkulu. Kalau alah di 
tampek kakak uni, mereka nan manalepon dari bengkulu. Tahun 97 uni pindah ka 
salemba .... di salemba uni tapaso
 labiah ba irit-irit lagi, sewa kamar Rp.150.000,- sabulan, samantaro 
kawan-kawan sa kelas sabagian besar bakarajo di tampek nan gajino gadang. 
Taraso kalau awak PNS. 

Lasuah pulo mambaco parjuangan hiduik saroman parjuangan sanak, pak zulkahar, 
pak saaf dan pak suheimi. Banyak pelajaran nan dapek di ambiak. Paliang indak, 
nan maraso susah salamo iko, jadi malu dan takana bana untuak basyukur ka Allah 
SWT atas limpahan rahmatNya selama ini. Selamat berjuang karena perjuangan 
belum selesai dan tetap optimis, semoga sukses. Amin.

Wass


Hanifah Damanhuri







--- On Fri, 10/17/08, israr iskandar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: israr iskandar <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [EMAIL PROTECTED] Suryadi, Pengelana dari Pariaman
To: RantauNet@googlegroups.com
Cc: [EMAIL PROTECTED]
Date: Friday, October 17, 2008, 8:39 AM



   

Kompas, Jumat, 17 Oktober 2008 (Rubrik Sosok) 


Suryadi,
Pengelana dari Pariaman
 

Dia percaya pada takdir. Jalan hidupnya yang penuh onak dan duri diyakini
bukanlah kebetulan. Ada semacam garis nasib yang membentang antara kampung
halaman di pedalaman Pariaman, Sumatera Barat, hingga Leiden, Belanda, tempat
ia bermukim sejak 10 tahun terakhir. 

Suryadi memang tipikal perantau Minang. Ulet dan tahan banting. Hanya saja,
sebagai perantau, ia tak menekuni sektor informal, sebagaimana profesi urang
awak perantauan umumnya. Ia memilih jalur keilmuan melalui dunia akademik.
Bidang yang ia tekuni pun tak terlalu umum: naskah-naskah lama! 

Menjadi penelaah naskah dan buku klasik (bahasa kerennya filolog) memang
bukan profesi yang bisa mengantarkannya menjadi selebritas, seperti fenomena
para ”komentator” bidang ekonomi, politik, dan hukum di Tanah Air. Dari aspek
ekonomi pun, profesi ini jauh dari menjanjikan kehidupan mewah dan
berkecukupan. 

Namun, di balik dunia yang sepi itu, ketika larut bersama naskah tua yang ia
kaji di pojok perpustakaan di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Suryadi
mengaku menemukan ”dunia kecil”-nya itu justru luas membentang. Jalan kehidupan
dia kian terbuka lebar. 

”Ternyata saya tidak sendiri. Ada 
juga orang lain yang menyukai bidang ini, yang bisa menjadi teman dalam satu
network keilmuan,” tuturnya. 

Hasil penelitian yang ia publikasikan di sejumlah jurnal internasional
banyak mendapat tanggapan. Kajiannya atas surat raja-raja Buton, Bima, Gowa,
dan Minangkabau, misalnya, dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance
Project) yang berpusat di Australian National University, Camberra, Australia. 

Berkat penelitiannya atas naskah-naskah lama itu pula ia kerap diundang
menjadi pemakalah seminar di mancanegara. Suryadi bahkan dipercaya memimpin
satu proyek pernaskahan yang didanai the British Library. 

Kajian komprehensif atas Syair Lampung Karam—satu-satunya sumber pribumi
tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang diikuti gelombang tsunami dan
memorak-porandakan wilayah sekitar Selat Sunda (Kompas, 12 September
2008)—hanya satu dari sekian banyak teks Melayu klasik yang sudah ia teliti. 

Syair dalam tulisan Arab-Melayu alias Jawi itu kemudian ia transliterasikan
ke teks beraksara Latin, sebelum dibandingkannya dengan pandangan para penulis
asing (baca: Eropa). 

Menggeluti naskah lama atau buku-buku klasik mengenai Nusantara ternyata
memberi keasyikan tersendiri bagi Suryadi. Perpustakaan KITLV dan
Universiteitsbibliotheek Leiden menjadi rumah kedua, tempat ia ”bersemedi”,
intens menekuni ribuan naskah tentang Indonesia yang pada zaman kolonial 
diangkut
ke negeri Belanda. 

”Saya seperti menyelam ke masa lalu. Banyak hal menarik dari bangsa kita
yang terekam dari naskah-naskah lama. Kadang, sewaktu membaca, saya tertawa
sendiri,” ujarnya. 

Honor seadanya 

Tahun 1998 menjadi semacam titik balik bagi Suryadi. Sejak September 1998 ia
menetap di Belanda, negeri tempat naskah-naskah lama tentang Nusantara
menumpuk. Ia memulai bekerja sebagai pengajar di Universiteit Leiden 
untuk penutur asli bahasa Indonesia . 

Jalan menuju ke Leiden 
penuh tikungan. Setelah menunggu tanpa kepastian sebagai asisten dosen di
Universitas Indonesia (UI, 1994-1998), pada pertengahan 1998 lowongan
(vacature) mengajar di Universiteit Leiden datang. Peluang itu langsung ia
tangkap. Lamarannya diterima. 

”Ini sebenarnya soal jalan hidup saja. Soal pilihan,” kata Suryadi terkait
kepergiannya dari UI. 

Menunggu tanpa kepastian—juga tanpa masa depan yang jelas—seperti
dilakoninya semasa menjadi asisten dosen di UI, bukan hal baru. Sebelumnya,
saat diajak Lukman Ali (alm)—dan didukung filolog senior Achadiati Ikram—untuk
merintis pengembangan studi Bahasa dan Sastra Minangkabau di UI, Suryadi sudah
tiga tahun diterima sebagai asisten dosen di almamaternya: Universitas Andalas
(Unand) di Padang. 

Seperti halnya saat meninggalkan UI, di Unand pun ia menunggu tanpa
kepastian kapan diangkat menjadi dosen tetap. Tentang hal ini, ia hanya
berkata, ”Konon, kata mereka, karena tak ada posisi. Tapi anehnya, yang
belakangan lulus dari saya diangkat jadi dosen. Saya tidak tahu kenapa?” 

Begitu pun di UI. Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen tentu
sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di
  UI , ia menerima Rp
70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia
mendapat honor Rp 35.000 sebulan. 

Untuk biaya kontrak rumah saja tak cukup. Menyiasati keadaan ini, Suryadi
mendekati teman-teman sesama asisten dosen. Dengan semangat gotong royong ia
bersama empat teman bisa menyewa rumah kontrakan di Gang Fatimah, Depok, Jawa
Barat. 

Bagaimana untuk hidup sehari-hari? ”Saya terpaksa mencari obyekan. Misalnya,
selama beberapa tahun saya membantu Ibu Pudentia di Asosiasi Tradisi Lisan.
Barangkali memang tidak ada suratan tangan saya menjadi pegawai negeri,”
katanya. 

Masa kecil 

Hidup di tengah penderitaan bukan hal baru baginya. Terlahir sebagai anak
petani kebanyakan di Nagari Sunur, Pariaman, sejak kecil Suryadi hidup hanya
dengan ibunya, Syamsiar. Orangtuanya bercerai. Ibunya kawin lagi, tetapi
perkawinan itu pun bubar setelah memberi Suryadi satu adik lelaki bernama
Mulyadi. 

Di tengah kondisi serba pas-pasan, ia menamatkan SD di Sunur (1977).
Kesulitan hidup juga menyertainya saat di SMP Negeri 3 Pariaman di Kurai Taji
(1981). Begitu pun ketika menyelesaikan pendidikan lanjutannya di SMA Negeri 2
Pariaman (1985). 

Akibat kesulitan biaya hidup, setamat SMA Suryadi tak bisa langsung kuliah.
Setahun ia menganggur, sebelum masuk Unand di Padang. ”Saya masih ingat, Ibu
menjual cincin satu-satunya untuk membayar uang masuk kuliah saya.” 

Selama kuliah, ia mondok di rumah saudara ibunya, Emi. Suami Emi, Duski
Sirun—yang dipanggil Suryadi dengan sebutan Apak—punya beberapa toko kain di
Pasar Raya Padang .
Di sinilah Suryadi kerja, membantu Apak-nya sambil kuliah. Tak ada gaji,
kecuali imbalan tinggal dan makan gratis di rumah sang Apak, serta dibayarkan
uang kuliah. 

Begitulah selama lima 
tahun ia kerja siang-malam, termasuk kuliah. Pagi sekitar pukul 05.00 ia bangun
dan segera ke pasar untuk membuka toko. ”Kalau ada kuliah, saya ’lari’ ke
kampus, lalu kembali ke toko. Malam hari, di tengah rasa capek, saya ulangi
pelajaran. Kadang sampai larut, padahal pagi-pagi saya harus bangun dan ke
pasar membuka toko,” ujarnya. 

Hidup memang butuh perjuangan. Pengelanaannya hingga bermukim di Leiden , 
meretas tradisi pengajar tamu bagi penutur asli
bahasa Indonesia di Leiden yang maksimal lima 
tahun, tetap saja membutuhkan perjuangan baru. Ia merasa seperti pengelana
(wanderer) yang tak punya rumah tetap, tempat berdiam. 

Tak ingin pulang? ”Pasti saya tidak selamanya di Leiden . Suatu saat saya dan 
keluarga tentu
pulang ke Indonesia ,
atau mungkin pindah rantau ke negara lain. Biasanya seorang wanderer selamanya
akan jadi wanderer,” tambahnya. 

Itulah Suryadi. Berbeda dengan slogan seorang politisi masa kini bahwa hidup
adalah perbuatan, ia masih dibelenggu masa lalu: hidup adalah perjuangan! Entah
sampai kapan.... (ken) 

   


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com






__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke